Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 57 - Suara dari masa lalu

Chapter 57 - Suara dari masa lalu

Tian menutup pintu kamar Aya sepelan mungkin, setelah dokter memberi obat penenang akhirnya Aya dapat tidur dan tidak menangis lagi. Tian menghela nafasnya, sekarang yang ada di otaknya hanya berisi pertanyaan 'apa yang menyebabkan Aya seperti itu'.

Tian masih tidak mengerti kenapa Aya begitu tidak menginginkan Tian untuk dekat-dekat dengan Erna. Padahal Tian hanya meminta tolong pada Erna untuk mencari spot indah di rumah sakit ini dan Erna menyarankan rooftop rumah sakit ini.

"Kamu tahu sesuatu Wat? Kenapa Aya menangis sampai seperti itu tadi?" Tanya Tian pada Wati yang masih ada di sana. Memperhatikan Aya dari celah tirai jendela yang terbuka.

"A-aku enggak tahu."

"Aku enggak ngerti kenapa Aya gak suka banget aku deket-deket sama Erna. Padahal suster Erna itu baik loh, jagain Aya selama di sini."

"Kenapa kamu enggak turuti saja kemauannya untuk sementara ini Yan, jangan dekat-dekat dulu sama Erna. Yang penting Aya tenang dulu." Saran Wati mengingat Aya sangat histeris tadi. Sebenarnya Wati tahu kenapa Aya bisa menangis sampai seperti itu, tapi Wati merasa tidak punya hak berbicara.

Aya takut sesuatu yang buruk menimpa Tian, Aya sudah memimpikan kematian Erna dan dalam mimpi itu Tian adalah seorang tersangka. Sekarang, Wati hanya bisa mencoba hal-hal kecil untuk membantu Aya dan menghindari mimpi itu jadi kenyataan.

Laki-laki yang berdiri di sampingnya kini berjongkok pasrah, sesekali mengusap kasar rambutnya. Tian tampak sangat stres, tapi kenapa? Wati takut bahwa Tian mulai menganggap Aya sebagai beban.

"Aku tadi cuman cari tempat buat lamar Aya Wat, Dan Erna juga mau tunjukin atap rumah sakit ini."

"Kamu mau lamar Aya di atap?"

"Iya, aku pikir enggak ada salahnya lihat lokasi itu."

Wati hanya bisa terdiam seribu bahasa, lalu kembali memperhatikan Aya yang tengah tertidur lelap di kamarnya. Wati penasaran apakah Aya sedang memimpikan kejadian yang sama saat ini? Keningnya tampak berkeringat dan dahinya berkerut dalam.

Aya, bahkan tidur pun ia tidak bisa mengistirahatkan pikiran. Selalu saja ada mimpi yang mengganggu wanita itu. Wati jadi ingin berlari masuk dan membangunkan Aya. Tapi walau begitu fisik Aya butuh istirahat, Wati dalam dilema.

"Harusnya Aya enggak terus-terusan di kasih obat penenang." Gumam Wati.

"Ha?"

"Enggak Yan, aku cuman bilang harusnya Verdi enggak pergi lama-lama sama Kevin."

"Kevin? Bukan yang aku tahukan?" Sia, sepertinya Wati terlalu banyak berbicara. Tian tampak menahan kilat-kilat amarahnya.

"Ya, Kevin yang kamu kenal."

"Sialan! Padahal aku udah bilang sama dia jangan dekat-dekat lagi sama Aya. Masih aja ke sini!" Geram Tian.

"Memangnya kenapa? Kevin ke sini cuman mau menyampaikan terima kasih sama Aya karena udah nyelamatin dia."

"Kamu lupa Wat? Citra tetap mati bahkan ketika takdirnya berubah?" Tubuh Wati membeku, bahkan tidak menyadari kehadiran suaminya hingga suaminya itu menepuk bahunya sedikit keras.

"Sendirian sayang? Pak Kevin mana?"

"Dia lagi sibuk kayaknya, dapat panggilan telepon habis itu pergi." Verdi melirik temannya yang tampak sangat frustasi itu, kemudian tersadar bahwa mereka sedang berada di luar ruangan Aya.

"Kalian ngapain di luar? Kamu juga kenapa Yan? Masam gitu mukanya." Tian tidak menjawab, masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Lantas dengan cepat Wati menarik suaminya duduk di sebuah kursi tunggu yang letaknya sedikit jauh dari Tian. Di sana Wati menjelaskan semuanya pada Verdi dengan nada suara yang pelan, masih menyadari di sekitar mereka ada suster yang berjaga.

"Kita harus cari jalan keluar." Putus Verdi, entah mengapa melihat istrinya yang berwajah pucat seperti ini sangat mengganggunya.

"Kilas info." Mata Verdi dan Wati sontak melirik televisi yang menyala di dekat konter, tempat para suster berjaga. "Telah terjadi sebuah kecelakaan di depan area perusahaan online market terbesar di negara ini. Diketahui bahwa pimpinan perusahaan itu juga terlibat dalam kejadian. Untuk sementara ini belum ada laporan berapa banyak jumlah korban..."

Tian mendekat kepada dua orang yang membeku itu.

"Aku sudah bilang kan. Kalau takdir kematian itu akan tetap ada, tindakan Aya kemarin itu hanya penundaan."

"Sayang, sekarang coba kamu cari tahu kondisi pak Kevin."

Verdi hendak berlari keluar dari gedung ini, tapi langkahnya terhenti saat melihat sosok yang kini tengah berdiri di tengah lorong. Wati dan Tian yang penasaran dengan Verdi yang tidak kunjung pergi pun menoleh dan mendapati Aya ada di sana.

Berdiri dengan tatapan mata kosong, perlahan-lahan melangkahkan kakinya menuju mereka. Ketiga orang yang ada di sana terkejut bukan main saat melihat Aya yang dalam pengaruh obat penenang itu bangun dan berjalan.

Dua suster yang sedang berjaga pun tampak langsung lari tergopoh-gopoh menghampiri Aya. Namun Tian cepat-cepat mencegah mereka. "Tidak usah sus. Biar saya saja."

Tian mendekat dan menggenggam tangan Aya dengan erat. Untuk diantarkan kembali menuju kamarnya. Namun Tian terkejut saat Aya menghempaskan tangan Tian dengan begitu mudahnya, seakan Aya memiliki kekuatan besar di kondisinya yang lemah.

Verdi yang mendapat sinyal bahaya segera menyembunyikan Wati ke belakangnya.

Aya menatap Tian dengan datar lalu menyunggingkan senyum miring, saat itulah Tian sadar bahwa yang ada di dalam tubuh itu bukanlah Aya. Tian tidak menyerah dan langsung membawa tubuh Aya paksa masuk ke dalam kamarnya.

Dengan cepat Verdi dan Wati mengikuti mereka lalu mengunci pintunya. Tidak ingin membiarkan siapa pun tahu tentang ini.

"Kamu siapa?"

Aya mengeluarkan sebuah tawa, tapi ketiganya tahu itu bukan tawa normal Aya. Tawa itu berbeda dari yang biasanya Aya keluarkan. Tawa Aya saat ini sangat menyeramkan.

"Kamu siapa?" Tanya Tian lagi, kali ini dengan nada yang lebih tinggi.

"Aku? Aku adalah perwujudan kehidupan masa lalu anak ini."

"Maksudmu?!"

"Aya, gadis ini terlalu banyak membuat kesalahan di kehidupan lampaunya. Hingga kini Ia harus menanggung perihnya kematian orang-orang di sekitarnya."

"Jangan berbohong!" Teriak Wati.

"Aku di sini hanya untuk memberitahu, bahwa sudah satnya melepas kutukan ini."

"Caranya?"

"Nikahkan dia dengan pengendali mimpi, maka semua mimpi kematian itu akan segera berakhir." Setelah mengatakan itu tubuh Aya langsung ambruk ke depan. Beruntung Tian dengan sigap menangkap Aya dan mengembalikan gadisnya berbaring di kasur.

Tian menyingkirkan anak rambut Aya yang menempel di wajah cantik itu karena keringat. Gadis ini sangat cantik dalam tidurnya, tapi ia malah memiliki kutukan dalam tidurnya. Apa tadi yang dia bilang? Menikah dengan pengendali mimpi? Tian tidak bisa relakan hal itu terjadi begitu saja.

Wati dan Verdi mendekat, dengan sigap Wati merapikan selimut untuk Aya dan Verdi merapikan selang-selang yang menjuntai ke lantai. Selang-selang itu harusnya menempel pada tubuh Aya.

"Kamu pernah cerita ke Aya tentang pengendali mimpi itu Yan?"

"Memang pengendali mimpi itu benar ada?" Bukan mendapat jawaban, Tian justru melemparkan pertanyaan balik. Lantas Wati menatap Verdi dengan tanda tanya, dari awal Verdi yang memberi tahu Wati tentang pengendali mimpi.