Lova dan Lila, keduanya berjalan saling beriringan yang diselingi dengan obrolan ringan dan sesekali tertawa kecil sepanjang melewati koridor lantai dua lalu menuruni tangga menuju lantai satu.
Drrrt ... drrrt ...
Lova merogoh saku jaket bombernya mencari ponselnya ketika benda persegi itu bergetar panjang tanda ada panggilan masuk.
Axe is calling ...
Senyum manis terbit di bibir tipis Lova ketika melihat caller id Axel yang muncul di layar ponselnya. Lova langsung menahan lengan Lila dengan satu tangannya yang bebas agar sahabatnya itu berhenti melangkah sebelum menggeser tombol hijau.
"Halo?"
Lova mengalihkan pandangannya ketika merasakan colekan kecil di lengannya sebelah kanan dan menatap Lila yang sedang menunjuk-nunjuk ponsel di telinganya sambil menggerakan bibir gadis itu mengucapkan kata tanya siapa tanpa suara. Axe, jawab Lova juga tanpa suara hanya menggerakan bibirnya saja membuat Lila manggut-manggut mengerti.
["Lo lagi dimana, my Lov?"]
Lova tersenyum kecil memperhatikan Lila yang sedikit berjalan menjauh darinya. "Ini, Lova lagi jalan ke lapangan basket sama Lila, Axe. Kenapa?"
["Sampai mana? Gue jemput aja."]
"Lova di koridor lantai satu, Axe."
["Lo tunggu situ aja, my Lov. Gue jalan ke situ sekarang."]
Lova tetap saja menganggukan kepalanya. Walau sudah tahu jika Axel tidak akan melihatnya. "Oh. Oke, Axe. Lova tunggu."
Tut!
Lova menjauhkan ponsel dari telinganya sebelah kanan ketika Axel memutuskan sambungan telepon secara sepihak. Menatap layar ponselnya yang sudah berubah menjadi gelap sambil geleng-geleng kepala. Lova menggenggam ponselnya dan melangkah mendekati Lila.
"Kenapa lagi sama cowok kamu itu, cupcake?" todong Lila langsung.
Lova tertawa kecil sambil menggelengkan kepalanya pelan. "Axe gak kenapa-kenapa, kok. Axe bilang mau jemput Lova. Jadi Lila duluan aja."
Kedua alis Lila terangkat. "Emang gak apa-apa kamu sendirian nunggu Axel di sini?" tanya Lila dan menatap Lova tidak yakin sejenak. Lila memperhatikan ke sekeliling koridor yang sudah mulai sepi sebentar. Lalu kembali menatap sahabatnya itu. "Ini udah agak sepi lho, cupcake."
Lova mengangguk yakin. "Iya, Lila. Lila mau siap-siap buat latihan cheers juga, kan? Duluan aja. Nanti Lila malahan telat kalau tungguin Lova apalagi kalau sampai harus anterin Lova ke lapangan dulu. Lova gak apa-apa, kok. Axe juga udah jalan ke sini."
Lila menghela nafas samar. Lalu menganggukan kepalanya pelan. "Yaudah, kalau kaya gitu. Aku duluan ya, cupcake."
Lova mengangguk kecil sambil tersenyum manis. "Lila semangat, ya latihannya."
Lila tertawa kecil. "Pasti semangat, duong. Bye, cupcake!" pamit Lila sambil melayangkan ciuman jarak jauh.
Lova terkekeh pelan sambil melambaikan tangan kanannya. "Bye, Lila!" Lova perlahan menurunkan tangannya menatap punggung Lila yang semakin menjauh.
Lova berjalan kecil menuju bangku panjang yang tak jauh dari tempatnya berdiri. Duduk di bagian tengah bangku, Lova menoleh ke kanan dan ke kiri lorong koridor mencoba mencari Axel, namun sosok laki-laki itu belum terlihat. Lova memainkan ponselnya.
-firstlove-
Axel berdiri berkacak pinggang tak jauh dari bangku tempat duduk Lova lengkap dengan seragam basket warna merah yang sudah melekat di tubuh atletisnya. Menggeleng-gelengkan kepalanya memperhatikan Lova yang hanya terpaku pada layar ponsel gadis itu. Kebiasaan!
Axel menurunkan kedua tangannya dan melangkah ringan tanpa menimbulkan suara mendekati Lova. Sampai di hadapan Lova, pelan-pelan Axel duduk berjongkok dengan kedua kaki berjinjit dan meletakkan kedua tangannya di atas bangku di sebelah kanan dan kiri paha gadis itu. Axel sekilas melirik layar ponsel Lova.
"Serius amat. Lihat apaan?" tanya Axel sambil menyentil pucuk kepala Lova pelan.
Seketika Lova mengangkat wajahnya dari layar ponsel. Pandangannya langsung bertemu dengan manik mata Axel karena wajah laki-laki itu sejajar dan berjarak sangat dekat dengan wajahnya. Lova tersenyum gugup. Menelan salivanya susah payah.
"Axe." cicit Lova.
Kedua alis Axel terangkat. "Kenapa suara lo?" tanya Axel berusaha tak acuh dengan perubahan wajah Lova. Axel mengatupkan bibirnya rapat-rapat mencoba menahan kedua sudut bibirnya agar tidak melengkung ke atas.
Lova meletakkan ponsel di atas pangkuannya. Lalu menangkup kedua pipi Axel, dan mendorong pelan wajah laki-laki itu sedikit menjauh dari wajahnya yang pasti sudah berubah menjadi bersemu merah. Lova berdehem kecil.
"Axe, jangan dekat-dekat gitu. Lova malu." kata Lova polos sambil menurunkan kedua tangannya. Mengedarkan pandangannya ke segala arah asalkan itu bukan mata hitam elang Axel.
Axel terkekeh geli. Kedua tangannya terangkat mengusap-usap pipi merah Lova dengan kedua ibu jarinya membuat Lova sedikit terkesiap.
"Ax-Axe?" panggil Lova terbata-bata.
Axel kembali meletakkan kedua tangannya di atas bangku di sebelah kanan dan kiri paha Lova seraya mengalihkan pandangannya pada manik mata teduh Lova. "Hmm?"
"Umm ... itu ... Axe mau latihan, kan? Yaudah ayo, ke lapangan nanti Axe telat." Lova melirik sekilas yang melingkar di pergelangan tangan kirinya.
Axel terkekeh pelan sambil manggut-manggut. Mencondongkan wajahnya mencium kening Lova sekilas membuat gadis itu reflek memegang kening.
Axel mengangguk samar sambil bangkit berdiri. "Gak ada masalah kalau gue telat sebenarnya. Gak bakalan ada yang berani marahin gue juga. Tapi, berhubung gue kasihan sama lo, takut lo entar makin gugup lagi. Kita ke lapangan sekarang." terang Axel sambil mengulurkan tangan kanannya pada Lova yang langsung diterima tangan gadis itu sebelah kiri.
Lova berdehem pelan. "Gugup apaan, sih?!" Lova memukul perut datar Axel dengan tangannya yang menggenggam ponsel pelan membuat laki-laki itu tertawa kecil.
Axel menautkan jarinya di ruang kosong di sela-sela jari Lova. Menggenggam erat tangan kecil gadis itu yang selalu terasa sangat pas di dalam tangan besarnya. Axel mengiring Lova berjalan menuju lapangan basket indoor.
Lova maju beberapa langkah berjalan di depan Axel. Lalu berbalik menghadap laki-laki itu. Lova berjalan mundur sambil memindai penampilan Axel dari atas hingga bawah dan kembali ke atas lagi. Menatap pada wajah Axel yang kini sedang menaikan alis laki-laki itu sebelah melihat kelakuannya.
Lova tersenyum manis. "Axe ganteng banget pakai seragam basket kaya gini, by the way." puji Lova sambil memainkan kedua alisnya naik turun menggoda Axel. Lova melirik ke arah telinga laki-laki itu. Lalu terkekeh geli. "Itu--" Lova menunjuk telinga Axel. "Kenapa merah gitu telinganya, Axe. Grogi?"
Axel berdehem kecil sambil mengusap cepat telinganya sebelah kiri dengan tangannya sebelah kiri juga membuat Lova lagi-lagi terkekeh geli. Mendengus kesal, Axel mengusap wajah gadis itu pelan.
"Jalannya cepetan!"
Lova berbalik badan kembali menghadap lorong koridor dan berjalan sejajar dengan Axel lagi. "Kata Axe tadi gak apa-apa kalau telat. Gak ada yang bakal berani marahin Axe."
Axel langsung membekap mulut Lova. Dia sudah terlanjur salah tingkah. Jika diteruskan gadis itu akan semakin membuatnya salah tingkah lagi. Akan ditaruh dimana mukanya! Dipuji dengan kata tampan, ganteng atau cakep adalah hal yang sangat biasa sekali untuk Axel, tapi kenapa menjadi luar biasa jika itu Lova yang mengucapkan kata pujian itu?
"Diem, my Lov. Berisik amat!"
Axel menjauhkan tangannya dari mulut Lova ketika gadis itu mulai tertawa. Axel memperhatikan wajah Lova yang terlihat berlipat semakin cantik saat sedang tertawa lepas seperti sekarang ini. Ditambah angin yang menerbangkan surai-surai rambut gadis itu yang tergerai. Tawa renyah Lova terdengar merdu di telinganya dan menggema di lorong koridor yang sudah sepi. Sial! Sial! Sial! Umpat Axel keras dalam hati. Axel langsung membuang muka.
Lova berdehem pelan untuk meredakan sisa-sisa tawanya. "Lova bisa nemenin Axe latihan sampai selesai, lho."
Axel langsung menoleh menatap Lova. Senyumnya seketika terbit ketika melihat gadis itu tersenyum manis. Senyum yang terasa tulus terlihat ke mata jernih Lova.
"Serius lo?!"
Lova mengangguk pelan. "Ee ... hem. Axe seneng gak?" tanya Lova sambil tersenyum lebar.
Axel melengos. "Biasa aja."
Kedua mata Lova memicing menatap Axel tidak percaya dan menunjuk wajah laki-laki itu dengan telunjuknya. "Beneran? Benar-benar biasa aja, Axe?"
Axel mengangguk pelan. "Ee ... hem." balas Axel mengikuti cara bicara Lova.
Lova mengangguk paham dan langsung mengeluarkan ponsel yang tadi dia simpan di dalam saku jaket bombernya sebelah kanan.
Axel melirik Lova bingung. "Mau ngapain?"
"Mau telepon dad-- hey!" protes Lova keras. "Balikin. Itu ponsel Lova, Axe. Jangan diambil." kata Lova sambil berusaha menggapai ponselnya yang sekarang telah berpindah di tangan Axel sebelah kiri.
"Jangan ..."
Lova langsung menghentikan gerakan tangannya dan mendongak sedikit menatap Axel. "Jangan telepon? Kenapa jangan? Tadi bilangnya biasa aja."
"Ya ... jangan pokoknya. Lo temenin gue aja sampai latihan selesai."
Lova mengerucutkan bibirnya. Lalu menganggukan kepalanya. "Iya, udah." balas Lova pasrah dengan raut wajah cemberut.
Axel mengulum bibirnya agar tidak tersenyum. "Yaudah apa? Yang jelas dong, my Lov."
Lova mencebikan bibirnya sambil matanya melirik Axel tajam. "Yaudah. Lova temenin Axe latihan sampai selesai."
Axel tersenyum kecil sambil mengembalikan ponsel milik Lova. Tangan kirinya mendarat di puncak kepala Lova dan mengusak rambut halus gadis itu pelan. "Good!"
Axel mengalihkan pandangannya pada pergelangan tangan Lova sebelah kanan yang tadi sempat ditarik kasar Manggala. "Tangan lo beneran gak apa-apa, my Lov?" tanya Axel sambil mengangkat wajahnya menatap Lova.
Lova tersenyum manis dan menggelengkan kepalanya. "Beneran gak apa-apa, kok Axe. Nih, lihat." Lova mengulurkan tangan kanannya di depan Axel yang lengan jaket bombernya langsung ditarik oleh laki-laki itu. "Gak apa-apa, kan?"
Axel mengangguk pelan seraya menurunkan kembali lengan jaket bomber Lova. "Jauh-jauh lo sama cowok tadi."
Lova menarik tangannya dan mengangguk patuh."Tapi, Lova gak bisa kalau ada acara sama anak-anak musik. Kak Manggala anak musik juga."
Axel hanya terdiam. Semakin mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Lova dan mengiring gadis itu berjalan melewati tengah-tengah lapangan basket outdoor. Axel melirik Lova. Senyum tipisnya terbit. Entah dimulai sejak kapan, moment jalan santai berdua dengan Lova sambil saling bergandengan tangan sembari mendengarkan celotehan gadis itu menjadi momen yang sangat ... menyenangkan? Atau selalu dia tunggu-tunggu karena ... nyaman?
Tbc.