Kekuatan penuh seseorang muncul ketika dia yakin akan berhasil. Karena itu, aku juga harus yakin bisa menang dalam perlawanan seberat apapun itu. Tak ada kata mundur kecuali kau ingin mati.
"Hiak..." balasku melawan serangan Tamsa dengan pedang yang ku rampas dari tangan Mentri. Aku terus melawan Tamsa tak henti, keyakinanku begitu tangguh saat Moin-Moin dan Raja terlintas di pikiranku. Demi mereka... hanya demi mereka, aku rela mengorbankan diriku asal meraih kemenangan.
"Akan kubuktikan ramalan itu benar!" Tamsa telah di rasuki ramalan yang tak masuk akal. Padahal sudah jelas tantangan panah itu cukup membuktikan dirikulah pemenangnya. Dia begitu serakah hingga melanggar peraturan dan kesepakatan yang dibuat bersama. Sangat egois, kau hanyalah iblis yang harus dimusnahkan dari muka bumi.
Seng! Seng! Seng!
Dua pedang itu begitu semangat, jika begini terus maka akan ada korban salah satu dari kami. Aku bukanlah Pangeran Saka yang di warisi jiwa pembunuh walaupun bukan saudara sendiri. Aku adalah Pangeran Buth Stefan, Pangeran Penempuh Masa. Walau aku belum tahu mengapa aku di juluki Pangeran Penempuh Masa, namun bagiku julukan itu pasti bermakna hiduplah. Dan arti hidup sesungguhnya bagiku itu adalah cinta. Jangan bermain-main dengan hidup ini, kau bisa kehilangan cintamu kapan saja.
Tap!!
Walau aku tangguh, namun menggunakan pedang itu tetap bukan keahlianku. Aku terdorong mundur hingga terjatuh dan pedangku terlepas begitu saja dari genggaman. Mataku hanya menatap takdir Tuhan, seketika pedang yang menghembus menancap terlalu cepat. Namun... semuanya belum berakhir. Pedang ganas itu tak menyentuh tubuhku sedikitpun. Ada apa ini? Aku membuka mataku perlahan dari pejaman pasrah.
"Penasihat!" teriak Mentri. Setelah membuka mataku tak seikitpun aku berkedip, bahkan aku tak tahu harus apa. Dialah Penasihat yang terluka dengan kepasrahan setulus hatinya rela berkorban untukku. Pedang ganas itu menusuk jantung Penasihat hingga dia mati lemas tepat di hadapanku. Roh suci itu lepas begitu saja dari jasadnya, bibir yang tersenyum dan wajah setenang embun.
"Tidak...tidak! Penasihat... hiks... hiks..." Aku jadi begitu cengeng karena merasa menyesal telah gagal melindungiya, apalagi gagal menembus kesalahanku. Aku menggepal tanganku geram, seakan amarahku telah meledaki seluruh ubun-ubun. Mataku tak henti menatap tajam Tamsa. Tamsa memundurkan langkahnya sedikit demi sedikit dan kabur seperti pecundang. Aku mengejarnya hingga di depan halaman istana. Tanganku melaju dengan cepat membabak belurkan Tamsa hingga dia terjatuh melemas.
"Pangeran! Aku melihat Tuan Putri lari ke arah laut Sira," ucap Mentri Pertanian berlari ke arahku dengan panik. Ada apa ini, Moin-Moin lari ke laut Sira? Firasatku jadi aneh.
Seketika aku berlari sekuat tenaga ke laut sira, pikiranku mulai cemas, seharusnya aku tak meninggalkan Moin-Moin begitu lama di luar gerbang. Apa mungkin ada sesuatu hal yang terjadi? Seseorang mengejarnya? Pikiranku terus terusik cemas, aku telah gagal melindungi Penasihat dan belum sempat menembus kesalahnku, namun jangan Moin-Moin, aku tidak bisa menerimanya.
Sampai di perbatasan laut aku tak melihat Moin-Moin. Dimana dia?
"Moin-Moin! Moin-Moin!" Aku terus menjerit memanggil namanya, namun tak ada tanda keberadaanya. Jangan-jangan... tidak!
"Moin-Moin....!" jeritku lebih keras. Tidak... tidak mungkin Moin-Moin meninggalkaku seperti ini, tidak mungkin... tidak...
"Pangeran!" terdengar panggilan Moin-Moin dari belakangku.
"Moin-Moin?" Aku membalikkan tubuhku dan mencurahkan rasa rindu. Aku memeluknya erat dan menangis sesal. "Maafkan aku! Maaf..."
Moin-Moin melepaskan pelukanku, menghapus air mataku dengan halus, lalu menatapku lama, dan tersenyum sambil mengecup lembut bibirku.
"Ikutlah denganku!" ajak Moin-Moin pergi membawaku ke ujung atas bukit.
Aku mengikutinya dengan firasat yang begitu aneh. Kenapa Moin-Moin membawaku ke suatu tempat di saat kondisi kerajaan sedang kacau?
-Moin-Moin berhenti sambil menghadap matahari yang mulai menggelapkan lagit. Langit memerah hangat meyurutkan ombak laut Sira. Para burung bersorak kembali ke sarangnya. Sampai tak ada lagi yang menggaggu suasana saat ini, hanya angin sepoi-sepoi yang tertiup pelan. Rambut panjangnya terurai indah dihembus angin, menatap kesempurnaan alam yang Tuhan ciptakan.-
Aku terdiam heran dan mencoba memahami apa yang di inginkan Moin-Moin sebenarnya. Selangkah aku maju menghampirinya.
"Berhenti!" ucap Moin-Moin pelan.
Aku terheran-heran namun menurutinya, tapi pikiraku tetap saja cemas.
"Berjanjilah untuk terus hidup bagaimanapun caranya!" ucap Moin-Moin.
"Jangan katakan hal yang sama seperti ibuku seolah-olah kau akan pergi," balasku. Entah mengapa sepertinya aku pernah mengalami situasi seperti ini. Tapi, aku tidak tahu kapan itu dan kenapa rasanya kata ini sangat tidak asing?
"Berjanjilah!"
Tunggu, kata itu... dari mimpiku. Mimpi yang dulu terlintas di pikiranku sesuatu yang tak pernah terjadi ternyata sesuatu yang akan terjadi. Dan kini telah terjadi.
"Apa yang sebenarnya terjadi Moin-Moin? Katakan padaku!" tanyaku heran.
"Aku takut bila aku beri tahu hatimu akan hancur," ucap Moin-Moin.
"Moin-Moin, tolong katakan padaku, aku mohon!" harapku.
Moin-Moin membalikan tubuhnya menghadapku. Air matanya tak henti mengalir, bibirnya gemetaran untuk mengucapkan kebenarannya. Aku mengerutkan keningku heran. Lalu, Moin-Moin menunduk sambil mengangkat tangan kanannya.
Seketika aku terkejut dan melototi hal itu. "Tunggu, Moin-Moin... apa yang..." aku tak tahu harus berkata apa.
"Ya, kau lihat itu kan? Iblis akan segera menguasai tubuhku, beberapa waktu dalam hitungan detik aku akan berubah menjadi iblis dengan tujuan balas dendam padamu. Lantas bagaimana bisa hal itu terjadi... hiks... hiks..."
"Tapi, bagaimana bisa?" tanyaku semakin heran.
"Saat aku menolongmu dari serangan dahsyat peyihir itu, aku mengenainya. Sejak itu aku menyadarinya, aku melihat ada api yang menyala dari tanganku, namun aku menutupinya darimu karena sihiran itu awalnya belum bereaksi. Lalu, saat aku menunggumu di gerbang istana, melihat api itu semakin menyala dan sosok iblis keluar darinya dan dia mengatakan bahwa... aku akan menjadi iblis pembunuh, terutama kau Pangeran. Aku akan membunuh kekasihku sendiri... hiks... hiks...tidak...." Moin-Moin menenangkan dirinya dan menghapus air mata. Dia mulai tersenyum padaku. "Tidak, tidak akan kubiarkan hal itu terjadi, tidak akan. Berjanjilah untuk terus hidup bagaimanapun caranya!" tegas Moin-Moin dengan pasrah.
Ucapan itu...
"Berjanjilah!"
Tidak... ucapan itu...
-"Ibu mohon padamu, hiduplah!"
"Berjanjilah!"
-"Hiduplah!"
Ibu... ibu...!
"Pangeran, jaga dirimu baik-baik dan ingat janjimu, tetaplah hidup bagaimanapun caranya! Aku mencintaimu, Pangeran kecilku..."
"Tidak... tidak... Moin-Moin jangan pergi! Moin-Moin....!"
"Pangeran!"
-Laju aku berlari menghampiri, namun tubuhnya telah berubah menjadi sosok iblis. Tubuh yang begitu pasrah mengayun menuju laut yang begitu dalam. Aku tak sempat menggenggam tangannya untuk terakhir kali. Tanggan pasrah itu semakin jauh dari jangkauan.
-Lenyap sudah pujaan hati, telah hilang dari teluk sedingin es. Air mata yang meninggalkan jejak, waktu yang tersiasiakan. Bodohnya diriku tak mehentikanmu sejak awal, aku takut, dan takut. Lalu sesal selalu di akhir, kau telah lenyap di telan ombak, lantas apa gunanya air mata ini?
-Hidup adalah cinta, tanpa cinta hidup tidak berarti. Hanya ada kehampaan, kegelapan, sunyi, dan mendung. Cintaku Moin-Moin dan hanya Moin-Moin lah arti hidup bagiku. Sejak awal kedatanganku di dunia ini aku hanya melihat makhluk berjiwa hampa, namun aku jatuh cinta padanya. Kehampaan telah berubah menjadi cinta yang kuat, karena keyakinan cinta datang sebab kehampaan di isi dengan perasaan. Namun... kini tidak ada lagi cinta, apa arti hidup bagiku? Apa?
"Moin-Moin....!" Hiks...hiks....
Seketika aku menjeda jeritan tangisku, mengambil penawar pelangi yang berada di saku. Jadi ramalan itu benar, pada akhirnya kekuasan Kerajaan Saka berada di tangan Tamsa. Aku pikir aku telah menang, tapi... hiks... maafkan aku Raja! Aku mencintai Moin-Moin dan aku rela menjadi Pangeran Pengkhianat. Maafkan aku!
Aku meminum semua isi ramuan itu, lalu... melentang pasrah menyusul Moin-Moin dalam ombak yang begitu dalam. Menitikkan air mata terakhirku, sambil mendengungkan 2 suara indah dari bidadari surga.
-"Anakku..."
-"Pangeran!"
Terima kasih atas apa yang kau berikan, cinta, dan ketulusan. Mari kita menjelajahi alam selanjutnya bersama... aku senang, karena kita bersama selamanya.
***