Chereads / Sang Raden / Chapter 11 - Berhenti Sungkem

Chapter 11 - Berhenti Sungkem

Meskipun Raden meminta untuk bersikap biasa saja, tapi tetap saja paman dan bibi masih merasa canggung. Raden mengawali mengambil makanan terlebih dulu, sikapnya begitu anggun layaknya orang konglomerat. Sedangkan Kirana sudah semakin tidak sabar karena perutnya yang lapar dan butuh asupan makanan.

"Sekar. Pelan-pelan makan mu! Nanti kau bisa tersedak!" bibi memberikan peringatan.

"Maaf Bibi, ubi ini enak sekali dan kebetulan aku sangat lapar" jawab Kirana dengan mulut yang penuh menatap bibi memelas.

Paman hanya menggelengkan kepalanya. Hanya ubi yang bisa membuat Kirana kenyang, selama di sana ia sama sekali belum pernah menemukan nasi.

Padahal jika dilihat, di desa itu banyak yang menanam padi. Tapi yang disajikan selama ia disana hanya umbi-umbian, nasi jagung, nasi gaplek. Yang semua itu aneh di lidahnya.

"Pantas saja kau pingsan, ternyata kelaparan!" ucap Raden meliriknya tajam.

"Ini juga salahmu yang mulia! Kamu tidak pernah membantuku mencari kayu bakar, sayur, lauk, semuanya aku lakukan sendiri. Dasar tidak berperasaan!" ucap Kirana gemas.

Tentu saja tidak pernah, calon raja mana mungkin mau melakukan pekerjaan keras seperti itu? Bahkan telapak tangannya saja lebih halus dan mulus daripada telapak tangan Kirana.

Paman dan bibi agak terkejut mendengar ucapan Kirana, wajah mereka langsung berkeringat dan pucat. Bibi juga langsung memelototi Kirana, sedangkan gadis itu masih bingung berfikir dimana letak kesalahannya.

"Sekar, jaga ucapanmu!" ucap paman dengan nada yang sedikit berbisik.

"Maafkan keponakan saya Raden" ucap paman gemetar. Kedua telapak tangannya menyatu di depan wajahnya.

Kirana berhenti mengunyah, gara-gara perkataannya tadi paman jadi meminta ampun pada Raden. Perlakuan kaku seperti itu bikin semakin tidak nyaman, salah ucap sedikit nyembah, bicara keras sedikit langsung minta ampun!

Kirana terdiam, antara kesal juga sungkan. Atas perlakuan hormat yang berlebihan begitu, Raden pasti akan semakin mudah menindas Kirana dan mendapatkan pembelaan dari paman dan bibi nantinya.

Raden berperilaku lembut dan menurunkan tangan paman yang sembah sungkem padanya. Sungguh, membuat Kirana terbelalak karena sangat diluar dugaannya.

"Tidak apa-apa paman, apa yang diucapkan Sekar ada benarnya" ucap Raden dengan nada tenang.

Paman dan bibi saling pandang, tidak disangka, Raden yang beku bisa bersikap begitu hangat. Kirana melirik Raden lalu menggigit ubi dengan kesal.

"Dasar. Lebay!" gerutunya dalam hati.

Suasana kembali hening, mereka menikmati makanan tanpa ada suara sedikitpun. Tapi kali ini Kirana harus bersikap agak hati-hati, jika dia terus blak-blakan dihadapan paman dan bibinya, maka mereka pasti akan pegal gara-gara terus menyembah dan minta ampunan.

*****

Paman terlihat gusar diatas tempat duduknya, sesekali Paman menatap Raden. Ia ingin memberikan usul tapi di sisi lain juga, paman tidak sampai mengatakannya.

"Ada apa paman? Katakan saja padaku, tidak perlu sungkan." Ucap Raden Sastra dengan mimik wajah yang serius.

Paman tersentak saat Raden mengetahui keresahannya, ia tertegun sejenak kemudian tertunduk untuk menghindari tatapan tajamnya.

"Ampun Raden. Jika berkenan... Ijinkan saya memberikan usul kepada Raden" ucap paman dengan sopan dan penuh kehati-hatian.

"Katakanlah" Raden menatap paman seksama, Kirana dan bibi diam sunyi menyimak pembicaraan itu.

"Raden. Dalam posisi yang genting seperti ini, demi melindungimu... Apa... Raden mau untuk sementara waktu menyamar menjadi penduduk desa?" ucap paman ragu.

Setelah mengatakan maksudnya, paman melipat lagi tangannya untuk sungkem dengan penuh rasa hormat. Sedangkan Raden Sastra masih terdiam dengan posisi dan ekspresi yang belum berubah.

"Jika Raden menyamar menjadi penduduk desa, berarti sikap paman juga harus berubah pada Raden Sastra! Jangan sungkan dan berhenti sungkem seperti itu" Sahut Kirana dengan nada cuek masih dengan iringan ubi di mulutnya.

"Apa maksudmu Sekar?!" paman marah.

Kirana langsung cepat-cepat menelan ubi yang ada di mulutnya, karena terkejut dengan tatapan garang yang sedang memelototinya.

"Paman... Maaf Raden, jika aku terlalu lancang" ucap Kirana mencoba untuk meniru pamannya yang sungkem sebelum bicara. Meskipun masih agak kaku tapi ia bisa melakukannya dengan baik.

"Coba Paman pikir... Jika Paman selalu sungkem pada Raden Sastra, apa para penduduk lain tidak akan curiga nantinya?"

Semua orang terdiam menatap Kirana, apa yang dikatakan oleh Kirana memang benar. Melihat dari segi ketampanannya saja sudah sangat mencurigakan, mana ada penduduk desa setampan dan segagah ini? Iya kan! Apalagi jika paman dan bibi bersikap memuja dan menghormati, yang ada malah akan mengundang banyak pertanyaan nantinya.

"Iya juga ya" gumam paman mengusap janggut abu-abunya.

"Saat ini aku sama sekali tidak memiliki kekuasaan, saat ini aku berada di tengah kehidupan penduduk" Raden beranjak dari tempat duduknya.

"Jadi kalian harus menganggapku sama dan tidak perlu sungkan terhadapku" jawab Raden kemudian berbalik menatap mereka semua, matanya terhenti pada sosok gadis yang sedang meliriknya tajam.

"Kanjeng... " ucap bibi bergetar menahan air matanya.

Bibi terharu, tapi juga merasa iba pada penerus kerajaan yang malang ini. Kirana tidak ingin larut dalam perasaan dan terus makan ubi untuk mengalihkan baper.

"Tapi aku ingin bukti terlebih dulu" ucap Raden Sastra tiba-tiba ekspresi berubah dingin.

"Bu... Bukti yang bagaimana kanjeng Raden? Dengan cara apa kami membuktikannya? Kami akan berupaya keras demi membuktikannya kepada Raden" ucap paman dengan hati yang berdebar.

"Baiklah, jika kalian memang kalian benar-benar setia padaku, aku meminta satu permintaan saja, permintaanku harus kalian tepati dan tidak boleh dilanggar!"

Pembuktian seperti apa yang diinginkan pria angkuh itu? Dan permintaan yang seperti apa? Paman khawatir jika Raden meminta harta, ia tidak akan sanggup karena kehidupan paman sendiripun sedang tertindas.

Raden Sastra melangkah dan berdiri tegak dihadapan paman, tinggi badan paman hanya sebatas dada Raden. Kirana masih menyimak apa yang akan di minta oleh pria anggun itu.

"Jangan-jangan dia minta istri" gumamnya sambil melirik Raden kesal.

Tangan kuat itu mencengkram kedua lengan paman yang sedang gemetar, meskipun paman ada di hadapannya sekarang, sedikitpun paman tidak berani menatap Raden.

"Kau harus menuruti permintaanku ini paman, aku minta... Kau, menganggapku seperti keluarga, seperti saudara, seperti anak kalian. Tanpa rasa sungkan, berhenti sungkem kepadaku untuk sementara waktu" Raden menepuk pundak paman.

Wajah paman langsung tersangka dan menatap pekat pada Raden, ia benar-benar terkejut dengan apa permintaan Raden barusan. Bagaimana bisa seseorang dari keturunan langsung kerajaan, minta untuk dianggap keluarga oleh rakyat jelata.

"Tapi Raden..." paman bergetar.

"Ini perintah!" ucap Raden kemudian meletakkan tangan di balik punggungnya.

Paman melempar pandang ke arah bibi, sedangkan bibi mengangguk sambil tersenyum.

"Jika itu memang permintaan Raden, maka kami akan lakukan setulus hati" ucap paman membungkuk sejenak.

Raden langsung menahan paman supaya tidak melakukannya lagi, kemudian ia langsung merengkuh paman ke dalam pelukannya.

"Baguslah, setelah itu dia akan berhenti bersikap manja dan angkuh!" gumam Kirana lagi lalu mengigit ubi dengan kasar.