BLAR...
KRAAAKK!!!
Sadewa menyalurkan amarahnya pada beberapa batang pohon besar di tengah hutan. Pohon itu tumbang dalam sekali tinju. Sadewa mengatur nafasnya yang menderu karena berlari dari mansionnya ke dalam hutan ini. Entah kenapa hatinya terasa sangat sakit, perutnya sering berdesir saat memikirkan penolakan Liffi siang tadi.
"Kenapa rasa ini nggak mau hilang??!" Sadewa merasa sangat sebal dengan perasaannya yang terus menderu terhadap Liffi.
"ARGH!!!" Sadewa memukul batu sekuat tenaganya, batu itu terbelah, tulang tangan Sadewa hancur, rasanya sangat menyakitkan, namun sekejap kemudian tulangnya berangsur-angsur pulih dan kembali utuh.
"Kenapa?? Padahal rasa sakit di tanganku bisa segera hilang, tapi kenapa rasa sakit di hatiku tak bisa menghilang??!" Sadewa meremat dan menarik kemejanya sampai robek. Ia berubah menjadi seorang manusia serigala berwarna putih dengan sinar mata biru yang menyala.
SRAAK!!!
Sadewa menoleh, melihat siapa yang bergerak-gerak di kegelapan hutan. Berani menyelinap di belakangnya adalah sebuah kesalahan besar. Sadewa merasakan sesuatu mendekatinya dengan cepat.
KRAAK..!
"To...looonggg..." seorang manusia keluar dari balik semak-semak.
Sadewa terbelalak kaget melihatnya. Manusia itu sudah tak bisa lagi di katakan seorang manusia. Sekujur tubuhnya melepuh merah, bajunya koyak karena ia terus mencakar-cakar dan merusak kaosnya saat mencoba menghentikan rasa sakit itu. Usahanya sia-sia, wajahnya semakin memerah dan tulang-tulang rahangnya berkertakkan. Tiba-tiba rahangnya menjadi maju dan berubah menjadi sangat kuat.
Air liur pekat dan kekuningan terus menetes saat proses transformasinya terjadi. Manusia itu membanting-bantingkan tubuhnya karena rasa sakit yang tak kunjung mereda. Sadewa hanya bisa melihat pemandangan mengerikan ini dengan miris. Manusia ini sedang berubah menjadi makhluk supranatural seperti dirinya.
Sadewa bingung, bagaimana cara menolongnya? Bagaimana bisa manusia berubah tanpa adanya gigitan dari seorang True Alpha.
"Hei ... hei!! Sadarlah ... Bisakah kau mendengarku?" Sadewa sudah kembali ke bentuk manusianya, ia mencengkram kuat tangan manusia itu. Tangannya sudah berubah, berbulu dengan kuku-kukunya yang tajam.
"GRRROOOWWWLLL!!" Manusia itu menarik tangannya dan menyerang Sadewa, kelihatannya kesadarannya mulai hilang.
"Sialan!!" Sadewa meringis saat 4 buah goresan panjang bersarang di dada dan perutnya.
Punggung manusia itu menjadi sangat lebar dan membungkuk, bajunya telah koyak tak tersisa, tercabik-cabik oleh kuku tajam pemiliknya. Rambut kasar berwarna abu-abu dan coklat tumbuh di sekujur tubuhnya. 4 buah taring kuat dan tajam keluar di balik rahangnya. Pundaknya bergerak naik turun saat transformasinya selesai, asap embun keluar dari lubang hidungnya saat ia bernafas dengan cepat.
"Sudah tenang? Bisa kita bicara sekarang?" Sadewa sudah berhasil pulih dan mendekatkan diri pada werewolf setengah jadi di depannya itu.
"Gggrrrr...." Hanya geraman takut dan amarah sebagai jawaban dari pertanyaan Sadewa.
"Bagaimana hal ini bisa terjadi padamu? Bagimana kau bisa berubah? Apa ada yang menggigitmu?" Sadewa maju beberapa langkah mendekati werewolf abu-abu itu. Ia melirik seluruh tubuh werewolf itu, sama sekali tidak ada bekas gigitan.
"GGRAAHH!!!" Werewolf itu menyambar Sadewa secepat kilat, Sadewa meloncat mundur dengan refleknya yang tak kalah cepat.
"Sepertinya kaummu tidak bisa diajak bicara baik-baik. Pantas saja Naku hanya menyisakan satu buah tangan." Sadewa merubah dirinya menjadi manusia serigala berwarna putih.
"Baik kalau memang itu maumu, kebetulan aku juga sedang sebal akan sesuatu. Aku butuh pelampiasan." Sadewa mendekati werewolf jadi-jadian di depannya.
"GRRROOOWWWLLL!!!!" Sekali lagi werewolf itu menyerang membabi buta, kuku-kukunya yang tajam terus menghujam ke arah tubuh Sadewa yang lebar, namun Sadewa jauh lebih cepat.
BRUUK!!
CRASH!!!
Sadewa mencabik tubuh werewolf itu sampai ia tersungkur ke bawah. Darah segar muncrat dan membasahi bulu putih Sadewa, merubahnya menjadi merah pekat. Sadewa menyukai bau darah karena emosinya seakan meluap hilang.
"GGGRRR...!" Werewolf di depannya kembali bangkit, lukanya tampak menutup namun tidak terlalu cepat.
"Kau masih belum mau bicara rupanya ... jangan salahkan aku kalau membunuhmu, ya." Sadewa menyeringai tajam, ia menghardik werewolf itu dengan auranya sebagai penerus sang Alpha. Aura yang menekan, memaksa untuk tunduk.
Tampak sedikit ketakutan di balik wajah manusia yang telah berubah seperti monster serigala. Namun karena bukan dari bangsa Werewolf, nalurinya untuk mengikuti seorang alpha tidak terbentuk sempurna. Bukannya mundur werewolf ini malah semakin menggila dan menyerang Sadewa. Instingnya bukan untuk tunduk, tapi untuk bertahan hidup.
"Dasar bodoh." Sadewa menancapkan kukunya yang tajam tepat di dada werewolf itu. Menembus jauh ke dalam jantung dan menariknya keluar. Jantung itu masih bergerak beberapa kali di tangan Sadewa sebelum Sadewa meremaatnya sampai hancur. Sekali lagi darah muncrat membasahi wajah Sadewa. Tubuh werewolf buatan itu jatuh, tak ada lagi nyawa, Sadewa sudah mencabutnya dalam sekali serang.
"Setidaknya tak semenyakitkan kalau dia bertemu dengan Nakula." Sadewa memandang jantung itu dengan jijik.
PLOK PLOK PLOK.
Sadewa kaget dan mendoak ke atas, melihat siapa yang bertepuk tangan untuknya.
"Good, Sadewa."
"Naku??!" Sadewa kaget melihat Nakula ada di atas pohon, bergelantungan terbalik seperti kelelawar.
"Kau memang penuh belas kasih. Membunuhnya dalam sekali serangan." Puji Naku.
"Aku bukan sycopat gila sepertimu. Dan lagi kau itu serigala bukan kelelawar, berhentilah bergelatungan dan turunlah kemari!" Sadewa membuang jantung di tangannya.
"Oke oke.." Nakula melompat turun, seperti biasa ia selalu menggunakan outfit berwarna hitam.
"Sejak kapan kau di sana?" Sadewa bertanya dengan heran, akhir-akhir ini Sadewa tak bisa menyadari keberadaan Nakula di dekatnya.
"Kau terlalu fokus bertarung sampai tak mencium auraku." Nakula berjalan di samping Sadewa.
"Werewolf itu tak kembali ke wujud manusia seperti kaum kita." Sadewa melihat tubuh mengerikan itu tak kembali ke asalnya.
"Maka itu dulu aku mencabik-cabiknya agar orang tak mengenalinya lagi." Senyum Nakula bangga.
"Yang ini aku bawa pulang saja. Aku harus tahu apa dan siapa yang merubahnya?" Sadewa berjalan meninggalkan tubuh berbulu yang teronggok tak bernyawa.
"Nice idea." Nakula manggut-manggut.
"Kenapa kau ada di sini, Naku? Bagaimana kau bisa tahu ada werewolf buatan di sini?" Sadewa melirik tajam pada kembarannya.
"Kau mencurigaiku?" Nakula terkikih.
"Aku hanya penasaran, kau ada di setiap saat mereka terlahir." Sadewa membasuh darah di tubuhnya dengan air sungai.
"Aku sendiri juga heran, seperti ada yang menarikku datang, sepertinya darahku menginginkannya. Seakan-akan aku punya hubungan dengan para werewolf buatan ini." Nakula berjongkok di pinggir sungai melihat Sadewa menyelesaikan aktifitasnya.
"Kau bawa ponsel?" tanya Sadewa.
"Ini." Nakula melemparkan ponsel pintarnya. Sadewa menerimanya dan melakukan panggilan.
"Hei brengsek hidung belang, ngapain telefon malam-malam??" Suara Emily terdengar keras di balik speaker ponsel milik Nakula. Sadewa sampai harus menjauhkannya dari telinga.
"Kyahahaha.." Nakula tertawa senang saat mendengar Emily mengumpat pada atasannya. Emily tidak tahu kalau Sadewalah yang menghubunginya.
"Ini aku Emily, Sadewa." Sadewa mencoba tetap tenang.
"Tu—tuan Sadewa?? Saya minta maaf, saya kira itu Black. Ada yang bisa saya bantu, Tuan?" dengan gagap Emily menjelaskan kesalahannya.
"Kirim beberapa beta untuk masuk ke dalam hutan. Mereka harus membawa mayat werewolf buatan yang baru saja menyerangku, Emily. Kita harus mencari tahu apa yang mengubah manusia-manusia itu menjadi seperti kita." Perintah Sadewa.
"Baik, Tuan."
Sadewa menutup panggilannya dan melemparkan ponsel itu pada Nakula. Sadewa menyahut pakaian dan kembali memakainya.
"Kau sudah bertemu dengan mate-mu?" tanya Nakula, pertanyaan yang kembali mengusik hati Sadewa karena teringat pada penolakan Liffi.
"Aku rasa belum. Kalau kamu?"
"Aku rasa sudah. Tapi belum yakin," ucap Nakula.
"Belum yakin???" Sadewa merasa mereka berdua mirip, dia juga masih bertanya-tanya karena Liffi adalah seorang manusia.
"Ah sudahlah, aku akan menemui Gin untuk memastikan apa dia benar-benar mate-ku." Naku beranjak dan pergi meninggalkan Sadewa.
Sadewa berjalan santai kembali menuju ke mansionnya. Emily dan beberapa beta serta tetuah klan sudah menunggunya. Gin ayahnya juga nampak gusar menunggu di tengah-tengah aula pertemuan.
"Kenapa wajah kalian tampak suram?" tanya Sadewa heran.
"Mayatnya tidak ada, Tuan. Kami sudah menyelusuri kawasan hutan." Emily melaporkan keadaannya.
"Tidak mungkin, aku telah membunuhnya. Aku sendiri yang mencabut jantungnya." Sadewa merasa sangat keheranan.
"Seburuk apa situasinya Sadewa?" tanya para tetuah, wajah Gin juga berkerut tanda ingin tahu.
"Mereka manusia, manusia yang berubah menjadi seperti kita. Entah siapa dan apa yang membuat mereka berubah? Yang pasti bukan karena sebuah gigitan dari True Alpha." Sadewa menjelaskan, sementara para tetuah berbisik-bisik dan berdiskusi.
"Harusnya aku cabik-cabik saja sampai tak bersisa." Sadewa menyesal tak mengikuti kekejaman Nakula.
"Sudahlah Sadewa. Lain kali kau tak perlu membunuhnya, bawa saja ia hidup-hidup pada kami." Para Tetuah tak menyalahkan keputusan Sadewa.
"Pergilah beristirahat, Sadewa." Perintah Gin, Sadewa mengangguk menuruti perintan absolut dari sang Alpha.
Emily ikut mengangguk tanda pamit dan berjalan di belakang Sadewa.
"Tuan, bagaimana kencan Anda hari ini?" tanya Emily.
.... Sadewa enggan menjawabnya, dan Emily terlihat sudah bisa menebaknya.
"Anda di tolak? Anda terlalu agresif dan terburu-buru. Gadis kecil itu pasti ketakutan." Emily terkikih pelan.
"Sudahlah, aku nggak ingin membicarakannya." Sadewa mempercepat langkah kakinya.
"Mau saya kasih tips, Tuan?" ucapan Emily membuat Sadewa penasaran.
"Apa?"
"Tiga minggu lagi ada gerhana bulan. Kekuatan anda akan jauh melemah, bukankah saat itu anda tak perlu menahan perubahan Anda bukan? Pergunakanlah waktu singkat itu untuk mendekatinya selayaknya manusia, Tuan. Ajak dia nonton atau jalan-jalan ke taman bermain." Senyum Emily.
"Benar juga, saat gerhana aku bisa lama berada di sampingnya." Sadewa ikut tersenyum.
"Semoga berjalan dengan lancar Tuan."
"Terima kasih, Emily."
"Good luck, Tuan."
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana