Lova berdehem pelan mencoba memecah keheningan yang tiba-tiba saja tercipta di meja yang sedang ditempatinya bersama dengan ketiga laki-laki itu. Tersenyum kecil ketika sadar dengan kecanggungan yang menyelimuti mereka.
"Kok, tumben banget berangkatnya pada pagi-pagi?" tanya Lova sambil menatap Malik dan Abdul secara bergantian.
Di bawah meja, kaki Abdul menyenggol-nyenggol kaki Malik mencoba memberi kode agar laki-laki itu saja yang menjawab pertanyaan dari Lova. Sementara Axel hanya terdiam memperhatikan gerak gerik ketiganya tidak mengerti.
Malik berdehem pelan dan melirik Lova sekilas. "Gak ada apa-apa, kok. Cuma lagi pengen ngerasain aja rasanya berangkat pagi-pagi. Jadi murid teladan, dong sekali-kali." kekeh Malik sedikit kaku.
"Lagi edisi sayang Bu Badia, Vava ..." tambah Abdul sambil cengengesan.
"Bacot lo!"
Abdul mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. "Santuy-santuy, Bos. Elah!"
Lova menepuk-nepuk pelan lengan Axel yang tergeletak di atas meja mencoba menenangkan. "Karena berangkat pagi-pagi, jadi pasti pada gak sempat sarapan, kan?" tanya Lova sambil mengeluarkan kotak makan dari dalam paper bag.
Axel, Malik dan Abdul, ketiganya kompak menggelengkan kepala.
"Lova bawakan sarapan. Bukan Lova sendiri, sih yang masak." Lova meringis seraya meletakkan kotak makan di atas meja tepat di depan ketiganya.
"Tumben amat, Bos. Kali ini, bener banget dapat ceweknya."
Lova tertawa kecil. Mengulurkan kedua tangannya membuka tutup kotak makan Axel. "Emang biasanya ceweknya Axe gimana Abdul?" tanya Lova sambil kedua tangannya terulur kali ini membuka tutup kotak makan Malik. Sementara kotak makan Abdul ... sudah dibuka sendiri oleh laki-laki itu tanpa perlu menunggu dipersilahkan lebih dulu.
Ck! Apa-apaan Lova itu! Axel memperhatikan Lova yang sedang membukakan tutup kotak makan Malik. Tahan! Kenapa juga dia harus kesal? Cemburu? Siapa? Dia? Eyy ... mana mungkin!
"Kenapa, Axe?" tanya Lova mengalihkan pandangannya kembali pada Axel dan menemukan laki-laki itu yang sedang ... termenung?
"Perhatian amat lo sama Malik." Hell! Mulut laknat! Kenapa tidak bisa bersahabat dengan otaknya! Axel menelan salivanya kasar.
Lova melirik Malik. Senyum kecilnya langsung terbit ketika melihat Malik mengedipkan satu mata ke arahnya. Lova geleng-geleng kepala dengan samar. Kembali memusatkan perhatiannya pada Axel lagi. "Lova biasa aja kok, Axe. Perhatian gimana emang?"
"Anjim! Posesif amat lu, Bos!"
Axel mendengus kasar. Kan, kan ... posesif apa lagi! Abdul sialan! Axel melayangkan tatapan tajam pada Abdul. Kalau saja tatapan bisa membunuh, dia pastikan Abdul sudah terbunuh dengan tubuh yang tercabik-cabik.
Lova tertawa kecil melihat respons yang diberikan oleh Axel. "Udah, ah!" lerai Lova sambil mengulurkan kedua tangannya menangkup pipi Axel dan membawa wajah laki-laki itu menghadap padanya. Lova tersenyum manis ketika pandangannya bertemu dengan mata hitam Axel.
"Axe sarapan dulu, ya. Eh?! Tapi, tunggu dulu, deh. Lova mau tanya sesuatu dulu sama Axe." Lova menurunkan kedua tangannya menatap Axel serius.
Sebelah alis Axel terangkat naik. "Apa?" tanya Axel singkat.
"Axe gak ada alergi sama seafood, kan?"
Axel mengangguk, lalu menggeleng.
Kening Lova mengerut dalam dan menatap Axel bingung. "Jadi alergi atau enggak, Axe?"
"Gue gak ada alergi sama seafood."
Lova mengangguk. "Go--"
"Kecuali satu." potong Axel cepat.
"Itu, namanya ada! Ngeselin banget." rajuk Lova sambil memukul lengan Axel pelan.
Axel hanya tertawa kecil seraya mengacak rambut Lova gemas.
"Ada alergi apaan, lo?" tanya Malik enteng sambil mematikan ponselnya, lalu memasukkan ke dalam saku celana. Malik menatap Axel sekilas.
Axel berpaling dan menatap Malik tajam. "Gue alergi sama cowok yang terindikasi sama gue lagi coba-coba uji nyalinya buat deketin my Lov."
Kedua alis Malik terangkat naik. Menatap Axel dengan sorot geli dan raut wajah songongnya. Malik terkekeh kecil.
"Njir, lah Lik! Itu, lo bego!" Abdul menoyor kepala Malik dengan kencang. Namun, ditanggapi santai oleh Malik dengan mengangguk-anggukan kepalanya.
"Baru dibukain tutup kotak makan doang padahal, Dul."
"Udah, dong. Kok, jadi ribut gitu."
Axel langsung mengalihkan pandangannya pada Lova. Menatap Lova dengan tatapan serius. "Lo jangan deket-deket sama Malik!"
Malik tergelak sangat puas. Sementara Abdul mencebikan bibirnya. Axel bilang apa tadi? 'Gii gik cimbiri'. Hilih!
"Iya-iya, Axe ..." Lova mengambil satu sendok penuh nasi goreng, lalu menyodorkannya ke depan mulut Axel. "Axe, aa ..." Lova membuka mulut agar Axel ikut membuka mulut juga. Langsung memasukkan nasi goreng ketika laki-laki itu sudah membuka mulut.
Lova melirik jam yang melingkar manis di pergelangan tangan kirinya. "Axe mau masuk kelas atau bolos? Kalau mau masuk kelas, Lova tungguin. Nanti ke kelas sama-sama."
"Gue bolos sama mereka berdua, my Lov. Hari ini, lo sendiri dulu, ya ke kelasnya." jawab Axel setelah menelan semua nasi goreng yang ada di dalam mulutnya sambil mengedikkan dagunya ke arah Malik dan Abdul.
Lova mengangguk pelan dan meletakkan sendok di dalam kotak makan Axel. Tangan kanannya terulur membersihkan sisa nasi goreng di sudut bibir Axel sebelah kanan. "Iya, udah. Axe habiskan sarapannya. Nanti, titipin kotak makannya sama teh Ulani." kata Lova sambil beranjak berdiri dari posisi duduknya. Lova menengadahkan tangan kanannya. "Ponsel Lova, Axe."
Axel merogoh saku celananya sebelah kanan dan mengeluarkan ponsel Lova dari dalam sana. Meletakkan ponsel dengan case warna hijau pastel itu di atas telapak tangan Lova, lalu menggenggam tangan kecil gadis itu yang selalu terasa pas di dalam genggaman tangannya.
Axel mendongak sedikit menatap Lova. "Nanti temenin gue latihan basket pulang sekolah, bisa?"
Lova tersenyum manis seraya memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja. "Bisa, dong. Tapi, Lova cuma bisa sampai daddy jemput aja ya, Axe? Gak apa-apa, kan?"
Axel menghela nafas kasar. "Iye, dah. Gak apa-apa."
Lova tersenyum kecil. Kedua tangannya terulur menangkup wajah Axel. "Jangan kesal, dong ... Lova janji, deh. Next time, kalau Axe ada latihan basket lagi, Lova bakal temenin Axe dari awal sampai selesai. Gimana?"
Axel menatap manik mata Lova lekat-lekat sejenak. Lalu mengedikkan kedua bahunya.
Lova menganggukkan kepala sekilas seraya menjauhkan kedua tangannya. "Iya, udah. Lova ke kelas ya, Axe. Bentar lagi bel, nih."
Axel mengulurkan tangan kanannya. "Salim dulu sama pacar."
Lova geleng-geleng kepala, tapi tetap saja patuh. Lova menerima uluran tangan Axel, lalu menempelkan punggung tangan laki-laki itu di keningnya.
"Bye, semua!" Lova melambaikan kedua tangannya sebentar sebelum berbalik badan dan berjalan pelan meninggalkan kantin.
Tanpa sadar kedua sudut bibir Axel tertarik ke atas membentuk senyum kecil menatap punggung kecil Lova yang berjalan menjauh dari kantin.
Axel memutar kepalanya kembali menghadap pada Malik dan Abdul. "Lo berdua, suruh anak-anak yang lain buat kasih peringatan sama siapa aja yang ghibahin Lova."
Sebelah alis Malik terangkat naik merasa tertarik dengan perintah Axel. Malik melipat kedua tangannya di atas meja dan menatap laki-laki di depannya itu lekat-lekat. "Kenapa, Xel? Lo gak biasanya begini sama cewek-cewek lo?" pertanyaannya langsung mendapatkan anggukan setuju dari Abdul yang sedang menatap Axel penasaran.
Axel hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh dan dengan santainya kembali melanjutkan sarapannya yang sempat terhenti. Sementara Malik dan Abdul saling bertukar pandang penuh arti.
"Lova?"
Lova mengangkat kepalanya. Pandangannya langsung bertemu dengan mata bersorot lembut milik laki-laki yang sudah berdiri beberapa langkah di depannya itu. "Eh, Kak Manggala?" balas Lova sambil tersenyum kecil.
Laki-laki itu bernama Manggala, kakak kelas Lova. "Kak Menggala baru berangkat? Atau mau ke kantin?" tanya Lova sambil berjalan mendekati Manggala.
Manggala tersenyum lebar. "Kakak udah berangkat dari tadi, kok ... Habis dari sekre. Pas mau balik ke kelas lagi, gak sengaja lihat kamu, jadi kakak samperin. Kamu sendiri dari mana, Va?"
Lova membulatkan bibirnya membentuk huruf O. "Aku dari kantin, Kak."
Kening Manggala mengerut dalam. "Sendirian? Ngapain? Kok, tumben banget kamu ke kantin pagi-pagi gini, Va?"
"Oh itu, Kak. Ak--" Lova berjengit kecil ketika ponsel yang disimpan di saku kemeja putihnya bergetar panjang tanda ada panggilan masuk. Langsung saja mengeluarkan benda pipih itu. Lova mengernyit heran melihat caller id yang muncul di layar ponselnya.
Axe is calling ...
Lova mengangkat wajahnya kembali menatap Manggala. "Maaf. Sebentar ya, Kak. Aku mau angkat telepon dulu." pamit Lova dan langsung berjalan agak menjauh sedikit setelah mendapatkan persetujuan dari Manggala. Lova berdiri membelakangi kakak kelasnya itu.
Lova menggeser tombol hijau pada layar ponsel. Memiringkan kepalanya sedikit dan menyelipkan benda pipih itu di antara rambut dan telinganya sebelah kanan. "Halo, Axe?"
["Kenapa malah ngobrol sama cowok lain, bukannya balik ke kelas, hm?"]
Lova langsung saja mengangkat wajahnya menatap ke arah meja kantin yang tadi sempat diduduki bersama Axel. Tatapannya langsung bertemu dengan mata Axel yang sedang menyorot tajam. Alih-alih merasa takut, Lova malah tersenyum kecil.
"Namanya Kak Manggala. Tadi Lova gak sengaja ketemu, Axe."
Manggala menoleh mengikuti arah dari pandangan Lova. Seketika hatinya berubah menjadi panas. Rahangnya mengeras. Manggala balas menatap Axel tidak kalah tajamnya ketika adik kelasnya itu melemparkan tatapan tajam ke arahnya.
["Ke kelas sekarang, ya. Bisakan, my Lov?"] Hal yang tidak Lova ketahui adalah ketika mengajukan pertanyaan itu Axel berusaha sekuat tenaga menjaga nada bicaranya aagr tetap halus dan tenang.
Lova mengangguk. "Bisa kok, Axe."
["Iya, udah. Sekarang ya, my Lov. Sendirian aja, ya."]
Lova mengangguk satu kali lagi. "Iya. Iya, udah Lova tutup, ya. Bye, Axe!"
["Bye, my Lov!"]
Tut!
Manggala langsung saja merubah raut wajahnya menjadi lembut dan kembali mengalihkan pandangannya pada Lova.
Lova berbalik badan seraya kembali memasukkan ponsel ke dalam saku kemeja putihnya. Menatap Manggala tidak enak. Lova berdehem pelan. "Kak Manggala. Maaf ya, aku ke kelas dulu."
Manggala tersenyum lembut. "Kakak anterin ya, Va?"
Lova langsung saja mengibas-ngibaskan kedua tangannya. "Gak usah, Kak. Makasih. Aku bisa sendiri, kok." Lova tertawa kecil. "Duluan ya, Kak. Bye, Kak Manggala!" Lova sudah akan melangkahkan kakinya, namun Manggala bergerak lebih cepat mencekal tangannya. Lova menaikkan pandangannya menatap Manggala. "Kenapa, Kak?"
"Kakak anterin kamu."
"Ya ampun." Lova tersenyum kecil. "Aku cuma mau ke kelas, lho ini. Gak us-- Kak!"
Tak ingin membiarkan gadis incarannya itu terlepas begitu saja. Manggala semakin mengeratkan cekalan tangannya pada tangan Lova yang sedari tadi gadis itu tarik-tarik agar terlepas. Tak menghiraukan suara ringisan Lova, Manggala langsung menarik kuat tangan gadis itu.
"Kak Manggala kenapa, sih?! Lepasin tangan aku, Kak." Lova berjalan terseok-seok di belakang Manggala mengikuti langkah lebar kakak kelasnya yang mendadak berubah sedikit kasar itu.
Aksi Manggala yang menarik Lova paksa itu membuat, bukan hanya Axel saja yang meradang melihatnya, tapi juga Malik dan Abdul juga. Axel menggebrak meja keras dengan kedua tangannya hingga benda-benda yang berada di atas meja bergetar. Sementara Malik dan Abdul hanya terdiam dengan kedua tangan mengepal kuat-kuat di bawah meja dan menatap Manggala dengan tatapan menghunus tajam.
"Bangsat!" umpat Axel keras sampai berdiri dari duduknya ketika melihat raut wajah Lova yang seperti sedang menahan sakit.
Malik langsung berpaling menatap Axel. Sudut bibirnya sebelah kanan tertarik ke atas. Malik tersenyum miring ketika melihat aura gelap dari laki-laki di depannya itu. Tangan kanannya terulur menepuk bahu Abdul sebelah kiri dua kali mencoba membuat sahabatnya itu tidak terlalu tegang seraya beranjak berdiri.
"Oi!" Malik memukul meja pelan satu kali dan mencoba menarik perhatian Axel dan berhasil. Laki-laki itu langsung menoleh dan menatapnya dengan sorot yang masih penuh emosi.
"Sans ae, lah! Jand tegang." Malik memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana berusaha terlihat santai. Dia sama seperti Axel. Emosinya sudah memuncak sampai di ubun-ubun, siap untuk disalurkan. "Lo bisa kalahin dia nanti di lapangan. Tanpa perlu mengotori tangan lo, Xel." terang Malik sambil melirik Axel sekilas.
Abdul menghela nafas pelan. Kedua telapak tangannya bertumpu pada permukaan meja bangkit dari posisi duduknya. Abdul mengangguk tanda setuju. "Santuylah, Bos!"
"Cabut!"
Tbc.