Lily segera menepi ketempat dimana ia bisa berteduh atau menemukan kesunyian tanpa adanya orang lain. Lily terduduk lemas, dikala nafasnya kembali memberat bagaikan menarik sebuah batu berukuran raksasa dengan satu jari.
Ada apa dengan dirinya? Kenapa trauma ini menyebabkan dirinya tidak bisa berada di dekat Angkasa?
Lily meremas kerah seragamnya kuat-kuat, sesekali memukul-mukul dadanya yang tidak kunjung lancar menyalurkan oksigen ke paru-parunya.
Betapa terkejutnya Hana, ketika hendak pergi kembali ke kelasnya. Ia malah menemukan Lily terlihat kesakitan di koridor sepi ini.
"Ly!" Teriak Hana berlari menghampiri Lily.
"Ly, kamu kenapa? Lo asma atau gimana?" Lily menggeleng dengan wajah yang memerah. Hana bingung, tak tahu harus berbuat apa. Satu-satunya hal yang terlintas di benak Hana adalah membawa Lily pergi ke UKS.
"Ly, bisa berdirikan? Kita ke UKS sekarang." Dengan mengerahkan seluruh tenaganya, Hana membantu Lily berdiri. Kakinya berusaha menahan berat tubuhnya dan Lily secara bersamaan.
Sulit, tentu saja. Namun begitu Hana mengingat Lily telah menolongnya setengah jam yang lalu, seketika kekuatannya terkumpul menjadi satu hingga berhasil menginjakkan kaki di UKS.
"Za, bantuin gue." Teriak Hana melihat Reza yang berjaga di sana. Reza segera memegang sebelah tubuh Lily dan membawanya ke salah satu ranjang yang kosong.
"Lo ada inhealer?" Tanya Hana khawatir, melihat Lily berguling-guling kesakitan.
"Ada, tapi itu sama sekali gak membantu." Jelas Reza, membuat Hana mengernyit tidak mengerti.
"Maksudnya? Kenapa gak membantu?" Reza juga tidak bisa menjelaskannya pada Hana, karena Lily sendiri tidak memberitahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Lily cuma bilang itu bukan penyakit serius, jadi nanti membaik sendiri." Hana tak mengindahkan perkataan Reza. Hana membuka rak obat yang ada disana, tanpa meminta izin kepada Reza selaku anggota PMR yang sedang melaksanakan jadwal jaga UKS.
Hana mengurutkan dari rak paling tas ke rak yang paling bawah. Namun tidak menemukan ingealer yang dicarinya. Kemana benda itu disimpan?
Dengan kilat kemarahan Hana membuka laci meja jaga tanpa memedulikan Reza yang terganggu akibat ulahnya.
"Lo ngapain?" Hana tak menggubisnya, menemukan benda yang dicarinya adalah prioritas Hana saat ini.
Geram dengan Hana yang memberantakan seluruh isi laci, Reza menarik Hana hingga Hana berdiri mengahdapnya.
"Lo cari ini?" Reza mengayun-ayunkan inhealer yang memang sengaja sembunyikan di saku celananya. Tangan Yuda menghindar dengan terampil, saat Hana mencoba menangkap ihelaer yang dibawanya.
"Lo tega banget, lihat orang kesakitan kayak gitu!" Sontak Reza menutup telinganya yang mungkin akan berdenging karena teriakan Hana.
"Lo bisa diem gak? Yang sakit disini bukan cuma Lily. Gue udah bilang kalau Lily bakal membaik dengan sendirinya." Hana masih tidak mengerti, bagaimana orang yang sakit bisa membaik dengan sendirinya. Setidaknya mereka pasti butuh seorang dokter ataupun obat untuk menghilangkan rasa sakit mereka.
"Gue.. gak apa-apa Han." Suara parau Lily menghentikan perseteruan mereka. Hana segera membantu Lily yang kesusahan untuk duduk.
"Ly, kamu beneran gak apa-apa?" Lily tersenyum sembari menganggukkan kepala. Jujur saja mendengar keributan mereka tadi, membuat kepala Lily semakin pening, namun hikmahnya nafasnya kembali teratur.
"Mending sekarang kamu balik ke kelas Han." Saran Lily yang sepertinya enggan Hana ikuti.
"Bener kata Lily, lo balik aja. Disini lo ganggu." Tambah Reza yang membuat Hana mau tak mau menganggukkan kepala.
"Maafin aku ya Ly." Lily kembali melemparkan senyuman pada Hana. Sebelum akhirnya Hana melangkah pergi dari UKS.
Akhirnya suasana tenang.
"Lo juga balik kelapangan sana. Masih dihukum juga." Usir Reza pada Lily, ketika Reza melihat wajah cerah Lily yang kini kembali.
"Ssst, bilang aja gue jatuh pingsan." Reza hanya menggeleng melihat kelakuan Lily.
"Btw, Za. Lo punya roti gak? Perut gue laper gila, gara-gara di kasih obat pencahar sama si Gitar." Ucap Lily sedikit melesetkan nama Gita. Bentuk kejengkelannya pada Gita, tapi Gitar memang masih terlalu bagus untuk Gita.
"Orangnya ada disini." Peringat Reza.
Ngroook!
Wait. Suara apa itu? Lily bertanya pada Reza lewat tatapan matanya.
"Itu yang lagi ngorok si Gita. Habis minum obat pereda rasa sakit, pulesnya kayak orang mati." Lily terkikik geli, takut jika Gita terbangun karena suara tawanya Lily menutup mulutnya sendiri.
"Ketawa aja lagi. Jujur aja, sebenernya diantara keributan gue sama Hana tadi, gue berharap Gita kebangun. Udah eneg banget gue denger ngoroknya, cewek tapi gak anggun banget tidurnya." Lagi-lagi Lily tertawa, tanpa menyembunyikan suaranya.
"Awas nanti jatuh cinta~ sama suara ngoroknya loh." Ejek Lily melihat raut muka Reza yang terlihat sangat tidak nyaman.
"Najis!"
*
Lily masih berdiam diri di dalam kelas, dikala bunyi bel pertanda pulang sekolah sudah berdenting sekitar lima belas menit yang lalu. Apalagi alasan Lily masih berdiam diri di dalam kelas jika bukan karena ada banyak wartawan.
Bahkan ketika semua guru berusaha membuat semua wartawan itu pergi, para wartawan memang pergi namun tak lama setelah itu mereka akan kembali berkerumun.
Kali ini Lily meminta bantuan Sean untuk menjemputnya, karena Sean sendiri yang menawarkan. Jika tidak, mungkin Lily tidak tahu harus bagaimana, karena Lily meminta Yuli untuk pergi terlebih dahulu. Tidak ingin merepotkan Yuli, jika nanti motornya dicegat dan menyebabkan Yuli terseret.
Bagaimana dengan Angkasa? Lily tidak melihatnya sedari tadi, bukankah dia berjanji membelikan Lily ayam dengan kulit yang banyak? Ya, mungkin pekerjaan Angkasa sudah sangat mendesak.
Lily segera menggeser tombol hijau ketika melihat nama Sean terpampang jelas di layar hpnya.
"Ly, kamu keluar bisa gak? Ini aku di pojokan jalan sebelah kiri sekolahmu. Mobilku gak bisa masuk, soalnya gerbang sekolah kamu ditutup karena banyak wartawan." Lily menghela nafasnya kasar. Sebenarnya siapa yang artis disini? Kenapa jadi Lily yang dikejar-kejar oleh wartawan dan bukannya Angkasa?
"Yah.. mau gimana lagi." Ucap Lily pasrah mencari jaket di dalam tasnya. Untung saja Lily membawanya pagi ini, setidaknya jaket ini akan sedikit membantunya agar para wartawan tidak mengenalinya.
Langkah Lily terhenti dikala melihat banyaknya wartawan yang berkumpul di depan gerbang sekolahnya. Mereka seperti mengantri sembako saja.
Lily menguncir rambut, sebelum mengenakan tudung jaketnya. Rok selututnya sudah berganti dengan celana olah raga yang kebetulan tertinggal di laci mejanya.
Lily menyeringai. Pasti para wartawan itu tidak akan menduga penampilannya yang seperti ini.
Lily melangkahkan kakinya dengan berani, intinya jangan menatap mata mereka. Strategi penolakan marketing yang bagi-bagi selebaran, yaitu jangan tatap mata mereka jika tidak ingin menerima selebaran itu.
Lily menundukkan kepala kepada kedua satpam yang berjaga di depan gerbang. Lily menyelinap diantara beberapa siswa yang juga berniat keluar dari sekolah.
Berhasil, tidak ada yang mengenalinya. Lily melangkahkan kaki lebih cepat, berbelok kearah kiri dimana Sean memberitahu Lily letak posisi mobilnya.
"Itu kayak Lily." Ujar salah satu wartawan. Namun yang lain segera menyanggahnya. "Masa? Kok penampilannya kayak gitu?"
Saking fokusnya Lily pada percakapan mereka, lengan kirinya yang terluka tersenggol oleh salah satu wartawan.
"Maaf." Ucap wartawan itu. Lily mendesis, namun yang terpenting sekarang adalah Lily harus segera masuk ke dalam mobil Sean yang tak jauh didepannya.
"Eh tunggu, itu Lily!" Sial, wartawan yang menyenggol Lily mengenalinya. Lily mempercepat langkahnya hingga akhirnya dirinya berhasil memasuki mobil Sean.
"Kak jalan! Buruan!" Ujar Lily ketakutan saat melihat para wartawan mulai berlari mendekati mobil.
"Pake sabuk pengamannya dulu.." Sean berniat memakaikan sabuk pengaman pada Lily, namun matanya menangkap noda merah yang tecetak jelas di jaket bagian lengan kiri Lily.
".. lengan kamu kenapa ini?!"
"Kak Jalan! Sekarang!" Mendengar teriakan Lily, Sean langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Lily menatap para wartawan yang tidak bisa mengejarnya dari kaca spion dengan lega.
Lily segera merapikan rambutnya yang dikuncir asal-asalan hingga menjadi terurai rapi.
"Tangan kamu kenapa?" Lily terlonjak kaget, saat sebuah suara menyapa dari jok belakang mobil.