Chereads / BERTEMU KEMBALI / Chapter 4 - Heart That is Still For You

Chapter 4 - Heart That is Still For You

Jakarta, 2003

Ia menutup telinganya. Matanya terpejam dan badannya gemetar menahan semuanya. Anak berusia sebelas tahun itu selalu bersembunyi dibalik pintu kamarnya, menutup dengan rapat kedua telinganya dengan tangannya yang gemetar.

Setiap kali hal itu terjadi anak itu selalu menangis, ia sudah puas menyaksikan piring dan gelas terbang lalu berserakan di lantai.

"Fara sayang, maafkan Mama." seru perempuan paruh baya itu lalu mendekap sosok yang sejak tadi hanya duduk di lantai dengan menangis dan menutup telinganya.

Fara hanya bisa menangis dalam pelukan sang Mama. Rasanya begitu mengerikan saat mendengar pekikan dari kedua orang tuanya di luar kamar dan tentunya ditambah suara benda-benda hancur akibat lemparan kuat ke lantai. Hampir setiap Papanya pulang Fara akan menyaksikan pertengkaran antara kedua orang tuanya.

Kenapa orang dewasa mudah bertengkar?

Ia jadi takut menjadi dewasa!

Papanya yang jarang di rumah membuat ia kurang merasakan kasih sayang seorang Ayah. Fara juga ingin merasakan hal yang anak-anak lainnya rasakan. Setiap hari diantar ke sekolah, bisa makan bersama Mama dan Papa dimeja makan, bisa bercerita dan tertawa bersama Mama dan Papa. Ia juga ingin merasakan hidup seperti anak-anak lainnya yang Ayahnya selalu ada di rumah.

___

Fara menangis bersama Adiknya Raina, keduanya tidak berniat melangkahkan kaki pergi meninggalkan makam Mama mereka.

"Ma, maafin semua kesalahan Fara." ucap Fara seraya menyeka air matanya. "maafin Fara belum bisa membahagiakan Mama." sambungnya lagi.

"Fara janji akan menjaga Raina walau dengan nyawa Fara sendiri."

Raina yang mendengar ucapan Kakaknya seketika memeluk Fara. "Sekarang cuma Kak Fara yang Raina punya, jangan tinggalin Fara ya Kak."

Fara menggeleng sambil tersenyum. "Kakak enggak akan pernah ninggalin kamu, Sayang." ucap Fara seraya mengelus bahu Adiknya, seolah menyalurkan kekuatan.

Sementara di tempat lain. Ada perasaan yang perih saat menyaksikan perempuan itu menangis diatas pemakaman Mamanya. Dan ia tidak mampu berbuat sesuatu untuk Fara, ia tidak bisa menghibur dan berada disisi gadis itu saat seperti ini. Alvi hanya bisa melihat dari kejauhan, ia hanya bisa memastikan Fara baik-baik saja, walaupun pasti gadis itu begitu terluka dan kehilangan. Sama seperti yang ia rasakan ketika dulu kehilangan kedua orang tuanya.

Tiba-tiba ponselnya bergetar, menandakan ada sebuah pesan masuk.

From : Rahma

Sayang, kamu di mana?

Aku lagi ada urusan.

Urusan apa sih, hari ini kan kamu nggak ada jadwal.

Kamu lupa hari ini kita fitting baju:(

Iya aku lupa, maaf.

Nyebelin deh kamu, untung calon suami aku.

Yaudah cepet ke butik, aku barusan sampe.

Iya.

Love you calon suamiku:*

Ih jahat banget cuma di read aja:(

Alvi memasukkan kembali ponselnya. Ia harus menuju butik, namun sebelum itu matanya sudah mengedarkan pandangan ke sekelilingnya mencari sosok Fara.

Ah sial Fara sudah pergi. Batin Alvi lalu segera pergi dari pemakaman umum tersebut.

Saat Alvi hendak masuk ke dalam mobil. Ia mendengar suara teriakan minta tolong. Dan benar saja di sebrang jalan ada orang yang tergeletak tak berdaya.

"Fara!" kaget Alvi saat ia sudah sampai didepan Raina yang sedang memangku kepala Fara yang sudah tak sadarkan diri.

Alvi pun segera membawa Fara, ia sudah menggendong Fara ala bridal style menuju mobilnya, diikuti Raina dengan wajah yang sudah panik.

Alvi menidurkan Fara di kursi bagian belakang, dengan cekatat Alvi memeriksa keadaan Fara lalu memberikan minyak kayu putih di pelipis, leher, dan telapak tangan. Dan terakhir Alvi menyodorkan tangannya yang sudah terkena minyak ke hidung Fara.

"Fara tidak apa-apa dia hanya kelelahan." ucap Alvi pada Raina yang sejak tadi hanya diam, terlihat sekali khawatir akan keadaan Kakaknya.

Raina menganguk paham.

"Fara kenapa bisa pingsan?" tanya Alvi yang terlihat khawatir juga pada perempuan berlesung pipi itu. Alvi kasian melihat keadaan Fara sekarang.

Raina menghela napas. "Tadi Kak Fara memang bilang kalau kepalanya sakit terus kita duduk dulu sebentar terus lanjut jalan, eh tiba-tiba pingsan." jelas Raina yang membuat Alvi mengerti.

Alvi menatap Fara yang sedang tak sadarkan diri. Bahkan dalam keadaan wajah pucat dan tak sadarkan diri saja Fara tetap terlihat cantik di mata Alvi.

Alvi benar-benar merasa menjadi lelaki payah yang tak bisa selalu ada disisi Fara. Ia ingin, hati dan pikirannya ingin, tapi raganya tidak bisa berbuat lebih untuk Fara. Itu tidak mungkin!

Lima belas menit berlalu akhirnya Fara pun sadar. Ia memegang kepalanya sambil mengedarkan pandangannya dan pandangan yang pertama ia lihat adalah sosok lelaki berkacamata itu. Lelaki yang ia hindari.

"Alhamdulillah akhirnya Kak Fara siuman." celetuk Raina seraya membantu Kakaknya itu duduk, sementara Alvi diam. Ia bingung harus berkata apa.

"Kok kita ada disini?"

Raina tersenyum. "Tadi Kakak pingsan, dan untungnya ada dokter Alvi yang menolong." jawab Raina melirik Alvi yang tetap bungkam.

Fara menghela napas. "Ayo Raina, kita pulang." Fara menarik tangan Raina namun segera dicegah oleh Alvi.

"Kamu masih lemas, sebaiknya aku antar kalian pulang."

"Iya Kak benar. Lagian Kak Fara masih lemas gini, udah terima aja kebaikan dokter Alvi." sahut Raina yang membuat Fara diam seketika. Sebenarnya ucapan Raina ada benarnya juga, ia masih lemah sekali rasanya kepalanya masih nyut-nyutan.

Alvi tersenyum menerima kerlingan mata dari Raina. Ia bersyukur karena Raina memihak kepadanya. Alvi pun beranjak menuju bagian kemudi, ia akan mengantar perempuan yang amat ia rindukan itu. Dan satu hal penting yang terlupakan yaitu janjinya dengan Rahma.

___

"Ishhh Alvi mana sih katanya otw." gerutu Rahma dengan tangan yang terus memencet tombol panggil pada layar ponselnya, tapi tak diangkat sama sekali.

Wajah cantik Rahma sudah tertekuk berlipat-lipat. Ia kesal karena menunggu hampir satu jam lamanya tapi Alvi tak kunjung datang. Sebenarnya urusan apa yang sangat penting itu!

"Assalamualaikum." salam seseorang yang sudah sangat ditunggu-tunggu sejak sejam yang lalu.

Rahma memutar bola matanya jengah. "Waalaikumsalam. Kemana aja sih lama banget!?"

"Maaf, tadi aku ada urusan mendadak." jawab Alvi seadanya.

"Urusan mendadak apa?"

"Aku nolong orang pingsan." jujur Alvi.

Rahma mengerutkan keningnya. "Emangnya nggak ada orang apa, kenapa harus kamu?"

Alvi menghembus napas. "Aku ini dokter, aku memegang prinsip sebagai seorang dokter. Kamu nggak punya bekas kasihan apa?!" cecar Alvi yang seketika emosi mendengar ucapan Rahma yang terdengar egois dan tak berperasaan.

"Iya maaf." Rahma menjadi menyesal atas ucapannya.

"Ya sudah, ayo kita fitting sekarang." ajak Alvi beranjak meninggalkan Rahma yang masih diam.

Satu jam lebih Rahma melakukan proses fitting pada gaun pengantinnya. Ia terus memeriksa gaunnya di depan cermin besar. Sesekali ia meminta pendapat Alvi yang hanya direspon dengan sekali anggukan kepala.

Sementara Alvi hanya perlu waktu lima belas menit sudah cukup, tidak selama Rahma pastinya. Hampir dua jam perempuan itu tak sudah-sudah, membuat Alvi mengantuk dan akhirnya tertidur di sofa ruangan.

"Sayang!" ucap Rahma dengan tangan mengelus bahu kekar Alvi yang berbalut kemeja hitam yang digulung selengan. Ia membangunkan Alvi, namun lelaki itu tidak kunjung bangun.

"Sayanggg!!!"

Alvi terlonjat. Ia sadar sudah tertidur di sofa karena saking lama menunggu Rahma.

"Aku udah selesai, yuk kita pulang." ajak Rahma sembari beranjak dan diikuti oleh Alvi.

Sebelum pulang Alvi dan Rahma berpamitan terlebih dahulu. "Terima kasih Bun, gaun pengantinnya cantik." ujar Rahma sambil cepika-cepiki dengan wanita paruh baya yang dipanggil Bunda tersebut.

"Iya, nak. Gaun itu dirancang khusus untuk kamu. Semoga lancar sampai hari H ya." balas Reta dengan tersenyum.

Alvi yang melihat Reta tersenyum juga kepadanya. Ia pun membalas senyuman tulus itu, lalu pergi setelah berpamitan.

-----

Setelah mengantar Rahma pulang. Kini Alvi sudah merebahkan diri di atas kasur kesayangannya, di dalam kamarnya. Alvi bingung tanggal pernikahan itu sudah semakin dekat, bahkan kedua keluarga sudah mempersiapkan dengan matang untuk acara pernikahannya dengan Rahma.

Alvi takut, tidak bisa menjadi suami yang baik untuk Rahma. Walaupun Alvi sama sekali tidak mencintai Rahma tetapi Alvi ingin menjalankan pernikahan yang normal, layaknya pernikahan yang didasari atas cinta.

Cintanya masih untuk Fara. Hanya Fara perempuan yang ada dihatinya setelah Ibu dan Kakaknya. Selama ini Alvi memang tidak mencari keberadaan Fara karena ia lah yang sudah meninggalkan Fara. Ia hanya bisa berdoa dan berharap suatu hari nanti akan ada keajaiban dari Allah, kalau memang Fara jodohnya, ia yakin Allah akan mempertemukan kembali ia dan Fara.

"JANGAN DATANG LAGI, JANGAN HADIR LAGI DALAM HIDUPKU!!!"

"JANGAN DATANG LAGI, JANGAN HADIR LAGI DALAM HIDUPKU!!!"

"JANGAN DATANG LAGI, JANGAN HADIR LAGI DALAM HIDUPKU!!!"

Kalimat terakhir dari Fara terekam begitu jelas diingatan Alvi yang paling dalam. Kalimat itu seperti kaset rusak yang terus berputar-putar di kepalanya.

Dadanya sesak jika mengingat Fara yang amat membencinya. Tatapan penuh kasih dulu tak pernah Alvi lihat lagi dari mata teduh Fara. Perempuan itu selalu menatap Alvi dengan tatapan sinis dan tak suka. Dan itu membuatnya sakit, rasanya ia ingin menjelaskan semuanya, ia ingin memperbaiki semuanya. Tapi sudah terlambat! Fara sudah telanjur membenci dirinya.

Namun tiba-tiba Alvi kembali berpikir keras mengenai kejadian di atap gedung itu. Hari di mana ia mempertaruhkan nyawanya hanya untuk Fara. Tetapi perempuan itu masih peduli padanya dengan tetap berusaha sekuat tenang menolongnya dari maut, bahkan tangan Fara terluka parah mengeluarkan darah akibat gesekan semen saat menarik dirinya.

Apakah Fara masih peduli?

Alvi bertanya-tanya. Ah tidak mungkin! Fara hanya menolongnya karena Fara lah yang tidak sengaja mendorong Alvi, Fara hanya membantu agar Alvi tetap hidup. Jika Alvi jatuh hari itu Fara lah orang yang akan bertanggung jawab.

Sementara di tempat yang berbeda Fara juga sedang menatap langit-langit kamarnya. Ia kembali berterima kasih kepada Alvi yang sudah dua kali menolongnya, hanya mampu berterima kasih di dalam hati. Fara tidak berani mengungkapkannya, ia tidak mau Alvi mendekatinya, sudah cukup luka yang lelaki itu torehkan untuknya selama ini.

"Kak Fara." Raina menyadarkan Fara yang sedang melamun.

Raina pun ikut merebahkan dirinya disamping Kakaknya itu lalu memeluknya dari samping juga. "Raina sayang banget sama Kak Fara."

"Kakak juga sayang Raina." balas Fara mengelus kepala Adiknya lalu mencoba memejamkan matanya, rasanya ia begitu lelah menghadapi segala masalah yang ada dalam hidupnya.

Hening...

Fara hampir saja terlelap tapi Raina sudah bertanya. "Kak, sebenarnya dokter Alvi itu care banget ya sama kita, khususnya Kak Fara."

Fara diam.

"Buktinya ya waktu itu dia yang menyelamatkan Kakak di atap gedung itu bahkan dia hampir mati terus tadi dia juga yang menolong Kakak." cerocos Raina yang hanya membuat Fara diam menatap Adiknya yang sedang mengingat-ingat semuanya.

"Gentle banget sih dokter Alvi. Kalo aku jadi Kakak, aku mungkin bahagia banget hehe."

Fara terkekeh kecil. "Kamu ini anak ada-ada aja." tutur Fara yang sudah mengeratkan pelukannya.

"Idaman banget pokoknya dokter Alvi itu."

____

Sudah seminggu berlalu kini Fara sudah kembali menjalankan hidupnya. Kembali memulai aktivitas sehari-hari yang Fara senangi, kehidupan di dunia akan terus berjalan sebagaimana mestinya walau tanpa orang yang kita kasihi.

Fara barusaja duduk di depan meja kerjanya, tadi pagi ia mengajar tiga jam mata pelajaran biologi di kelas VIII B. Kini ia akan beristirahat sebentar.

"Fara, ini kamu dapat undangan." seorang guru perempuan bernama Citra menyodorkan sebuah undangan mewah berwarna gold tersebut.

Fara bengong. Ia bingung kenapa ada undangan datang kepadanya.

"Heyyy Bu Difara!!!" panggil Citra melambaikan tangannya depan didepan wajah cantik Fara.

"Eh iya Bu Citra. Ada apa?"

Citra mencebikkan bibirnya. "Bengong aja sih, ini loh kamu dapet undangan juga dari Bu Annisa--Wakepsek.

Fara pun menerima undangan tersebut. "Makasih ya Bu Citra." balas Fara seadanya.

"Iya, para dewan sekolah dan guru di undang semua." jelas Citra yang membuat Fara hanya mengangguk mengerti.

Fara pun membuka surat undangan yang terlihat mewah tersebut setelah Citra berlalu pergi tentunya. Fara membaca dengan saksama bahwa undangan tersebut memang benar ditujukan padanya, terpampang dibagian paling depan undangan.

Degh...

Fara bahkan sudah berulang kali membaca nama sang calon mempelai lelaki. Barangkali ia hanya kurang fokus, namun tetap saja hasilnya tetap. Tulisan yang ia baca itu memang benar nyata bukan kehaluan Fara.

The Wedding Of

Rahmadani Widayanti, S.E.

&

Alvian Dirgantara, Sp.B.

Fara tersenyum miris, dan tak terasa satu butir kristal bening menetes.

Fara memegang dadanya entah mengapa rasanya sesak sekali melihat nama Alvi bersanding dengan nama perempuan lain. Sungguh aneh memang, apa peduli Fara soal itu, harusnya Fara senang akhirnya lelaki itu tidak akan datang lagi dalam hidupnya hingga ia bisa hidup dengan tenang.

"Fara kenapa menangis?" tanya Windi yang tak sengaja melihat sahabatnya itu meneteskan air mata.

Dan Windi pun melihat arah pandangan Fara. "Lah itu kan undangan dari Wakepsek Bu Annisa." seru Windi yang sudah membuat Fara menyeka air matanya.

"Enggak apa-apa. Gue cuma keingat Mama." Fara mengeles dan untungnya Windi percaya.

"Emangnya ada hubungan apa Bu Annisa dengan undangan ini? Kenapa dia mengundang kita semua?" tanya Fara sebisa mungkin bersikap biasa saja.

Windi tersenyum samar. "Itu calon mempelai lelakinya kan Adiknya Bu Annisa."

Hahhh jadi Alvi selama ini Adiknya Bu Annisa. Batin Fara tidak menyangka dunia begitu sempit, ia bahkan baru tahu fakta itu.

____