Aya tersadar, dirinya sedang berjalan di sebuah jalan yang tidak asing ini. Aya tidak bisa mengontrol kakinya yang entah akan menuntunnya kemana. Setelah lama berjalan kakinya berhenti melangkah, masuk kedalam rumah yang luarnya nampak biasa namun dalamnya sangat mewah.
Ini bukan rumahnya, tapi entah mengapa Aya bisa membuka pintu rumah itu bahkan tanpa kunci.
Prang!
Begitu Aya masuk suara pecahan dari benda yang terbuat dari kaca menyambutnya. Suara dua orang yang berseteru hadir setelahnya. Aya mendekat dan mencari sumber suara itu.
Aya menoleh. Mendapati dua orang yang dikenalnya saling berhadap-hadapan dengan tatapan emosi di ruang tengah rumah itu.
Sang lelaki menarik rambut wanita itu hingga membuatnya terpekik, sambil menangis. Satu tamparan mendarat di pipi wanita itu.
Tamparan itu menyadarkan Aya bahwa yang ada disana adalah Citra, teman baiknya.
Aya berlari menjadikan dirinya tameng agar pukulan Farhan yang berikutnya tidak sampai pada Citra. Bagaikan tak kasat mata, Farhan dengan cepat melayangkan pukulannya dan begitu tekejutnya Aya dirinya sama sekali tidak merasakan sakit apapun disekujur tubuhnya, namun begitu Aya membalikan badan, tubuh Citra sudah terkapar tidak sadarkan diri.
*
Aya membuka matanya lebar-lebar, menatap langit-langit kamar yang bernuansa abu-abu ini. Ah, Tian pasti yang memindahkan Aya ke kamarnya semalam.
Aya menyeka air matanya, kenapa Aya bisa mendapatkan mimpi tentang Citra lagi? Ini tidak pernah terjadi sebelumnya, saat dirinya mendapatkan mimpi oleh orang yang sama, namun dengan kejadian yang berbeda.
Ah, itu tidak penting sekarang. Aya segera mengambil hpnya yang berada dinakas, tepat disamping hp Tian. Mencari kontak Citra dan segera menghubunginya.
Pikiran Aya terbang melayang kesana kemari, terlebih saat pergi meninggalkan Citra sendirian dirumahnya semalam, Aya melihat mobil terparkir di depan rumahnya, bukannya masuk ke rumah Citra jika memang yang datang Umi dan Abi.
Aya menggigit kukunya sendiri, menunggu telfon di angkat. Aya hanya ingin memastikan bahwa Citra dalam keadaan baik.
"Halo? Cit?" Ucap Aya langsung ketika nada menghubungkan berganti dengan suara Citra.
"Halo Ya, ada apa?"
"Kok suara lo gitu?" Aya sedikit curiga dengan suara Citra yang sangat serak.
"Gitu gimana?"
"Kayak habis nangis."
"Gue baru bangun tidur."
"Jam berapa ini. Lo gak sholat?"
"Gue lagi haid hari pertama. Sakit banget. Kalau gak penting gue tutup."
"Tadi malem yang dateng habis gue siapa?"
"Umi Abi lah, siapa lagi? Gak penting, aku tutup. Mau bobok lagi. Assalamualaikum." Nada telfon terputus menyambut telinga Aya bahkan Aya belum sempat membalas salam dari Citra, membuat Aya menjawab salam sambil bercicit sebal. Sepertinya percuma kekhawatirannya.
Aya tidak bisa menanyakan langsung bagaimana keadaan Citra saat ini dan menceritakan tentang apa yang dimimpikannya sekarang, Aya hanya tidak ingin ada keributan lagi.
Aya mengucap syukur tak henti-hentinya, Citra baik-baik saja. Semoga mimpinya ini hanya bunga tidur. Ayapun tahu harapan itu tidak akan terwujud kecuali ada keajaiban.
Aya melirik nakas yang terbuka, Aya merogoh nakas itu dan mendapati Ipad Tian sudah lenyap.
Ingin rasanya Aya mengurung Tian agar bisa beristirahat sehari saja tanpa bekerja. Aya bangkit dan segera keluar dari kamar Tian, berniat memarahinya.
"Tiaan!! Ipad lo man.." Aya terkejut mendapati ruang tamu apartemen Tian rupanya sedang kehadiran tamu.
"Hallo semua."
Dengan senyum kikuk Aya menutup pintu dengan cepat, merutuki dirinya yang terlihat memalukan. Aya menjatuhkan dirinya kekasur dan mengguling-gulingkan tubuhnya hingga terbungkus selimut.
Satu jam berlalu, Tian mengetuk pintu kamarnya sendiri. Aya melirik sebal saat Tian sudah berdiri diambang pintu dengan pintu yang sedikit terbuka.
"Masuk aja lagi, lo lupa ini kamar lo?" Tian terkekeh melihat rekasi dingin Aya padanya, ya, lagi pula ini bukanlah hal baru lagi untuknya.
Tian melangkah masuk dan duduk dihadapan Aya yang terduduk dengan selimut yang membungkus dirinya.
"Udah baikan?"
"Udah."
"Begonya gue tanya sama orang yang udah sibuk kerja."
"Kalau posisi kamu kayak gini aku bisa aja cium kamu Ya." Tian menatap Aya yang terperangkap dengan selimutnya.
"Jangan berani-beraninya ngelakuin itu. Atau aku.."
"Atau apa?"
"Atau kita gak temenan lagi."
"Bagus dong, berarti kita pacaran? Atau jadi suami istri? Kamu pilih yang mana Ya? Yang pertama atau kedua? Kalau aku langsung yang kedua, biar gak ciuman aja." Aya mendesis sebal.
"Gak pilih semua."
Tanpa aba-aba Tian menjatuhkan Aya kebelakang. Aya membelalakkan matanya disaat Tian berpindah posisi diatasnya bertumpu dengan kedua sikunya. Aya menatap tajam Tian, was-was bila Tian melakukan tindakan kurang ajar padanya.
Sesekali Tian menyingkirkan rambut Aya yang menghalangi wajah cantiknya. Aya cantik, hanya saja kurang peduli untuk merawatnya, matanya bulat memancarkan kehangatan hingga hati, pipinya sedikit berisi yang apabila mengurus akan terlihat lesung, alis yang sudah rapi tanpa perlu dicukur, dan bibir pink alami, membuat Tian ingin mencicipinya.
"Cium boleh ya Ya?" Aya sudah berulang kali mendengar kata-kata sejenis itu dari Tian, tapi entah mengapa sekarang Aya tidak bisa mengeluarkan kata penolakan. Ulahnya sendiri yang membuatnya terjebak dalam lilitan selimut ini dan tidak bisa melawan.
Aya menatap wajah Tian, benar-benar sangat tampan. Alis tebal dipadukan dengan mata tajam dengan bulu mata yang cukup lentik bagi seorang pria, dipadukan dengan hidung mancung yang tidak berlebih, rahang tegas dan bibir tipis.
Tanpa Aya sadari, bibir Tian sudah bertemu dengan bibirnya. Tian mengecupnya lama kemudian melepasnya untuk melihat reaksi Aya. Pipi Aya bersemu merah, mata bulatnya menatapnya penuh keterkejutan.
Aya ingin berontak dan berteriak, namun saat itulah Tian mengambil kesempatan. Tian kembali mencium Aya dengan lumatan-lumatan lembut, membuat Aya terbuai dan mulai mengikuti alur yang Tian buat.
Tian terkekeh melihat Aya yang masih memejamkan matanya. Aya berguling dengan cepat untuk melepaskan belitan selimut yang membungkus dirinya, namun naasnya, pantat Aya malah mendarat dengan tajam di lantai.
Aya melotot pada Tian yang malah asik mentertawakan dirinya.
"Ngapain ketawa?! Itu tamunya diurusin dulu."
"Udah selesai kok. Udah pada pulang. Kenapa mau lanjut?"
"Tian!" Aya harap jantungnya baik-baik saja saat ini. Tian berhasil meruntuhkan pertahanannya kali ini.
Aya mengambil langkah seribu untuk pergi ke kamar mandi untuk mencuci muka. Namun Aya tidak lebih cepat dari Tian, Tian menarik tangan Aya yang hampir membuka kenop pintu dan membawa Aya masuk kedalam pelukannya.
"Tian.." Rengek Aya, sungguh pertahanan Aya sudah melemah saat ini.
"Hmmm, jangan pulang ya, sini aja."
"Gak mau aku mau ngedrakor dirumah."
"Disini juga bisa."
"Gak, aku maunya dirumah."
"Aku masih sakit nih." Aya menatap Tian tanpa melepaskan pelukannya, memeriksa setitik kebohongan yang mungkin bisa ditemukannya. Aya menyentil dahi Tian, membuat Tian meringis kecil.
"Bilangnya masih sakit, tapi kenapa kerja?"
"Kamu tahu Ya?"
"Gak."
"Kalau beberapa hari yang lalu ada yang minta tolong buat bantuin temennya, jadi aku gak bisa nolak, soalnya yang minta tolong cantik banget." Aya memberengut.
"Tapi habis ini gak kerja lagi?"
"Gak, cuma itu tadi aja."
"Bener ya?"
"Suer."
"Ya udah." Aya bersiap keluar dari kamar untuk mencuci muka. Tian menahan tangan Aya dengan sigap, mencegah Aya keluar lagi.
"Kok keluar?"
"Mau berak. Ikut?"