Langkah Axel tiba-tiba saja terhenti ketika matanya menemukan banyak pigura foto yang beberapa terpasang pada dinding bercat abu-abu dan beberapa lagi diletakkan di atas meja lemari konsol empat laci minimalis warna putih yang ada di ruang tamu itu.
Axel mengamatinya satu per satu. Dari pigura-pigura berukuran kecil di atas meja lemari konsol yang memuat foto dari Lova bayi hingga saat ini. Bagaimana dia bisa tahu jika itu foto Lova? Jawabannya, ada keterangan nama serta usia yang ditulis tangan di bagian bawah setiap foto. Axel mengalihkan pandangannya pada empat pigura berukuran sedikit lebih besar yang dipasang sejajar dua di atas dan dua lagi di bawah pada dinding di belakang atas meja lemari konsol.
Foto pertama dari dua foto yang ada di bagian atas. Foto Lova tengah duduk manis di tengah-tengah pria bule yang membukakan pintu untuknya itu, yang sampai saat ini belum diketahui nama serta apa hubungannya dengan gadis itu dan seorang anak laki-laki. Dari foto itu, Axel mulai menebak-nebak jika pria bule itu adalah ayah Lova. Axel menelan salivanya kasar.
Axel beralih ke foto kedua. Foto Lova tengah tersenyum ceria bersama dengan seorang anak laki-laki yang berdiri di belakang Lova sambil memeluk dan mencium pipi pacarnya itu. Anak laki-laki itu, dia prediksi mungkin ... seumuran dengannya dan Lova?
Axel menurunkan pandangannya pada dua foto di bawahnya. Foto Lova tengah melingkarkan kedua tangan gadis itu memeluk pinggang pria bule itu erat-erat dari samping dan tersenyum lebar saling bertukar pandangan dengan pria bule itu yang juga tersenyum lebar dengan kaki yang diangkat satu. Dan foto yang terakhir, foto pria bule itu dan seorang anak laki-laki yang hanya berdiri dengan tegak bersebelahan saling merangkul bahu dan mengulas senyum yang sama lebar.
Kasih sayang yang terpancar dengan sangat jelas dari binar sepasang mata milik ketiganya membuat Axel tanpa sadar tersenyum amat tulus. Namun, perlahan senyum tulus di bibir Axel hilang berganti dengan keningnya yang mengerut dalam ketika menyadari dia tidak menemukan satu foto wanita berusia matang yang kemungkinan ibu Lova.
Pria bule yang sudah duduk di single sofa dengan kaki yang dilipat itu sedang memperhatikan Axel. Senyum kecilnya terbit ketika melihat kerutan di kening anak laki-laki yang tadi mengaku sebagai pacar Lova. Pria bule itu sendiri tahu, penyebab dari munculnya kerutan di kening Axel.
"Silahkan duduk, pacarnya Lova."
Axel dengan gerakan cepat memalingkan wajahnya ke arah pria bule yang baru saja mengeluarkan suara itu. Tak lupa kepalanya juga mengangguk. Axel berjalan sedikit dan duduk di sofa panjang yang berada di sebelah kanan pria bule yang mungkin saja ayah Lova itu.
"Perkenalkan. Saya Alexander Archelaus. Saya daddynya Lova." terang Alex memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan kanan dan menurunkan kaki kanan dari atas lututnya sebelah kiri.
Axel manggut-manggut. Oh ...? Daddynya Lova. Dia pikir pria bule itu aya-- eh! Wait! Mata Axel langsung membulat. Daddy? Daddy itu sejenis dengan ayah, bapak, abi, papa, papi itu, kan? Axel melongo. You die, Axel. You die!
Axel berdehem kecil sambil melirik ke arah Alex tidak enak. Sekarang dia tahu dari mana asal wajah blasteran, warna ash brown rambut dan manik mata warna hazel milik Lova. Jelas sekali gen turunan dari daddy bule gadis itu yang tadi sudah dia ketusi. Shit! Axel menggaruk tengkuknya kikuk.
Axel nyengir lebar. "Oo-om?" panggil Axel terbata. Axel langsung menerima uluran tangan Alex dan mencium punggung tangan daddy Lova itu. "Saya Axelle Adelio Cetta, Om. Kebetulan juga saya itu pacarnya Lova."
Kedua alis Alex terangkat naik. "Kamu ... putra dari Mr. Adelardo Cetta?"
Axel mengangguk kecil dan menatap Alex bingung. "Iya, Om. Gimana?"
Alex menggeleng. "Just call me, uncle. Uncle pernah bertemu dengan ... ayah?"
Axel menggeleng kecil. "Papa, O-- uncle." ralat Axel cepat.
Alex mengangguk paham. "Uncle pernah bertemu dengan papa kamu beberapa kali untuk urusan pekerjaan. Tapi uncle baru tahu kalau putra Mr. Cetta, which is itu kamu, Axelle. Ternyata mengenal Lova, putri uncle."
"Panggil Axel saja, uncle. Kami berada di satu kelas yang sama hampir dua tahun, uncle. Dari kelas sepuluh."
"Begitu?" Alex manggut-manggut sambil meletakkan kaki kanan di atas lutut kakinya sebelah kiri dan mengetuk-ngetuk lengan sofa sebelah kanan dengan telunjuknya.
Axel mengangguk.
"Sekarang sedang berada dimana papa kamu? Sibuk sekali sepertinya. Sampai-sampai uncle harus berulang kali reschedule pertemuan kami." kekeh Alex.
Axel tak menjawab. Tidak bisa menjawab lebih tepatnya. Hanya tersenyum tipis.
Mencium ada yang janggal dari respon Axel, Alex langsung saja menghilangkan kekehannya dan sejenak menatap anak laki-laki itu intens. Alex tersenyum. "Jadi kamu ingin bertemu Lova, Axel?"
Axel mengangguk pelan. "Iya, uncle."
Alex mangangguk singkat. "Sudah buat janji sebelumnya? Karena anak itu, sesiang ini masih betah tidur." terang Alex sambil menoleh dan mendongak sedikit menatap jam gantung shabby chic dua muka warna putih pilihan Lova yang dipasang pada dinding tak jauh dari meja lemari konsol.
"Masih tidur?" tanya Axel dengan nada kurang yakin.
Alex mengangguk membenarkan. "By the way, kamu mau minum apa, Axel? Uncle sampai lupa tidak menawarkan minum."
"Oh? Tidak usah repot-repot, uncle. Saya oke, kok."
Alex menggelengkan kepalanya. "Jangan merasa sungkan, Axel. Santai saja. Hanya minum, tidak merepotkan uncle sama sekali." Alex tersenyum kecil. "Orange juice, oke?"
Axel mengangguk. "Iya, boleh. Terima kasih, uncle."
Alex mengangguk. "Oke. Tunggu sebentar, uncle ambilkan dulu." kata Alex sambil beranjak berdiri setelah mendapatkan anggukan dari Axel. Alex berjalan menuju dapur.
Axel menghempaskan punggungnya pada sandaran sofa selepas kepergian Alex. Menatap langit-langit ruang tamu rumah Lova itu. Dia sebelumnya tidak pernah mampir atau dengan sengaja datang ke rumah pacar-pacarnya dulu.
Lalu apa yang terjadi sekarang? Bagaimana bisa dia terdampar di ruang tamu rumah Lova sekarang? Bahkan terlibat pembicaraan bermenit-menit lamanya dengan Alex dan catat ... tan.pa a.da Lo.va! Axel geleng-geleng kepala sambil menghela nafas samar. Ada yang salah dengan kinerja otaknya, sepertinya. Axel memijat pangkal hidungnya.
Axel langsung saja menegakan punggung ketika samar-samar telinganya mendengar suara langkah kaki mantap mendekat.
"Lova tidak ada cerita kalau sudah punya pacar dan ini untuk pertama kalinya ada anak laki-laki yang datang ke rumah langsung mengaku sebagai pacar Lova. Uncle sedikit terkejut." terang Alex sambil meletakkan gelas panjang berisi orange juice di atas meja kaca di depan Axel. Alex kembali duduk di sofa single tempatnya duduk tadi.
Axel mengangguk paham. "Kami juga pacarannya baru beberapa hari yang lalu kok, uncle. Mungkin Lova belum terbiasa dengan status barunya. Atau Lova lupa bilang sama uncle."
Alex mengangguk-anggukan kepalanya. "Diminum dulu, Axel."
"Ah. Iya, uncle." balas Axel langsung mengulurkan tangan kanan meraih gelas yang ada di depannya. Axel meneguk orange juice pelan-pelan. Matanya melirik Alex yang sedang memperhatikannya dari balik gelas.
Alex tertawa kecil. "Kenapa, Axel? Aneh melihat uncle memakai celemek warna pink motif bunga-bunga, seperti ini?"
Axel langsung menjauhkan ujung gelas dari bibirnya dan meletakkan kembali gelas itu di atas meja. Tersenyum kaku seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sedikit aneh, uncle."
Alex terkekeh pelan. "Memang akan terlihat aneh jika orang lain yang melihat pria tua seperti uncle ini memakai celemek warna pink." Alex menunduk menatap celemek. Senyum lebarnya terbit ketika bayangan senyum ceria Lova saat menunjukkan celemek yang sedang melekat di tubuhnya itu melintas di benaknya.
Alex perlahan mengangkat wajahnya menatap Axel. "Tapi uncle senang dan tidak merasa keberatan sama sekali memakainya. Celemek ini Lova yang belikan, couple katanya. Cute right?" kekeh Alex. "Lova itu kurang suka makan masakan tangan orang lain. Kalau bisa selalu makan masakan uncle sendiri. Atau masakan Lova sendiri."
Axel hanya terdiam memandang raut bahagia Alex yang sangat kentara. "Andai saja ..." gumam Axel dalam hati. Pikirannya menerawang dengan kalimat pengandaian itu. Andai saja Tuan Adelardo Cetta, pria workaholic yang sayangnya adalah papanya sendiri itu mempunyai sedikit saja sifat kebapakan yang dimiliki Alex.
Axel menggelengkan kepalanya samar. Terkekeh sinis dalam hati. Mana mungkin, pria yang meletakkan pekerjaan di tempat paling tinggi dalam hidup memiliki sifat itu. Dan, ah ... kalau Tuan Adelardo Cetta mempunyai sifat kebapakan. Itu artinya, mungkin saja kerajaan Cetta sudah runtuh. Axel tersenyum kecut.
Kening Alex mengerut ketika menyadari Axel sedang melamun. "Axel?" panggil Alex pelan sambil menepuk bahu Axel pelan.
"Eh?" Axel terkesiap sedikit. "Gimana, uncle? Maaf saya sempat melamun tadi. Tidak bermaksud tidak sopan." kening Axel mengerut setelah mengatakan kalimat panjang itu. Sejak kapan dia bisa dengan mudah mengucapkan kata terima kasih dan maaf? Fix. Otaknya konslet.
Alex tersenyum hangat sambil menepuk bahu Axel dua kali. "Tidak apa-apa. Uncle hanya ingin pamit ke dapur melanjutkan memasak lagi." terang Alex seraya beranjak berdiri dari posisi duduknya.
"Kamu kalau bosan menunggu, kamu boleh ke kamar Lova, Axel. Dan sekalian tolong, bantu uncle membangun kan Lova. Anak itu semalam begadang, maraton nonton drama Korea."
"Umm ... apa gak apa-apa ya, uncle kalau saya masuk ke dalam kamarnya Lova?" tanya Axel sambil menatap Alex tidak enak.
"Tentu. Tidak apa-apa, Axel. Uncle percaya Axel tidak akan berbuat macam-macam pada Lova." Alex tersenyum tulus. "Semua teman Lova, uncle yakin pasti anak baik-baik. Apalagi kamu itu pacarnya Lova. Pasti akan lebih menjaga Lova dengan baik lagi."
Axel tersenyum lebar. Dadanya mengembang bahagia. Rasanya ... seperti ... luar biasa? Entahlah, Axel belum pernah mendapatkan kata percaya dari orang lain. Dia tidak menyesal sudah dengan mudah mengucapkan kata terima kasih dan maaf pada Alex. Pria bule itu patut diperlakukan dengan baik dan sopan. Mulai detik ini Axel bertekad dalam hati akan lebih sering menyambangi rumah Lova.
Tbc.