Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 54 - Lamaran?

Chapter 54 - Lamaran?

"Tian?"

Tubuh Aya yang masih lemas itu tiba-tiba di jatuhi sebuah pelukan yang sangat erat oleh laki-laki bertubuh kekar itu. Aya merintih pelan.

"Yan, kalau kamu peluk aku gini, rasanya sakit." Tian merenggangkan pelukannya pada Aya. Sungguh, sebuah kebahagiaan yang tidak terkira saat menuju ke rumah sakit dan di lorong Tian diberitahu bahwa Aya sudah siuman. Sontak Tian melangkahkan kakinya dengan kekuatan seribu bayangan.

Aya menatap laki-laki yang menjadi subyek mimpinya selama koma ini. Entah dalam mimpi atau kenyataan Tian masih tetap sama, tampan. Walaupun Tian terlihat sedikit berantakan sekarang. Ada janggut dan kumis tipis di wajah itu.

Haruskah Aya bersedih karena tidak jadi menikah dengan Tian di dalam mimpi? Ataukah Aya harus bahagia karena bertemu tuan tampan ini di dunia nyata?

"Aya aku kangen kamu. Kenapa kamu ngorbanin diri kamu buat si Kentang itu?" Aya mengernyit, air matanya yang hendak mengalir terhenti saat mendengar Tian menyerempetkan nama Kevin.

"Aku bosan ketemu kamu terus." Entah dalam mimpi ataupun kenyataan, semuanya hanya penuh dengan Tian.

Tian menoleh mendapati masih ada dua suster yang masih berdiam diri di sana. Lantas satu suster itu menarik suster bernama Erna keluar.

Tian membantu Aya yang ingin mendudukkan dirinya di atas ranjang. Tian memandang wajah pucat Aya sepuasnya, rasanya sudah lama Tian tidak melihat senyuman di wajah ini.

"Kenapa tidur lama sekali? Aku kangen." Aya terkikik mendengar nada melas Tian.

"Kamu ketawa?"

Aya membungkam mulutnya dengan cepat. Untuk sekarang biarkan Aya bahagia karena telah tersadar dari mimpi panjangnya. Tian mengusap-usap wajah Aya dengan lembut, sembari menatap sayu itu dengan rindu.

"Lihat, lukamu bahkan sudah hampir kering Ya. Tapi luka di hatiku semakin basah karena kamu lama banget sadarnya."

"Cara sembuhinnya gimana?" Tanya Aya sengaja menyentuh dada Tian yang masih tertutup jas dengan telunjuknya, membentuk gerakan memutar-mutar kecil.

Tian menangkap tangan Aya dengan sigap.

"Kamu masih belum sadar ya Ya? Biasanya kamu gak kayak gini."

"Aku udah sadar Yan, gimana cara kasih tahu kamu biar kamu percaya?"

Tian menatap mata Aya dengan lekat, seakan berusaha memberitahunya bahwa Tian benar-benar merindukannya. Merindukan senyuman Aya dan juga merindukan mata lentik yang berkedip ke arahnya ini.

"Peluk aku."

Aya membulatkan matanya, Aya kira Tian akan meminta hal lain. Tapi sebuah pelukan? Bukankah Tian sudah melakukannya tadi?

Tapi sepertinya Tian serius. Membuat Aya yang ragu, kini ikut menatap pria itu serius. Aya bisa melihat air mata yang sudah bersiap mengalir dari mata Tian.

Lantas tanpa menunggu lagi, Aya melingkarkan kedua tangannya pada bahu Tian. Tian menerima pelukan itu dan menyembunyikan wajahnya di ceruk leher Aya, berusaha semaksimal mungkin menahan tangisnya.

Aya merasakan tubuh Tian bergetar. Setitik rasa bersalah di hati Aya hinggap melihat Tian seperti ini. Tian tampak sangat rapuh dan hampir hancur. Tapi kenapa? Apa karena Aya?

"Yan, maaf ya."

Tian hanya diam, menikmati pelukan yang Aya beri. Aya tersenyum bodoh, menyadari bahwa tindakannya beberapa hari lalu benar-benar menyakiti Tian.

"Tian, maafin Aya ya? Aya janji gak akan ngelakuin itu lagi."

"Kamu suka bohong." Celetuk Tian, lagi-lagi membuat Aya terkikik geli, sepertinya tenaga Aya akan habis karena banyak tertawa.

Aya kembali mengeratkan pelukannya, tangannya mengusap punggung besar itu dengan lembut, berusaha menyalurkan ketenangan. Namun tak lama setelah itu Aya merasakan lehernya basah, Tian menangis.

"Maaf ya Yan, buat kamu menunggu terlalu lama." Tian menggeleng, tidak ingin melepaskan pelukan ini saat Aya mencoba menjauhkan tubuh mereka. Tian rasa pelukan ini masih terlalu singkat untuk menyembuhkan kerinduannya yang tertahan begitu lama.

"Maaf Ya."

"Kenapa minta maaf?" Aya mengernyit heran.

"Apa karena kamu genit ke suster yang namanya Erna tadi?" Tian melepaskan pelukannya dengan cepat. Menatap Aya dengan mata yang membelalak.

"Maksud kamu Ya?"

"Jangan pura-pura gak tahu, kamu pasti cari perhatian ke suster yang ada di sini kan? Kamu deketin mereka dengan modus suruh mereka jagain aku kan?"

"Astaga, enggak Ya! Aku sama sekali enggak carper. Mereka sendiri kok yang mau nawarin diri buat jaga kamu, jadi ya aku setujuin aja."

"Halah, di mimpiku kamu juga genit ke suster kok. Ternyata di sini juga ya?"

Aya tersenyum, kemudian mengusap pipi Tian yang basah. Mendapat sentuhan Aya, Tian sadar bahwa dia membiarkan Aya melihat air matanya.

"Terus maaf buat apa?"

"Maaf, karena aku gak bisa berbuat apa-apa tentang mimpi-mimpi itu."

"Kenapa kamu jadi minta maaf soal mimpi-mimpiku? Ini mimpiku Yan, kamu gak perlu merasa bersalah. Maaf bikin kamu merasa gitu Yan."

Tian menangkap tangan Aya yang masih mengusap lembut pipinya. Kejadian ini membuat Tian sadar, bahwa Tian tidak boleh menunda banyak waktu untuk segera memiliki Aya. Tian tidak ingin kehilangan Aya.

"Ya."

"Hm?"

"Ya."

"Apa Yan?"

"Kamu mau jadi istri aku gak?"

Aya yang baru sadar dan di tanya seperti itu membuat beberapa sel otaknya ngelag. Aya bahkan menepuk-nepuk telinganya, takut ada sesuatu yang memasuki telinganya semasa ia tidak sadar.

"Bisa ulangin lagi gak Yan?" Tanya Aya dan Tian tersenyum, menggenggam kedua tangan Aya.

"Ayo nikah sama aku Ya. Aku temen masa kecil kamu, mau jadi suami di masa depan kamu." Aya melepas genggaman Tian pada tangannya dengan cepat dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya yang sudah bebas.

Apa Aya terkena efek bangun dari koma? Tubuh Aya memanas sekarang?

"Aya." Panggil Tian. Namun Aya sama sekali tidak meresponsnya.

"Ya, aku gak masalah kalau setelah nikah nanti kita hidup di pedalaman. Cuman berdua sama kamu, aku mau lakuin apapun Ya. Aku gak peduli tentang mimpi kutukan itu, karena dia bagian dari kamu."

Aya mengintip Tian dari sela jarinya. "Kamu yakin Yan? Mau hidup di pedalaman?" Tian mengangguk yakin.

"Aku cinta sama kamu Ya. Ayo nikah. Aku mau punya anak dari kamu." Ah, rasanya semakin sulit untuk menunjukkan wajah Aya pada Tian.

"Kamu tahu gak Yan, dalam mimpi aku kita juga nikah. Tapi waktunya gak sekarang."

"Kapan?"

"Dua tahun lagi." Tian terbengong, ia sama sekali tidak bisa menunggu Aya selama itu. Tian sudah bertekad bahwa jika Aya sadar nanti, Tian akan langsung melamar Aya.

"Kelamaan Ya." Rengek Tian.

"Aku belum selesai ngomong!" Tian mengulum bibirnya, berusaha menyimak Aya lebih lama lagi.

Aya menghela nafasnya dan menurunkan tangannya dari wajahnya perlahan.

"Walau di mimpi dua tahun lagi. Aku mau nikah sama kamu bahkan jika itu besok Yan." Kali ini Tian yang berusaha mengecek gendang telinganya.

"Aku gak salah dengar Ya?"

"Aku sadar dari mimpi itu Yan. Kalau aku ternyata cinta banget sama kamu. Meskipun ada mimpi-mimpi kematian yang menunggu di masa depan nanti, aku cuman mau hidup buat hari ini, masa depan pikirkan saat sudah sampai. Aku gak mau berpikir jauh lag..Aaa!"

Tubuh Aya ambruk ke belakang dengan sedikit keras. Membuat kepalanya yang masih pusing dan tubuhnya yang masih kaku kesakitan. Mata Aya terpejam menahan sakit itu.

Namun detik berikutnya saat Aya membuka matanya, Tian sudah ada di atasnya sembari menatapnya intens.

Tian mau apa? Nanti ada dokter sama suster masuk!