"Kalian merit tapi undangan nggak sampai gue?"
Silvi memandangku dan Naren berganti seolah sedang menumpahkan kekecewaan.
"Gue kehilangan nomor lo," sahutku. Memang setelah lulus anak itu bagai ditelan bumi.
"Kan gue punya media sosial."
"Gue nggak main medsos, Sil."
"Gue jadi bingung mesti marah ke lo apa enggak. Di sisi lain gue seneng akhirnya lo sama Naren bisa merid, tapi di sisi lain gue kesel karena kalian melupakan gue."
"Gue nggak lupain elo. Bahkan dari kampus yang datang cuma anak mapala. Itu pun karena Kenan yang masih punya akses ke mereka."
Silvi memberengut. "Udahlah, gue makan aja. Sayang kalau makanan segambreng ini nggak dihabisin. Gue kalau emosi makannya banyak."
Naren tampak santai saja melihat kemarahan Silvi. Dia malah asik menikmati makanannya. Dia memang menganggap perkara ini mudah. Makanya bisa sesantai itu.