Chereads / My Destiny from the Dream / Chapter 55 - Terjun

Chapter 55 - Terjun

Aya berniat mencari angin segar di luar kamarnya, tepatnya di sebuah taman yang terletak tidak jauh dari kamarnya. Sendirian! Tapi suster bernama Erna atau orang suruhan Tian ini selalu membuntutinya kemanapun dan kapanpun.

"Jangan ikuti Gue!" Peringat Aya untuk yang ke sekian kalinya hari ini.

"Tapi, mas Tian minta saya buat awasin mbak." Mas? Aya di buat tertawa sumbang oleh suster ini.

"Dengar ya, aku udah bisa jalan tegak dan perutku baik-baik saja. Apa sebagai suster kamu enggak punya tugas lain?"

Suster Erna itu tampak berpikir panjang.

"Ada sih, tapi mbak enggak usah khawatir. Jaga mbak Aya lebih penting dari apapun."

"Kenapa?"

"Karena mas Tian yang minta saya." Aya memutar kedua bola matanya dengan malas. Aya ingin sekali menyemprot wanita di hadapannya ini dengan fakta bahwa Tian baru saja melamarnya kemarin.

"Dengar ya suster. Saya enggak peduli kalau suster mau deketin Tian. (Karena Tian enggak akan tertarik). Saya peringatkan, ini berbahaya buat mbak." Aya memang belum memimpikan siapa pun sejak bangun dari komanya. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa Aya akan bermimpi lagi.

"Kenapa bahaya?" Aya harus menjelaskan bagaimana kepada suster lemot ini? Semok iya. Tapi otaknya sama sekali tidak berisi. Apa yang akan terjadi jika Aya jujur tentang mimpinya? Sepertinya itu hal yang mustahil.

"Dokter!" Aya berlari menghampiri Rian, teman Tian yang berprofesi sebagai dokter itu. Tindakan tiba-tiba itu membuat jantung Erna naik-turun dengan cepat. Jahitan di perut Aya belum kering total, bisa saja robek jika Aya bergerak teralu berlebihan. Akan berkata apa Erna pada Tian nanti?

Rian yang menyadari kehadiran Aya langsung memberi aba-aba Erna untuk pergi.

"Tapi pak, mbak Aya."

"Enggak apa-apa. Saya yang jaga." Erna menganggukkan kepala dan mengundurkan diri dari sana dengan sangat tidak rela.

"Gimana Ya? Udah mendingan?"

"Udah bisa lari kok."

"Tapi darah kamu tembus baju loh sekarang." Sontak mata Aya turun ke bagian perutnya. Sialan! Aya tidak sadar. Tidak terasa sakit juga.

"Ini gara-gara suster sialan itu! Aku udah pindah kamar masih juga ngintilin."

"Dia memang gitu Ya. Bisa pindah sesukanya. Anak yang punya rumah sakit."

"Ah, pantas aja kok gak ada yang ingetin dia lari-lari gak jelas ke sana-sini. Enak banget ternyata hidupnya."

Rian melambaikan tangannya, memberi aba-aba pada Aya untuk mendekat.

"Tapi banyak yang bilang dia itu bodoh, cuman di hormati karena cantik sama anak pemilik rumah sakit. Selain itu dia nol besar." Aya mendelik dan Rian memperingatkan Aya untuk mengunci mulutnya.

"Aku antar ke doktermu yuk, biar di jahit lagi lukanya." Aya mengangguk dan mengikuti langkah Rian. Sesekali Aya meringis merasakan sakit di perutnya.

Ada pertanyaan yang sangat ingin Aya tanyakan pada teman Tian satu ini, tapi Aya takut Rian akan membocorkannya pada Tian.

"Ri."

"Jong Hyok."

"Yah, tentara dong." Aya dan Rian tertawa bersama.

"Gue kira Lo orangnya dingin Ya, rupanya bisa receh juga." Itu karena ada alasan tersendiri yang tidak bisa Aya jelaskan. Sekarang Aya hanya bisa mengunci mulutnya rapat-rapat.

"Eh, Lo mau tanya apa tadi?"

"Tanya.." Aya mamang, ragu untuk mengajukan pertanyaan ada Rian. "Lo tahu Tian deket sama siapa aja pas Gue koma?"

"Cuman itu tadi, Erna. Kalau Gue lihat sih Tian biasa aja. Cuman Erna kayak berharap lebih gitu." Sungguh bukan suatu kenyataan mengejutkan lagi kalau Erna menyukai Tian. Itu terlihat sangat jelas.

"Lo enggak usah khawatir Ya. Tian tetep ada di samping Lo setelah bahkan sebelum berangkat kerja. Kalau dia enggak di marahin sama dokter yang rawat kamu, mungkin dia udah pindah kantor ke rumah sakit ini." Aya terkikik geli.

"Makanya dia cuman bisa minta tolong Erna, secara dia yang paling bisa melakukan apa pun tanpa di tegur." Aya tersenyum simpul, mau bagimanapun Tian masih tetap mengutamakan Aya. Jadi Aya bisa bernafas lega sekarang.

*

Aya mencari keberadaan Tian yang izin padanya untuk membeli sesuatu, tapi setengah jam Aya menunggu Tian sama sekali belum kembali.

Aya berusaha bangkit, tapi sepertinya obat bius di perutnya terasa sampai kaki. Aya tidak bisa berjalan, kakinya sangat lemas. Aya terjatuh ke lantai dan baju yang di pakainya kembali berwarna merah di bagian perut.

Ke mana Tian?

Ah, sulit sekali untuk meraih tombol untuk mencari bantuan. Aya meraih kursi roda yang tak jauh darinya, dengan susah payah Aya duduk di atasnya dan keluar dari kamarnya.

Aya menghampiri pos jaga suster yang ada di ujung lorong gedung ini.

"Suster."

"Astaga mbak, butuh apa? Kenapa enggak tekan bel aja?" Marah kepala suster yang melihat kondisi Aya.

"Ayo saya antar dulu kembali ke kamar, habis itu saya panggilkan lagi dokternya ya." Ujar salah satu suster lain berusaha mendorong kursi roda Aya kembali ke kamar.

"Enggak sus. Saya cari temen saya dulu." Tolak Aya cepat.

"Temen mbak yang mana?" Tanya suster itu lembut.

"Mbak lihat dulu kondisi mbak, kalau sudah sehat baru bisa keliling. Padahal kemarin luka mbak sudah hampir kering sepenuhnya." Marah kepala ssuter itu lagi.

"Tapi sus, tolong bantu cari temen saya." Mohon Aya sekali lagi dan ketiga suster yang ada di sana saling berbisik.

"Yang sama Erna tadi bukan?"

"Ke mana tadi bilangnya?"

"Ke atap bukan?"

"ya udah nanti aku susulin ke sana, kamu bantu pasien masuk ke kamar lagi." Perintah kepala suster itu dan di angguki kepala oleh dua bawahannya yang lain.

Tian? Bersama dengan Erna? Berdua? Di atap? Mereka sedang melakukan apa? Argh, Aya benci pikiran Aya.

Aya tidak bisa membiarkan ini, Aya bangkit dengan kekuatan penuhnya dan berjalan dengan cepat menjauhi suster yang hendak membawanya kembali ke kamar.

Tidak memedulikan perutnya yang semakin berbalur darah dan teriakan marah kepala suster. Aya terus melangkahkan kakinya menuju atap.

Aya mengikuti papan tanda yang menunjukkan jalan menuju atap. Aya juga mengabaikan setiap lirikan aneh yang menjurus kepadanya.

Aya berhasil sampai di depan pintu atap yang sedikit terbuka. Aya tidak bisa membukanya semakin lebar, akrean melihat melalui celah sudah cukup membuat hatinya teriris.

Tian tengah berciuman dengan Erna.

Tian mencoba melawannya, namun Aya tetap sakit hati.

"Mbak Aya bukan? Kita satpam di suruh bawa mbak Aya ke kamar." Ada dua satpam dan dua suster yang siap membantu Aya berjalan.

Aya berniat menerima uluran tangan dua suster itu dan pergi, namun suara jeritan yang terdengar selanjutnya membuat Aya membulatkan mata. Saat Aya menatap lagi ke sana. Terlihat Tian sedang berada di pinggiran atap sembari menatap ke arah bawah.

Dua satpam yang ada di sana buru-buru melewati Aya dan masuk ke atap untuk melihat apa yang terjadi.

Aya mendekat bersama dua suster yang lain dan ikut menatap ke arah Tian melihat sekarang. Di bawah sana, ada tubuh berlumuran darah milik Erna. Tubuh mengenaskan itu kini di kerubungi oleh banyak orang yang menatapnya miris.

Aya dan dua suster lainnya memekik terkejut. Selanjutnya kedua satpam itu menahan Tian yang mereka duga sebagai pelaku.

Tian mendorong Erna hingga Erna mati?!