Setelah kejadian di gua Paku aku dan Moin-Moin berhasil mendapat jalan keluar, untuk keluar dari hutan terlarang ini ternyata tidak ada hal aneh yang terjadi. Tapi, orang bilang tak akan ada satapun manusia yang bisa kembali hidup-hidup bila memasuki hutan terlarang. Entahlah, bagiku semua baik-baik saja, kami telah keluar dengan aman.
Sampai di perbatasan sungai aku menitik fokuskan penglihatannku pada seseorang dari seberangan sungai. Moin-Moin langsung berlari ke arah orang tersebut dengan cepat. Aku mengikutinya.
"Kakek, apa kau ingin aku bantu menyeberang?" tanya Moin-Moin berhati mulia pada kakek tua bungkuk dengan kumpulan kayu di punduknya.
Kakek itu sekejap menatap Moin-Moin dengan wajah datar, lalu mengalihkan pandangannya ke arahku.
"Kakek ap..." putus Moin-Moin.
"Lepaskan aku!" tegas Kakek itu sambil melepaskan genggaman Moin-Moin pada lengannya.
"Oh maaf, hanya saja..." putus Moin-Moin lagi.
"PERGILAH!" jerit kakek itu dengan marah.
Aku dan Moin-Moin terkejud mendengar jeritan kakek tua itu, perasaanku kami tidak melakukan kesalahan sedikitpun, kenapa malah meneriaki kami?
"Hormat padamu Kakek, aku adalah Pangeran Joe dari desa daratan sebelah. Kami tidak berniat untuk menakutimu, kami hanya ingin membantumu jika kau mau, bila tidak maka tidak apa!" ucapku penuh hormat pada Kakek tua itu. Aku harap dia mengerti ucapan dan maksudku.
Kakek tua itu menurunkan kayu dari punduknya dan menatap langit sambil berdoa, "Oh Tuhan... ampunilah aku! Aku tidak ingin mati sekarang, tolong jangan ambil nyawaku, lantas bagaimana nasib cucuku sendirian di dunia ini?" Buluku begitu merinding mendengar ucapannya itu. "Pergilah kalian! Jangan menambah nasib burukku atas kedatangan kalian!" tegasnya lagi.
Kakek itu mengangkat kembali kayunya dan pergi dengan terburu-buru. Keningku semakin berkerut cemas, aku menahan lengannya dan bertanya tegas, "Kenapa? Kenapa Kakek berkata seperti itu?"
"Lepaskan!" Kakek itu bersikeras tak ingin di sentuh. "Karena... aku tak ingin mati seperti kalian... wahai orang mati!" ucapnya tanpa ragu. Lalu pergi secepat mungkin.
"Apa maksud kakek itu?" tanya Moin-Moin, sedangkan aku masih terdiam datar, termenung, dan terus mengulang ucapan kakek itu di memori telingaku. Rasanya seperti nyata, tapi aku tidak yakin.
Seketika aku terkejud karena Moin-Moin memukul pundakku. "Sudahlah, ayo kita pulang, masih banyak hal yang harus kita lakukan!" ajak Moin-Moin.
"Oh, ayo," jawabku pelan. Kami pun melaju cepat ke istana dengan menaiki seekor kuda tanpa pemilik, Moin-Moin yang menyuruhnya.
***
Sampai di Istana, keadaan lingkungan terlihat sepi. Dimana semua orang? Bahkan satu pengawal pun tak muncul. Gerbang istana tertutup dan di segel.
"Kenapa di kunci? Hei... apa tidak ada pengawal di sini?" teriak Moin-Moin.
"Hoi..." aku ikut membantu.
"Ada apa ini Pangeran, kenapa tidak ada seorangpun di istana?" tanya Moin-Moin cemas.
Aku berpikir, sepertinya aku harus segera masuk ke dalam istana untuk memastikan apa yang sebenarnya terjadi.
"Moin-Moin, tunggulah di sini dan terus awasi bila ada sesatu yang mencurigakan teriak saja, ya! Aku akan memanjat gerbang istana dan menembusnya lewat pohon besar dekat jendela kamarku dan aku akan menyelinap masuk melewati jendela itu, jadi kau tunggulah di sini!" ucapku, lalu segera menaiki gerbang istana dan berjalan tembok dinding, melewati pohon besar hingga sampai di jedela kamarku. Lalu, aku membuka jendelanya dengan ranting kayu kecil.
Kamarku sedikit berantakan, tidak persis seperti terakhir kali aku meninggalkan istana. Perasaan aku pergi dari istana tidak begitu lama atau mungkin saja lama. Perlahan aku membuka pintu kamar itu dan melihat dalam istana juga sepi, tak ada seorangpun di sini. Raja! Aku harus melihat Raja.
Brak! Seketika aku aku membuka pintu kamar Raja dan di sanalah para bangsawan berkumpul. Raja masih tertidur, tapi...
"Tamsa, ada apa ini? Kenapa semua orang di sini, terus dimana semua pengawal? Kenapa jadi seperti ini, bukankah aku telah memberi tanggung jawab kerajaan padamu, lalu apa yang kau lakukan?" tanyaku terheran-heran.
"Apa yang aku lakukan? Kemari dan lihat lah pertunjukan kecil ini!" ucap Tamsa tersenyum licik.
Bhuk! Bhuk! Bhuk!
"Semuanya bertepuk tanganlah untuk kemenanganku, Raja baru kalian! Hahaha..." ria Tamsa. Para Bangsawan bertepuk tangan.
Aku melotot tajam saat melihat Tamsa mencambuk Penasihat hingga babak belur di depan semua bangsawan. Sangat keterlaluan, begitu licik, sekarang aku telah sadar ternyata inilah yang di namakan pengkhianatan.
"Berani sekali kalian berkhianat!" melotot marahku pada Tamsa. Semua para bangsawan tertunduk diam, hanya Tamsa yang berani menatapku dengan kesombongannya.
"Pangeran... kau itu sangat bodoh dan mengecewakan. Jangan berpikir kau bisa bertindak seperti seorang Raja, karena ramalan pun berkata hanya akulah Raja penerus Kerajaan Saka!" ucap Tamsa sombong. Ucapannya itu mengingatkanku pada sesuatu, sesuatu seperti mimpi namun ternyata mimpi itu nyata. Ya, ternyata aku salah, orang yang berbicara pada Penyihir di penjara bawah tanah itu adalah Tamsa bukan Penasihat. Penasihat itu tidak pernah bersalah, aku telah menyalah gunakan kekuasaanku, tapi ini bukan waktu yang tepat untuk membahasnya. Hal terpenting yang harus kulakukan sekarang adalah mengalahkan biang penyesatan.
"Aku menentangmu memanah! Bila kau menang seluruh kerajaan ini milikmu, tapi jika kau kalah bersiaplah untuk pergi dari kerajaan dan menghilanglah dari hadapanku!" tantangku tegas.
"Heh, kau tidak bisa mengalahkanku Pangeran, karena mau bagaimana pun ramalan itu akan membuktikannya.
***
Di tempat pelatihan Kerajaan, aku dan Tamsa sudah berdiri di garis permulaan. Para Bangsawan menyaksikan langsung dari tempat tersebut. Aku tak sengaja melihat Penasihat duduk di sudut menyaksikanku. Wajahnya itu menaruh kepercayaan padaku, dia memaksakan diri mengangguk dalam keadaan lemah tak berdaya, hanya untuk menyemangatiku. Aku menahan rasa maluku, bahkan aku tak pantas mendapat anggukkannya, aku begitu merasa bersalah. Karena itu, aku harus membuktikan kemenangan untuk menembusnya.
Hanya satu kali panahan, semua akan berakhir. Kalah dan menang tergantung pada satu panahan saja. Meski Tamsa adalah orang yang pertama kali aku kenal dan pengawal setiaku yang mengajariku panah pertama kalinya, semuanya tampak omong kosong. Semua kenangan itu... hanyalah omong kosong. Ingatlah apa yang di ajarkan Silmov Dan, Stefan! Walau yang kupelajari darinya hanyalah 5 hal dasar, namun kekuatan besar akan muncul bila aku bertekat dan yakin.
Angkatlah panahmu perlahan, tarik nafas panjangmu dan coba untuk mendapatkan suasana tenang.
"Mulai!" teriak wasit dari garis akhir.
Tenang, keseimbangan, fokus, keyakinan, dan lakukan!
Tap tap!
Dua panahan itu menanjap di dua tempat yang berbeda dan titik yang sama. Hanya saja, ketepatan titik itu berbeda secara detail. Wasit dengan gagap menyebutkan pemenangnya. Tangan wasit dari kejauhan mengalih padaku, seketika para Bangsawan bersorak merdeka bagi mereka, kemenangan melimpahiku. Sungguh semuanya telah berakhir, dengan begini aku bisa menembus rasa bersalahku pada Kerajaan dan Penasihat. Sungguh sorak ria mereka membuat hatiku senang dan lega.
Oh iya, aku lupa akan Moin-Moin di luar pintu gerbang dan aku juga belum memberi Raja ramuan pelangi. Aku bergegas pergi...
Seng!!!
Seketika semua orang terkejud dan terdiam. Suara itu adalah suara tajamnya pedang. Asal suara itu dari Tamsa yang bergegas tak terima kekalahan.
"Aku tidak pernah kalah dari siapapun!" teriak Tamsa penuh dendam.
"Sudahkah jelas bahwa tidak ada ramalan apapun di dunia ini!" ucapku jelas.
"Aku tidak peduli, aku Tamsa seorang Raja, akulah Raja!" keserakahan Tamsa telah menjadikannya iblis di muka bumi. Emosinya telah hilang kendali, tangan dengan pedang itu ingin mengikis apa yang mengganggu jalannya.
Setttt. Untung aku mengelak dari pedang pengikis itu. Semua orang berlarian menghindar dari kemarahan Tamsa. Sekarang aku harus apa? Bahkan tak ada pedang di tanganku, sedang aku masih tak pandai menggunakan pedang.
***