Alex mengangkat kepalanya dan menoleh menatap Axel. "It was about six years ago. Semua foto-foto mami Lova masih ada dan utuh. Hanya saja uncle simpan dengan rapi di dalam gudang. Uncle bukan bermaksud untuk melupakan keberadaan atau menyingkirkan Jelita sebagai ibu dari kedua anak uncle. Hanya saja, uncle ingin menutup semua kenangan-kenangan buruk yang sudah terjadi."
"Bagaimanapun, uncle dan juga Lova harus segera move on. Kami harus membuka lembaran hidup kami yang baru tanpa kehadiran dari sosok seorang istri juga ibu." Alex mengusap wajahnya kasar dengan kedua tangan.
"I'm sorry to hear that, uncle. Maaf sudah kembali mengingatkan uncle dengan aunty Jelita." ucap Axel dengan suara pelan. Terdengar sangat tulus. Menatap Alex penuh prihatin.
Alex tersenyum getir sambil menggelengkan kepalanya pelan. "No prob. Ketika perceraian itu terjadi, Lova sedang duduk di kelas lima sekolah dasar. Sementara Kevin duduk di kelas enam." Alex melirik Axel sekilas. "Uncle dan Jelita berakhir dengan baik-baik. Tapi sebaik apapun, yang namanya perceraian pasti akan membawa dampak buruk. Terutama untuk anak, bukan?"
Axel hanya terdiam. Tidak bergerak, tidak juga bersuara.
"Dan dampak buruk dari perceraian uncle dan Jelita adalah memaksa Lova dan Kevin harus menjalani hidup secara terpisah. Hak asuh sebenarnya jatuh pada Jelita secara penuh. Tapi, kami sepakat tidak ingin memaksa Lova dan Kevin. Kami membebaskan mereka berdua untuk memilih akan bersama siapa. Pada akhirnya, Kevin tetap memilih ikut pergi bersama Jelita. Sementara Lova tetap tinggal bersama uncle."
"Lova dan Kevin, mereka berdua hanya bisa bertemu ketika musim libur sekolah datang. Tapi, itu juga tidak selalu. Semuanya tergantung dengan jadwal acara yang Kevin punya. Karena selalu Kevin yang akan datang menemui Lova. Kecuali mereka berdua sudah membuat janji akan pergi berlibur ke luar kota atau luar negeri sebelumnya. Lova dan Kevin sepakat akan bertemu di tempat yang menjadi tujuan liburan mereka berdua."
Kening Axel mengerut dalam. "Kenapa harus begitu, uncle? Kenapa harus tergantung sama jadwal acara Kevin? Kevin sangat sibuk?"
Alex memusatkan perhatiannya pada Axel. Lalu menggeleng pelan. "Bukan begitu. Kevin tidak sesibuk itu. Hanya saja terkadang Kevin memiliki jadwal berlibur sendiri bersama dengan Jelita dan ... kekasih Jelita, calon daddy tiri Lova dan Kevin. Sementara, Lova. Entahlah. Semenjak perceraian uncle dan Jelita terjadi, Lova seperti mengasingkan dirinya sendiri dari dunia yang ada Jelita di dalamnya."
Axel mengerjapkan matanya. Mulutnya melongo tidak percaya. What the f*ck! Daddy ... tiri? Axel menelan salivanya susah payah. "Apa ... Lova sudah tahu soal pacarnya aunty Jelita? Tahu kalau Lova mau punya daddy tiri, uncle?"
Alex hanya mengangguk singkat.
"Uncle ... Lova--" Axel tiba-tiba saja kesulitan merangkai kalimatnya. Dia kehabisan kata-kata.
Alex mengangguk singkat satu kali lagi. "Jelita sendiri yang memberitahu Lova tentang hal itu tanpa memikirkan bagaimana kondisi mental Lova. Tanpa mempertimbangkan apakah Lova kecil sudah siap atau belum untuk menerima kenyataan yang akan Jelita beberkan. Saat itu, bahkan Lova belum mengerti jika kondisi keluarganya sudah berbeda dengan keluarga yang lain. Tatanan keluarganya sudah tidak lagi utuh."
"Usia Lova saat itu baru sepuluh tahun. Apa yang bisa kamu harapkan dari gadis berusia sepuluh tahun? Tidak ada." Alex menggeleng kecil. "Bagaimana bisa wanita dewasa menuntut gadis di usia itu untuk mengerti dengan ucapannya? Sekeras apapun Jelita memaksa, nyatanya tidak akan mudah membuat Lova kecil dapat mencerna maksud dari semua kalimat yang Jelita ucapkan. Yang Lova tahu, daddynya hanya ada satu. Yaitu, uncle."
Nafas Axel tercekat di pangkal tenggorokan. Axel tidak menyangka Lova mengalami hal yang jauh lebih buruk daripada hal yang dia sendiri alami. Apa bisa dia berkata beruntung sekarang? Axel menggeleng samar. Sama sekali tidak. Terlintas jelas di kepala Axel senyum tulus di bibir tipis berwarna pink alami yang sampai ke mata teduh Lova. Bagaimana Lova bisa melewati semuanya sendiri selama ini dan masih bisa menebarkan senyum tulus untuk orang lain?
Alex mendongakkan kepalanya menatap langit-langit seraya menghela nafas kasar. Menumpukan kedua sikunya di atas kitchen island. Alex menangkup kedua tangannya dan menyangga dagu dengan kedua ibu jarinya. Hatinya masih saja berdenyut nyeri walau kejadian buruk itu sudah berlalu bertahun-tahun. Alex menatap ke depan dengan pikiran menerawang jauh.
"Uncle, sama sekali tidak ingin bercerai dari Jelita. Dan sudah banyak cara yang uncle lakukan untuk membuat Jelita merubah pikirannya. Tapi--" Alex menurunkan dagu sambil menautkan jari-jari kedua tangannya dan menelan salivanya kasar. "Dari sekian banyak cara itu tidak ada satupun yang berhasil. Uncle, totally failed. Walau sangat berat, uncle tidak ingin memaksa Jelita tetap bertahan disaat hati Jelita sudah bergerak sangat jauh." Alex menghembuskan nafas beratnya.
Axel hanya terdiam memperhatikan setiap gerak gerik dan perubahan yang terjadi pada raut wajah Alex.
Alex menurunkan kedua tangannya. "Lova-- anak itu selalu memasang topeng kuat. Selalu menebarkan senyum dan kecerian hanya supaya uncle tidak merasa khawatir. Tapi hal itu justru dua kali lebih menyakitkan lagi dibandingkan ketika uncle harus berpisah dengan Jelita. Membuat uncle semakin merasa bersalah dan gagal menjadi orang tua."
Alex tersenyum kecil. "Beruntung saja ada Dalila saat itu, anak itu yang selalu menemani Lova ketika menangis. Lova jadi tidak merasa sendiri dan disisihkan ketika Jelita hanya membawa pergi Kevin." Alex menatap manik mata Axel dalam. "Dan sekarang, Lova memiliki Axel juga."
Axel tersenyum hambar. "Hidup tanpa kasih sayang dari orang tua itu emang gak enak, uncle." kata Axel dengan pikiran menerawang. Menatap ke arah depan dengan tatapan kosong.
Sebelah alis Alex terangkat naik.
"Apa-apanya harus dilakukan sendiri. Mulai dari hal-hal yang sederhana sajalah, makan sendiri, nonton TV sendiri. Saya sempat mengira apa yang Lova alami jauh lebih buruk dari apa yang saya sendiri alami. Tapi, setelah mendengar keseluruhan cerita uncle sampai selesai, saya langsung berubah pikiran." Axel menoleh menatap Alex yang ternyata juga sedang menatapnya penuh tanya. Pria bule itu benar-benar mendengarkan dan menyimak ceritanya. Dada Axel mengembang merasa lega barang sesaat.
"Ternyata Lova jauh, jauh lebih beruntung daripada saya, uncle."
"Hmm?" kening Alex mengerut.
Axel mengangguk kecil. "Lova hanya punya uncle di sini, tapi mendapatkan kasih sayang yang berlebih-lebihan. Kasih sayang yang uncle berikan sudah bisa menutupi segala kekurangan Lova dari kasih sayang aunty Jelita. Lova memiliki daddy yang selalu berdiri di sampingnya dalam keadaan apapun, yang selalu memperhatikannya, yang selalu mendukungnya dan yang dengan senang hati mendengarkan keluh kesahnya."
"Awal kenapa saya bisa berpikir saya lebih beruntung? Karena saya merasa lebih unggul karena punya orang tua yang masih utuh. Tapi, kenyataannya kondisi orang tua yang masih utuh itu gak bisa menjamin apapun. Saya masih saja jauh dari kata kurang kasih sayang. Papa dan mama saya sibuk dengan dunia mereka masing-masing tanpa mau mengikutsertakan saya di dalam dunia mereka." Axel menundukan kepalanya dalam-dalam.
Axel langsung mengangkat kepalanya ketika merasakan sebuah tangan besar dan hangat mendarat di kepalanya bagian belakang dan mengacak rambutnya yang sedang ditata gaya messy pelan. Kebekuan di dalam hatinya seketika berubah menjadi cair ketika melihat senyum kebapakan yang tersungging di bibir Alex.
"Bahkan sewaktu tadi uncle bertanya sedang ada dimana papa saya, saya tidak bisa menjawab. Karena saya gak pernah tahu papa dan mama saya sedang berada di belahan dunia bagian mana sekarang. Hanya uang dari merekalah yang rutin datang menemui saya."
"Saya butuh uang. Bahkan semua orang butuh uang. Tapi, kehadiran mereka, saya juga butuh kehadiran mereka untuk melengkapi saya. Saya juga mau mereka selalu berdiri di samping saya. Mendukung semua yang saya lakukan. Saya sudah dengan sengaja melakukan banyak sekali kenakalan-kenakalan, hanya untuk mengharapkan secuil bentuk perhatian orang tua terhadap anaknya. Tapi, ada satu hal yang terlupakan oleh ingatan saya, uncle." Axel melengos. "Jika ekspektasi memang tidak pernah sesuai dengan realitanya." Axel menghela nafas berat.
Keadaan di antara kedua berubah menjadi hening sejenak hingga suara berat Alex memecah keheningan yang terjadi di antara mereka berdua.
"Tidak ada satupun orang tua yang tidak menyayangi anak-anaknya, Axel. Para orang tua, mereka manusia biasa yang juga bisa melakukan kesalahan dalam cara menunjukan rasa kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya. Mereka berpikir, bahwa cara yang mereka lakukan sudah menjadi cara yang paling benar dan tepat. Tapi, di mata orang lain cara mereka bisa menjadi cara yang paling salah."
"Jika para orang tua melakukan kesalahan, sudah menjadi tugas para anak untuk mengingatkan. Kamu harus mencoba mendekati orang tua kamu. Rangkul orang tua kamu dengan cara menjalin komunikasi yang baik. Dari situ, kamu akan bisa mulai dengan leluasa mengutarakan keluh kesah kamu. Berbagi cerita dengan orang tua kamu tanpa canggung. Bergerak lebih dulu untuk memperbaiki keadaan yang buruk tidak lantas menjadikan kamu kecil, Axel. Harus ada yang mengalah di antara kalian. Jangan hanya meninggikan gengsi dan ego saja."
Axel manggut-manggut. "Begitu ya, uncle?"
"Ya." Alex mengangguk. "Kamu coba lakukan saja dulu, Axel. Selama jalan untuk memperbaiki hubungan di antara kamu dan orang tua kamu masih tersedia banyak, jangan pernah ragu-ragu untuk mencoba melakukannya satu demi satu. Kesempatan hanya datang kepada orang yang beruntung. Dan belum tentu, kamu termasuk ke dalam golongan orang yang beruntung itu. So ... you wanna try, boy?"
Axel hanya menganggukkan kepalanya saja. Tak tahu jawaban mana yang paling tepat untuk menanggapi ucapan Alex. Iya, tapi jika di dalam hatinya masih merasa ragu dan berat untuk melakukannya artinya dia membohongi pria bule di sampingnya itu. Tidak, tapi dia ingin keadaan dengan kedua orang tuanya berubah menjadi lebih baik dan rasa-rasanya apa yang dikatakan Alex ada benarnya juga.
Kalau tidak ada yang mau memulai dan mengalah lebih dulu, tidak akan pernah menemui titik temunya. Harapan tanpa diupayakan akan menjadi omong kosong belaka.
Alex tersenyum hangat sambil menepuk bahu Axel pelan. Dia cukup mengerti kegundahan yang sedang anak laki-laki itu rasakan, untuk melakukan sesuatu hal yang bukan menjadi kebiasaan, sangatlah tidak mudah.
"Walau hasilnya selalu saja gagal. It's okay, boy. Jangan merasa usaha kamu itu sia-sia. Setidaknya, kamu sudah mengupayakan segala cara terbaik yang bisa kamu lakukan. Kegagalan yang kamu alami menjadi kemenangan yang kamu dapatkan. Karena tidak akan ada rasa penyesalan yang akan kamu tanggung di akhirnya nanti."
Axel hanya terdiam. Tidak memberi respon apapun. Dia masih sedikit merasa ... bingung? Atau ... belum mengerti? Axel menghela nafas samar. Kenapa rumit sekali? Otak kecilnya tidak atau belum mampu mencerna ucapan pria dewasa di sampingnya itu.
Alex menumpukan kedua siku tangannya di tepi kitchen island membuat kedua tangannya yang dilipat menggantung dan tersenyum menatap Axel maklum. "Pelan-pelan saja, Axel. Tidak perlu terburu-buru apalagi terlalu dipaksakan. Sesuatu yang terlalu dipaksakan hasilnya tidak akan maksimal dan sesuai dengan apa yang kita harapkan."
Axel mengangguk patuh. "Iya, uncle. Thank you karena udah mau dengerin cerita saya dan udah percaya sama saya dengan mau bercerita tentang aunty Jelita."
Alex menggeleng. "Kapanpun kamu butuh teman untuk bercerita, man to man kamu datang saja kemari. Rumah uncle selalu terbuka untuk kamu, Axel. Atau kamu boleh hubungi, uncle. Nanti kita bisa bertukar nomor ponsel. Dan asal kamu tahu saja. Lova walau terlihat sangat manja, tapi uncle jamin putri uncle yang paling cantik itu cukup bisa berperan menjadi seorang pendengar dan pemberi saran yang baik. Kamu boleh coba, Axel."
Axel langsung saja menegakkan punggungnya. "Aye-aye, captain!" kekeh Axel sambil meletakkan tangan kanan di pelipis memberi hormat membuat Alex terkekeh kecil dan geleng-geleng kepala melihatnya.
"Saya rasa uncle tidak perlu terlalu mengkhawatirkan Lova lagi."
Kedua alis Alex terangkat naik. Menatap Axel dengan sorot seolah bertanya kenapa.
"Menurut saya, senyum Lova itu bukan jenis senyum yang sengaja dibuat-buat hanya untuk membuat orang lain merasa lebih baik saja, tapi senyum Lova itu memang benar-benar senyum tulus dari hati dan itu terlihat jelas di mata Lova. Melihat senyum Lova yang seperti itu, saya rasa sudah cukup untuk bisa menggambarkan keadaan Lova. Lova sudah baik-baik saja. Tentang aunty Jelita mungkin hanya masalah waktu saja." Axel mengedikkan bahunya.
Alex menganggukkan kepalanya singkat sambil tersenyum kecil. Ya, semoga saja. Tangan kanannya terulur mengangkat gelas bening berisi air putih yang berada sedikit di samping kanan depannya. Alex meneguknya hingga tersisa setengah.
Tbc.