"Darah."
Sean melotot melihat darah segar yang ada ditelapak tangan Lily. Sean segera mencari luka yang berada dibelakang leher Lily.
"Ly. Ini apa? Lukanya agak dalem lho ini." Lily menyikirkan tangan Sean perlahan.
"Gak apa kak. Mungkin gak sengaja kena pisau tadi pas papa potong rambut aku."
"Gak papa gimana? Pokoknya kamu harus diobati di rumah sakit."
"Iya kak. Jangan parno gitu. Yang luka aku. Bukan kakak."
"Ly, ayo ikut kerumah sakit. Ambulance udah dateng." Nyonya Ida menuntun Lily masuk kedalam mobil dengan sirine yang memekakan telinga itu.
Lily kerumah sakit dengan dua ambulance yang membawa mamanya dan Aster dengan ditemani Nyonya Ida. Meninggalkan papa Sean dan Sean untuk menjaga rumah mereka sekaligus rumah Lily.
"Kamu yang tabah ya Ly. Ini ujian, tante yakin kamu kuat." Lily tersenyum saat tangan Ida menyalurkan kehangatan melalui sebuah genggaman.
"Iya tante. Makasih banyak."
"Tante siap nemenin kamu. Kamu gak usah khawatir ya?" Sekali lagi Lily tersenyum.
Siapapun tahu senyuman Lily tidak bisa menyembunyikan luka, saat di pelupuk matanya tertahan buliran air mata.
*
Lily berjalan kekamar mamanya bersama Aster sehabis mengisi perut dengan seporsi bubur ayam di warung depan rumah sakit.
Sesekali beberapa orang memperhatikan Aster penuh minat. Mereka belum tahu saja kalau Aster masih smp dan hanya tingginya yang kepanjangan dari anak seusianya.
Semalam setelah dibawa kerumah sakit, Aster langsung sadarkan diri dan memaksa tidak ingin dirawat namun tetap harus menjalani beberapa tes. Sedangkan Nyonya Desi baru tadi pagi siuman, karena itu Lily dan Aster sudah leluasa jajan diluar rumah sakit.
"Kok masih disini?" Ujar Desi melihat kedua anaknya masuk ruangan.
"Kalian pulang aja mumpung weekend. Mama nanti sama Tante Ida kok."
"Iya nanti pulang. Kalau tante Ida udah kesini."
"Nanti mampir salon ya? Rambut kamu sekalian dirapikan." Ucap mamanya memperhatikan rambut Lily yang digulung asal-asalan.
"Iya ma. Mama tidur aja, istirahat mumpung weekend." Lily dan Aster tertawa.
"Asslamualaikum." Salam Nyonya Ida masuk keruangan. Nyonya Ida tampak lebih rapi dari semalam saat Lily memaksanya pulang dan kemari saat pagi.
"Waalaikumsalam Tante." Ucap Aster dan Lily serempak.
"Eh Sean kesini juga toh." Sean meletakkan sekeranjang buah-buahan di nakas.
"Iya tante. Udah mendingan belum?"
"Udah, cuma agak pusing aja."
"Cepet sembuh tan."
"Kamu gimana Ly? Udah diobatin belum lukanya?" Tanya nyonya Ida yang semalam meminta Lily untuk diobati anaknya malah bersikeras tidak ingin.
"Udah tan. Dapet lima jahitan." Lily meringis.
"Arya itu bener-bener tega banget sama anak-anaknya." Aster mengelus bahu mamanya, mengingatkan untuk bersabar.
"Ya udah sana pulang, biar Sean yang anter. Kalau udah istirahat baru boleh kesini lagi." Lily mengangguk. Kemudian Lily dan Aster berpamitan kepada kedua Nyonya itu diikuti Sean.
Lily berjalan perlahan sambil menguping sedikit pembicaraan kedua wanita dibelakang. Lily tersenyum lega, saat mendengar keputusan mamanya untuk lepas dari papanya.
*
Lily terbangun dari tidurnya. Hari sudah nampak siang, suhu bumi terasa sangat panas. Membuat Lily bangun terpaksa karena keringat yag membanjirinya.
Kepalanya terasa sangat pening, karena tertidur dengan posisi yang harus miring agar luka dibelakang lehernya tidak tersenggol.
Hari ini adalah last weekend dan sudah dua hari semenjak mamanya dirawat. Seingat Lily Angkasa akan pulang malam nanti.
Lily membuka hpnya, melihat pesan dari Aster dan Sean yang berisi mereka akan menjaga mamanya siang hingga malam nanti menggantikan mama kak Sean barulah malam nanti Lily yang menjaga mamanya.
Lily memperhatikan rumahnya yang sudah Lily rapikan begitu sampai tadi pagi. Tidak buruk juga.
Lily berlalu menuju dapur, melihat helaian rambut yang sudah teronggok di tempat sampah.
Lily meneguk sebotol air mineral dingin dari kulkas, menyegarkan dirinya daru cuaca panas.
Tingtong!
Terdengar bunyi bel dari rumahnya. Lily mengutuk siapapun yang bertamu disiang hari, saat seluruh rakyat rebahan seperti Lily sedang ingin beristirahat.
Dengan kesal Lily berjalan keluar menuju ruang tamunya. Namun begitu sampai didepan pintu, hatinya tiba-tiba mengeluarkan alarm bahaya.
Bagaimana jika yang datang adalah ayahnya yang ingin menyakitinya kembali? Pandangan Lily mengitari seluruh rumahnya, Lily sendirian disini.
Lily terlonjak kaget saat bunyi bel berbunyi lagi dengan berulang kali.
Atau mungkin Nyonya Ida? Mungkin, karena Nyonya Ida mengiriminya pesan bahwa Nyonya Ida akan mengantar makan untuk Lily siang ini?
Lily menarik kenop pintu cepat, tidak ingin membuat siapapun yang ada didepan pintu itu menunggu terlalu lama.
Sebuah kantong plastik berwarna hitam yang menyambut Lily pertama kali setelah membuka pintu.
"Aku pulang." Saat melihat sosok tinggi itu adalah Angkasa, orang yang dicarinya dan rindukan beberapa hari ini, seketika Lily menangis dengan keras sambil berjongkok.
Angkasa ikut berjongkok dihadapan Lily. "Ly? Kok nangis? Aku telat ya."
"Maafin aku ya Ly." Angkasa membawa Lily dalam pelukannya masih dengan berjongkok.
"Udah Ly, jangan nangis lagi. Ada aku disini." Lily menutup mukanya dengan kedua tangannya.
Angkasa mengelus punggung Lily, mencoba menenangkannya. Angkasa tahu apa yang telah dihadapi Lily saat dirinya tidak ada disini.
"Aku nungguin kamu tau." Ucap Liky disela tangisannya.
"Iya. Makasih udah nungguin."
"Aku kangen banget."
"Iya, aku juga."
"Kamu tahu apa yang baru aja aku alami?"
"Tahu kok. Bang Sean yang kasih tahu."
"Kamu gak mau lari dari aku karena aku gila atau pemarah?"
Angkasa tersenyum kemudian menyeka airmata Lily yang masih senantiasa mengalir deras.
"Kalau aku mau lari seharusnya dari dulu, pas kamu lempar pasir ke aku."
"Kamu masih inget?"
"Iya, itukan pertemuan pertama kita."
"Aku pengen nangis sama peluk kamu juga."
"Sekarang kan udah." Lily mengangguk.
"Rambut kamu nanti aku rapiin ya?" Lily kembali mengangguk.
"Aku kira kamu pulang malam ini."
"Begitu aku denger kabar kamu, aku pake uang pribadi buat pesen tiket oesawat yang lebih awal. Jadi jangan sedih lagi, aku bakal temenin kamu. Oke?"
"Oke."
Lily mengelap ingusnya pada jaket yang dikenakan Angkasa yang tidak merasa risih sedikitpun dengan apa yang dilakukan Lily.
"Udah yuk masuk. Makan dulu biar tambah kuat nangisnya." Angkasa mengangkat sebungkus plastik yang jika ditebak dari baunya ini adalah makanan kesukaan Lily. Sate madura, sungguh menggugah selera.
Angkasa membawa Lily masuk.
Tanpa mereka sadari bahwa Sean memperhatikan mereka berdua sedari tadi. Seanlah yang menjemput Angkasa dibandara menuju rumah Lily.
Sean harus dapat ongkos mahal untuk itu.
Melihat Lily yang menangis sesegukan dihadapan Angkasa membuat hatinya yang sebenarnya sedikit tidak terima.
Lily tumbuh dan bermain bersamanya, melebihi siapapun yang pernah mampir pada pandangan Lily. Tidak terima bila orang yang sudah sebagai adik yang dijaganya mulai bergantung pada orang lain.
Buktinya Lily yang menangis dihadapan Angkasa. Bahkan saat Sean menemukan Lily langsung dalam keadaan mengerikan itu, Lily terlihat sangat kuat dan tidak menangis.
Padahal saat dulu sebelum Lily mengenal Angkasa, Lily sangat bergantung kepada Sean. Tapi nyatanya Lily sudah mendapatkan orang terbaik dimatanya selain dirinya sendiri.