Sadewa masih tidak bisa menemukan titik terang tentang jejak werewolf buatan itu. Buntu, tidak ada clue. Nakula sudah mencerai beraikan werewolf itu. Tidak ada yang bisa ditanya atau pun dikorek informasinya. Jejak kemunculannyapun tidak terlihat, tidak terbaca. Di tengah-tengah kejengahannya Sadewa teringat pada Liffi, gadis pujaannya.
Sadewa melirik jam tangannya, sudah hampir makan siang. Pikirannya terganggu dengan suatu hal. Liffi, iya, gadis itulah yang selalu membayang-bayangi dan mengganggu pikiran Sadewa belakangan ini. Bukan hanya karena wanginya saja, tapi kini senyuman gadis itu pun telah berhasil mencuri hati Sadewa.
"Aku harus menemuinya." Sadewa menyahut kunci mobilnya.
"Anda mau ke mana, Tuan?" Emily langsung bangkit dari mejanya saat Sadewa keluar dari ruangan.
"Menemui Liffi."
"Tapi bukankah dia manusia?" Emily hampir-hampir tak percaya dengan apa yang didengarnya. Tak biasanya bossnya kehilangan logika seperti ini.
"Aku yakin dia mate-ku," jawab Sadewa.
"Tidak ada manusia yang bisa menjadi mate, Tuan. Anda tahu itu." Emily menjawab dengan sedih.
"Aku sangat merindukannya Emily. Walaupun dia hanya bisa menjdi pet-ku pun aku akan tetap mencarinya." Sadewa beranjak dari koridor menuju lift khusus direktur.
"Baik, Tuan. Saya akan menghubungi Mr.Hans kalau Anda akan ke sana." Emily menghela napas dan mengikuti keputusan Sadewa.
Emily hanya tidak ingin Sadewa menyakiti hatinya sendiri dengan percaya bahwa Liffi adalah mate-nya. Emily menganggap Sadewa terlalu terburu-buru mencari seorang mate, sehingga menutup logikanya sebagai calon penerus seorang Alpha. Tidak ada manusia yang bisa menjadi mate seorang werewolf, beda kekuatan fisik mereka terlalu jauh.
•
•
•
Sadewa masuk ke dalam ruangan kantor tempat Liffi bekerja. Semua mata langsung memandang keberadaannya. Bagaimana tidak? Tubuh tinggi kekar dan tegap, wajah dengan tingkat ketampanan bak Dewa Yunani, dan yang pasti dia pewaris WIN Enterpraise, salah satu perusahaan terbesar di negara ini.
"Ada yang bisa saya bantu, Tuan." Wilona mendekati Sadewa, ia menyisir rambutnya ke belakang telinga, berusaha tampil secantik mungkin.
Sadewa sama sekali tak menganggap kehadiran Wilona. Matanya terus bergerak mencari keberadaan Liffi. Aromanya sangat terasa, tapi entah kenapa Sadewa tidak melihatnya.
"Di mana Liffi?" tanya Sadewa.
"Ya??" Wilona kaget. Bukan Mr.Hans yang dicari oleh Sadewa, tapi Liffi. Seorang anak magang dengan penampilan yang sangat sederhana.
"Liffi? Liffi anak magang??" Wilona kembali bertanya.
"Iya, Liffi. Di mana dia? Aku tak melihatnya."
"Dia ada di bawah, membeli kopi untuk para drafter," jawab Wilona.
"Apa?! Kalian menyuruhnya? Kalian memperlakukannya seperti pembantu??!" Nada tinggi keluar dari bibir merah Sadewa.
Sialan mereka memeras tenaga mate-ku, pikir Sadewa marah.
"Bagaiamana kalau kopinya tumpah dan tangannya kena air panas?? Bagaimana kalau dia jatuh?? Bagaimana kalau ...."
"Tuan Sadewa?" Belum sempat Sadewa menyelesaikan kalimatnya Liffi sudah berada di belakang Sadewa, lengkap dengan beberapa cup kopi di tangannya.
"Bawa itu kemari Liffi. Kau tak seharusnya membawa kopi sebanyak ini." Sadewa merebut kopi di tangan Liffi dan menaruhnya di meja.
Suasana kantor mendadak hening, semuanya berdiri untuk melihat Sadewa dan tingkahnya yang aneh terhadap Liffi. Begitu pula dengan Liffi, dia hanya bisa terbengong menghadapi perlakuan manis Sadewa kepadanya.
"Kalau kalian menyuruh dia lagi, aku pastikan kalian akan kehilangan nyawa!!" geram Sadewa.
"Tuan, saya tidak apa-apa. Itu memang sudah tugas saya," jawab Liffi.
"Kamu anak magang Liffi, bukan office girl!!" Sadewa mencengkram pundak Liffi.
"I-iya." Liffi spontan mengangguk. Sadewa tersenyum puas dengan jawaban gadis itu.
"Boleh saya tahu ada keperluan apa Anda kemari, Tuan?" tanya Liffi takut-takut.
"Ingin bertemu denganmu. Ayo ikut aku pergi." Sadewa menggandeng tangan Liffi, Semua orang melihat kenekatan Sadewa sampai mengangga.
"Jangan, Tuan. Saya sedang bekerja," tolak Liffi, ia berusaha menarik pergelangan tangannya.
"Aku sudah bilang pada bosmu. Asal kau mau ikut bersamaku, tendernya akan aku berikan padanya. Jadi tidak ada alasan untukmu menolakku," ucap Sadewa.
"Apa?!" Liffi baru tersadar, malam itu ternyata bukan karena amplop yang harus diantar. Tapi dirinya. Bodohnya Liffi, harusnya dia sadar tidak mungkin ada anak magang yang dipasrahi tugas sebesar itu kalau tidak ada maksud lain di belakangnya.
Semuanya menutup mulut, terheran-heran dengan ucapan Sadewa. Ia memberikan tender besar secara cuma-cuma pada perusahaan kecil hanya demi seorang gadis. Demi Liffi? Benarkah Gadis polos dan sederhana ini benar-benar menaklukan hati seorang Sadewa??
"Ayo kita pergi!" Sadewa menggandeng tangan Liffi dan mengajaknya pergi. Liffi yang masih bingung dan syok hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah Sadewa.
"Maaf kau pasti kaget, ya?" Sadewa melirik ke arah Liffi yang terlihat gugup.
"Kita mau ke mana, Tuan?" tanya Liffi, ada getaran pada suaranya. Sadewa membukakan pintu mobil dan mempersilahkan Liffi masuk terlebih dahulu.
"Makan siang, temani aku makan." Sadewa mendekatkan tubuhnya, Liffi tersentak kaget karena wajah mereka terlalu dekat.
"Tuan mau apa?" Liffi memejamkan mata.
"Memasang sabuk pengamanmu." Sadewa membantu Liffi memasang sabuk pengaman.
Aduh aku ke ge-er-an. Aku kira dia akan menciumku. Malu banget, pikir Liffi dalam hati, wajahnya memerah.
"Wajahmu merah sekali?!" Sadewa mengelus pipi Liffi dengan punggung tangannya. Rasanya sangat hangat dan membuat Liffi bergetar seperti tersetrum listrik bertegangan rendah.
Oh My Gosh, wajahnya sangat tampan. Jantungku hampir meledak. Liffi menundukan kepalanya malu.
"Ada yang ingin kau makan, Liffi?" tanya Sadewa di sela-sela kegiatannya menyetir.
"Apa saja, Tuan." Liffi masih menunduk dan menghindari tatapan Sadewa.
Sadewa memarkirkan mobilnya di sebuah fine dining mewah pada hotel berbintang 5. Liffi turun dan mengikuti langkah kaki tepat di belakang Sadewa. Sadewa berhenti dan menunggu Liffi mengimbanginya.
"Kemarilah." Sadewa mengulurkan tangannya.
Liffi terkejut, seorang Sadewa mengulurkan tangan pada gadis seperti dirinya. Yang baju dan dandanannya sama sekali tidak berkelas. Bahkan tidak cocok dikenakan untuk masuk ke dalam restoran ini.
"Tuan, maaf apa tuan tidak malu berjalan dengan saya?" tanya Liffi lirih, Liffi masih belum berani menyambut tangan Sadewa.
"Kenapa harus malu, kau adalah mate-ku." Sadewa tersenyum dan menggandeng tangan Liffi.
"Mate?? Pasangan??" Liffi lebih terkejut lagi mendengar penuturan Sadewa.
"Iya, kau belahan jiwaku, Liffi. Walaupun kau mungkin belum tahu apa artinya itu." Sadewa mendekati Liffi.
"Hahaha, belahan jiwa?? Aku jadi pusing. Kenapa hari ini penuh dengan kejutan?!" Liffi memegang kepalanya dan bergeleng pelan.
Sadewa diam menunggu Liffi berbicara.
"Mr. Hans menjualku pada Anda. Lalu Anda, yang adalah seorang pria terpandang dan terhormat tiba-tiba mengajakku pergi dari kantor. Dan yang paling mengejutkan, Anda bilang kalau saya adalah belahan jiwa anda, Tuan?" Liffi memandang wajah Sadewa.
"Apa menurutmu ini nyata, Tuan?" Liffi memandang lekat kedua bola mata biru Sadewa.
"Apa yang membuatmu merasa ini tidak nyata, Liffi?" Sadewa mendekati Liffi.
"Semuanya." Liffi menunduk. Berjalan dengan Sadewa saja sudah seperti memenangkan undian jutaan dollar, apalagi sampai menjadi belahan jiwanya.
Sadewa tersenyum dan menggenggam tangan Liffi, ia mengelus dengan lembut punggung tangannya. Liffi menikmati sentuhan hangat dari Sadewa, rasanya seperti mimpi.
"Liffi, aku tahu ini terlalu cepat. Tapi aku sungguh-sungguh menginginkanmu. Kau sudah kupilih menjadi mate-ku saat kita berjumpa di ruang meeting waktu itu." Sadewa mengangkat dagu Liffi.
"Aku rela berbohong demi bertemu denganmu. Aku bahkan rela membuang sebuah tender besar hanya untuk menghabiskan satu malam berbincang berdua denganmu, Liffi," ucap Sadewa, tidak ada keraguan dalam ucapannya, sinar matanya pun berkata dengan jujur.
"Tapi kenapa saya? Saya hanya seorang gadis yatim piatu, saya nggak pantas mendapatkan cinta anda, Tuan. Berjalan bersama Anda pun saya tidak layak." Liffi melepaskan genggaman tangan Sadewa.
"Karena kau adalah satu-satunya wanita yang akan aku cintai, Liffi."
"Maaf, Tuan. Saya bingung. Tolong ijinkan saya pulang," pinta Liffi.
"Kenapa? Bagian mana yang membuatmu bingung, Liffi?" Sadewa belum menyerah untuk meyakinkan Liffi kalau perasaannya tidak main-main.
"Apakah Anda main-main dengan perasaan saya, Tuan?"
"Sama sekali tidak!"
"Tetap saja saya belum bisa menerimanya, ini terlalu cepat! Boleh saya pergi, Tuan?" Liffi menunduk malu.
"Tidak!!" Sadewa merasa sedih, baru kali ini ia di tolak oleh seorang wanita. Dan rasanya ternyata sangat menyakitkan. Apalagi melihat seorang yang kau sayang i menghindari tatapan matamu.
"Maaf, Tuan." Liffi ketakutan.
"Tidak perlu minta maaf, Liffi. Mungkin aku terlalu terburu-buru ingin menjadikanmu milikku. Apa kau membenciku?" Sadewa meredam perasaannya, kembali berkata-kata dengan lembut.
"Saya tidak berani, Tuan." Liffi tergagap dan menggelengkan tangannya.
"Kalau gitu ijinkan aku mendekatimu Liffi. Ijinkan aku mencintaimu." Sadewa menatap penuh arti pada Liffi, membuat Liffi tersipu.
"Tapi saya sudah punya pacar, Tuan." Liffi memainkan jari jemarinya yang saling bertautan.
"Apa??" Sadewa kaget mendengarnya.
Liffi teringat dengan sosok pacaranya Gilang. Walaupun sudah satu tahun lebih mereka lost contact, namun Liffi masih mengharapkan pertemuannya dengan Gilang. Menanyakan kelanjutan hubungan mereka dan kenapa Gilang menghilang begitu saja?
ooooOoooo
Hallo, Bellecious
Jangan lupa vote ya 💋💋
Tinggalkan jejak kalian dan beri semangat untuk Belle ♥️
Follow IG untuk keep in touch @dee.meliana