Entah cuma perasaanku atau bukan, malam ini Nadine tampak uring-uringan. Ada saja hal yang membuatnya mengomel kepada Arsen. Adik Naren itu memang sedikit usil, tapi aku pikir hanya perlu dilawan dengan keusilan juga cukup. Nggak perlu sampai menghardik. Toh mereka pacaran. Jujur, aku nggak nyaman dengan situasi ini.
Syukurlah kebersamaan kami lantas berakhir begitu makan malam selesai. Setelah mengantar dua sejoli itu ke tempat parkir mobil mereka di gedung tiga lantai, aku dan Naren langsung meninggalkan lokasi.
"Kamu ngerasa nggak kalau Nadine tadi berlebihan ke Arsen?" tanyaku pada Naren saat kami dalam perjalanan pulang.
"Mungkin dia lagi datang bulan."
Naren ternyata merasakan juga. Namun, aku nggak berpikir seperti dia. "Apa dia cemburu sama kita?"
"Ngaco, ya nggaklah." Naren terkekeh sambil terus fokus menyetir.
"Kan dia suka sama kamu. Bisa aja kan?"
Sekilas tangan Naren bergerak menggaruk pelipis. Nggak mungkin dia nggak paham gestur Nadine.
