Aya dan Wati saling bertatapan, saat mereka tidak mendapat respon ketika menekan bel rumah Citra untuk yang ketiga kalinya. Wati memencet bel sekali lagi, bagaimana mungkin dengan banyaknya pembantu dirumah ini tidak ada satupun dari mereka membukakan pintu dan mempersilahkan keduanya masuk?
Wati masih berusaha menekan bel untuk yang kelima kalinya. Saat di kantor siang hari tadi, Aya dan Wati memutuskan untuk mengunjungi kediaman Citra tempat mereka biasa berkumpul.
Wati masih terus berusaha, sedangkan Aya sudah menyerah, duduk dipelataran rumah Citra. Tidak biasanya juga rumah Citra kosong penghuni.
"Wat, udah. Kita tunggu aja, mungkin lagi keluar." Wati mengangguk dan ikut duduk di samping Aya. Fikiran mereka berdua sudah melayang kesana kemari.
Wati mengeluarkan minuman bersoda dari tasnya dan memberikan salah satunya kepada Aya.
"Tumben bawa kayak gini?" Tanya Aya sambil membuka kaleng soda yang menyegarkan itu.
"Buat Verdi sebenernya, aku pake ini buat ngilangin kebiasaan 'minumnya' walaupun minuman soda kayak gini gak baik juga kalau kebanyakan, seenggaknya masih lebih baik daripada vodka, anggur atau semacamnya." Jelas Wati.
"Tapi apa gak susah, secara dia masih kerja di club malam." Tanya Aya penasaran dengan tekad Wati yang terlihat sangat sulit.
"Dia ada rencana buat jual club itu dan buka usaha lain yang lebih halal, masa dia pake uang hasil club malam buat disumbangin ke yayasan panti gitu." Setelah mengatakan itu, Wati mengambil kaleng kedua dari dalam tas, setelah meneguk habis kaleng pertamanya.
"Wah gak bener tuh, lo harus ajarin dia Wat." Aya tak habis fikir dengan teman Tian satu itu.
"Iya, moga-moga aja gue bisa bimbing Verdi ke jalan yang bener." Ucap Wati yakin, berharap usahanya akan membuahkan hasil yang bagus.
"Lah? Gak kebalik?" Aya terkekeh mendengar penuturan Wati.
"Aminin dulu kenapa?" Wati melirik Aya yang menatap remeh dirinya.
"Amiiin."
Tak terasa mereka sudah menunggu hampir dua jam disana. Didekat mereka sudah terkumpul beberapa botol minuman bersoda yang sudah kosong.
Wati sudah terlihat tidak bisa menahan kantuknya lagi. Tidak ada soda tersisa untuk menahan kantuknya. Sedangkan Aya terlihat masih sangat bugar, sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda kantuk seperti menguap ataupun mata yang sayu.
Aya mengusap kedua tangannya dan meniupkan nafas hangatnya ke telapak tangannya. Badannya sudah sangat menggigil dikarenakan angin malam yang menerpa. Bahkan jaket yang Tian berikan sebelum Aya dan Wati pergi kerumah Citra, rasanya tidak mempan untuk menahan dingin. Otaknya pun membeku ditambah dengan pemikiran-pemikiran negatif yang setiap menitnya hinggap bersarang.
Aya menatap ke kesekitaran rumah, berharap ada sinar dari mobil Citra, atau Umi dan Abi yang datang. Aya berharap seseorang didalam rumah Citra keluar. Setidaknya untuk menyuruh mereka pulang dan mengatakan bahwa Citra baik-baik saja.
Tapi percuma, Aya sedikit tidak berani menatap kearah belakang punggungnya, Aya takut jika bukan manusia yang mengintipnya dari sana. Seketika Aya merinding berfikir hal-hal konyol itu. Bagaimanapun malam semakin gelap dan sepi semakin menguasai suasana lingkungan ini.
Sesekali Aya memberanikan diri untuk menekan bel lagi. Siapa tahu orang yang mungkin menjaga rumah ini sedang tertidur dan terbangun entah karena bel keberapa yang Aya tekan, bisa jadi setelah ini.
"Wat, kira-kira Citra kenapa ya? Gak biasanya pergi-pergi tanpa kabar. Gak bisa dihubungin juga." Merasa tidak mendapat jawaban, Aya melirik Wati yang masih terduduk disampingnya. Rupanya Aya sedang berbicara dengan tembok, Wati tertidur dengan kepala disenderkan pada pondasi rumah.
Saat melihat dua buah sinar lampu dari mobil, setitik di hati Aya memunculkan harapan. Jika itu Citra, maka Aya akan memarahinya habis-habisan, berani sekali pergi bersenang-senang sendiri.
Namun Aya segera melupakan bahagianya karena mobil lain yang datang, bukan Citra ataupun Umi dan Abi, melainkan Tian dan sebuah mobil sedan yang Aya baru lihat berhenti di depan rumah Citra.
Aya segera membangunkan Wati yang tertidur dengan lelap, namun beberapa kalipun mencoba, Aya tidak bisa membuat Wati bangun dari tidurnya. Aya merasa bersalah karena mengajak wanita sibuk itu pergi bersamanya, untuk mengunjungi kediaman Citra yang ternyata sedang tidak berpenghuni.
Aya melihat seorang bapak-bapak yang terlihat sudah berumur dengan rambut putihnya di seluruh kepala dan kumisnya, menghampiri Tian dan Verdi, jika Aya tidak salah mengenali orang, bapak-bapak itu adalah RT di lingkungan ini.
Aya mendekat kearah mereka, ingin tahu apa yang dikatakan bapak-bapak itu.
"Mas saya minta tolong bawa mbak-mbak ini pergi dari sini?" Ucap bapak itu pada Tian dan Verdi yang baru turun dari mobil.
"Saya tahu mbaknya temen deket mbak Citra, tapi saya terus-menerus dapet keluhan dari warga sekitar, mereka minta saya usir mbak sama temennya. Jadi mending mbak pulang aja, mumpung saya masih baik hati gak nelfon polisi." Lanjut pak RT itu, melihat Aya mendekat kearah mereka.
"Maaf pak sebelumnya. Kok rumah Citra kosong ya pak?" Aya bisa pergi nanti, setelah tahu kondisi temannya.
"Kalau itu mbaknya gak perlu tahu, biar warga sini aja yang tahu." Aya mengangguk lesu, tak lupa meminta maaf dan berterima kasih tidak menghubungi polisi untuk mengusir mereka. Sebenarnya apa yang terjadi?
"Bapak tadi siapa Ya?" Tanya Tian penasaran.
"RT." Tian dan Verdi ber-oh ria.
Setelah itu Verdi pergi menghampiri istrinya yang tertidur diteras rumah Citra, digendongnya dan Verdi dudukkan istrinya di jok depan. Menepuk pelan pipi Wati dan memanggilnya sayang berulang kali agar istrinya terbangun, sehingga Verdi bisa berkendara dengan aman.
Aya menatap kemesraan dua pasang suami istri ini dengan iri. Tak lama setelah itu, Wati terbangun, raut mukanya memerah ketika menemukan Verdi berada dihadapannya.
Dasar, mereka masih seperti pengantin baru!
Aya dan Tian melambaikan tangan dikala mobil Verdi pergi menjauh meninggalkan mereka. Disaat Aya hendak masuk kedalam mobil, ia terkejut dikala Tian menangkup kedua pipinya.
"Dingin banget. Kamu nunggu terlalu lama. Coba kalau gak aku jemput, pasti masih nunggu." Aya mendelik kearah Tian, tapi justru itu menjadi keseruan tersendiri baginya.
Aya melepas tangan Tian dan segera masuk kedalam mobil disusul Tian. Aya tidak ingin Tian tahu debaran hatinya, atau Tian akan kepedean nantinya.
Tian berdeham.
"Apa?"
"Kamu sengaja gak pake sabuk pengaman, biar aku bisa modus ya?" Belum sempat Aya membalas perkataan Tian, Tian sudah lebih dulu memajukan tubuhnya meraih sabuk pengaman milik Aya, membuat Aya menahan nafas secara tidak sadar.
Tian menyempatkan diri mengecup bibir Aya sebelum kembali ke kursinya. Bahkan dengan sudut bibir Tian yang membirupun, senyuman Tian masih sangat mempesona. Sial!
"Nafas sayang." Aya gelagapan, segera mengambil nafas setelah Tian ingatkan. Hampir saja Aya lupa bagaimana cara bernafas karena Tian dan kembali bernafas karena Tian juga.
"Tian!"
"Apa sayang? sosis bakar nih." Tian meletakkan sebungkus sosis bakar kehadapan Aya, entah darimana Tian mendapatkannya.
Aya dengan senang hati memakan sosis enak itu, demi mengalihkan debaran jantungnya.
"Mau Yan?" Dengan cepat Tian mencegah tangan Aya yang membawa setusuk sate sosis terulur kearahnya, Tian sudah kenyang dengan sosis.
"Ya, film tengah malam mau?" Tawar Tian, yang pastinya sangat menggiurkan bagi Aya. Namun Aya sudah duduk dua jam lebih menunggu Citra, tubuhnya sudah sangat kaku.
"Enggak mau ah. Capek, mau tidur." Tolak Aya cepat, dikala mengingat ingin segera merebahkan tubuhnya.
"Kamu kan gak pernah tidur Ya." Pungkas Tian, hingga membuat Aya tidak bisa menolak.
"Ya udah deh." Tian memutar balik mobilnya menuju mall pusat kota. Jalanan seakan merestui mereka menuju bioskop, karena malam semakin larut jalanan menjadi lengang untuk di lalui.
Begitu memasuki kawasan mall yang beberapa toko sudah tutup, Tian dengan usilnya berjalan sambil memeluk Aya dari belakang.
Aya terkikik geli ketika mengerjai Tian dengan beberapa tusuk sate yang sengaja disisakannya, menyodorkannya kearah belakangnya sehingga Tian melepas pelukannya, namun kembali memeluk Aya setelah itu, karena Tian bahkan tidak mau melepas pelukannya saat mengantri membeli tiket bioskop dan ketika membeli popcron.
Suasana yang sepi membuat Aya dan Tian dapat mendengar suara kecemburuan beberapa pasangan yang hanya bergandeng tangan, anehnya Aya dan Tian justru tertawa mendengar itu.