"Not beauty?"
Axel mengangguk. "Not beauty karena lo belom mandi. Masih belekan, bau jigong, rambut kaya singa." terang Axel sambil mengibas-ngibaskan tangan di depan mulutnya dengan raut wajah tidak enak yang dibuat-buat dan hidung yang mengkerut.
"Dasar cowok! Dimana-mana, semuanya sama, memandang cewek cuma sebatas fisik. Sepele banget." cibir Lova lirih.
Axel tertawa keras sambil menatap Lova geli. "Nah, my Lov. Gue kasih tahu, ya sama lo biar lo gak terlalu meletakkan harapan tinggi sama cowok. Jatuhnya nanti sakit. Dua dari sepuluh cowok kalau lo tanya lihat cewek dari apanya? Ya ... pasti lihat dari fisiknya dululah. Baru ke yang lain-lain. Gak usah munafik. Kenyataannya cewek juga kaya gitu walau gak sebanyak dan segamblang cowok."
Lova manggut-manggut. "Oh ... jadi bukan mimpi, ya ini, ternyata." gumam Lova lirih setelah mendengar penjelasan panjang kali lebar dari Axel. Lova membuang pandangan ke arah lain dan dengan gerakan pelan menarik selimut hingga menutupi hidungnya. Hanya menyisakan kedua matanya saja yang terlihat.
"Ya, bukanlah!" sentak Axel keras sambil menyentil kening Lova keras membuat gadis itu mengaduh Axel menjauhkan wajahnya dan berkacak pinggang menatap Lova intens.
"Aduh! Sakit, dong." protes Lova keras sambil mengusap-usap keningnya yang bekas disentil Axel.
"Mana sudi gue dateng ke mimpi jorok lo, my Lov."
Mata Lova terbelalak. Gerakan tangannya seketika terhenti. Dengan gerakan cepat Lova menoleh. Mim-mimpi apa? Mimpi jorok! Lova megap-megap dalam hati. Mendongak kepalanya sedikit menatap Axel yang ternyata juga sedang menatapnya. Berdehem pelan membersihkan tenggorokannya yang tiba-tiba saja menjadi kering karena mata hitam setajam elang milik laki-laki itu sedang menatapnya dengan intens.
"Ax-xe?" panggil Lova pelan dengan suara teredam.
Axel berdecak keras. "Ck! Iya, ini gue Axe. Axe, pacar lo. Kenapa? Gue makin ganteng apa gimana?"
Lova geleng-geleng kecil. Hanya terdiam memperhatikan setiap gerak-gerik Axel. Axel yang mematikan AC, Axel yang menutup novelnya yang ada di atas overbed table, Axel yang berjalan ke arah koridor, lalu membuka gorden balkon dan pintunya membuat angin alami masuk menyejukan kamarnya, Axel yang bergeser menyibakkan gorden jendela sanitasi dan menggeser pot ke bagian meja nakas yang terkena sinar matahari, Axel yang berbalik badan dan berjalan ke arah ranjangnya dan berdiri di samping ranjang lagi menghadap padanya, tak luput dari penglihatan Lova.
"Ayo. Bangun, my Lov." titah Axel dengan suara pelan sambil menarik selimut Lova dengan paksa. Axel menarik tangan Lova pelan hingga gadis itu bangun dan duduk.
"Ih, Axe!" jerit Lova tidak terima.
"Bangun, elah! Kebo amat jadi cewek. Rezeki lo itu udah pasti hilang dipatok ayam kalau jam segini lo baru bangun, my Lov."
Lova menutup wajah dengan kedua telapak tangannya sambil menghirup oksigen banyak-banyak dan membuang karbondioksida lewat hidung. Menekan sedikit lalu memutar-mutar kedua kelopak matanya dengan ujung jari-jarinya. Memijatnya pelan. Lova menguap kecil sambil menoleh menatap Axel malas dan menggaruk lehernya.
"Tutup, dih!" sentak Axel dengan suara pelan sambil mengulurkan punggung tangan kanannya menutup mulut Lova.
Lova menepis tangan Axel pelan. "Ini, kan hari minggu ya, Axe." kata Lova sambil mengangkat kedua tangannya yang terkepal meregangkan tubuhnya yang kaku.
"Ya, te-rus ... karena ini hari minggu bangunnya jadi boleh siang banget kaya gini, gitu? Diketawain sama ayam, lu!" cibir Axel dengan nada mengejek.
Lova mendesis kesal. Melipat kedua tangannya di depan dada dan menatap Axel tajam. "Axe gak tahu ceritanya gimana, sih ..."
Axel tertawa geli. "Gue gak mau tahu, tuh ..." goda Axel sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
"Ih!" Lova meraih ujung lengan baju Axel dan menarik laki-laki itu lebih merapat ke tepi ranjang tanpa penolakan. "Tapi, Lova mau cerita. Nih, ya. Lova kasih tahu, Axe. Lova, tuh habis begadang tadi malam." terang Lova dengan suara serak khas bangun tidur dan memasang wajah cemberut sambil menyisir rambut kusutnya dengan sepuluh jari.
Axel menundukkan kepalanya sedikit. "Gue gak butuh tahu cerita lo tadi malam ngapain, ya. Lagian yang nyuruh lo begadang itu juga siapa? Gak ada, kan? Lo sendiri yang ngulah." balas Axel sambil mengulurkan gelas berisi air putih pada Lova. "Nih. Lo minum dulu, my Lov. Habiskan, ya princess Lova my baby bala-bala." kekeh Axel.
Lova langsung mengerucutkan bibir sambil menerima gelas yang diulurkan tangan kanan Axel dengan kedua tangannya dengan ogah-ogahan. Meneguk air putih itu hingga tandas tak bersisa. Lova mengelap bibirnya dengan punggung tangan kanan. Ah ... leganya. Ternyata dia memang sangat kehausan. Lova terkikik dalam hati.
"Ya, emang gak ada yang nyuruh Lova juga, sih ..." kata Lova sambil meletakkan gelas kosong itu di atas meja nakas yang berada di samping ranjangnya. "Tapi, kan Axe, gak apa-apa juga kalau misalnya di hari libur malamnya begadang terus bangunnya siang. Kan, gak masuk sekolah, kan Axe, kan." terang Lova dengan raut wajah polosnya sambil menggeleng kecil.
Axel mengibaskan satu tangannya. "Gak pake, gak pake! Gak usah banyak alasan, deh lo, my Lov. Males, mah males aja udah, titik. Gak malu lo sama gue yang udah ganteng to the max gini?" tanya Axel sambil memainkan kedua alisnya naik turun menggoda Lova.
Lova langsung mencibir ucapan Axel yang over kepedean itu. "Iyain, deh. Biar cepet." kekeh Lova lalu menjulurkan lidahnya mengejek Axel.
"Heh!" sentak Axel dengan kedua mata mendelik tajam.
Lova terkekeh pelan. "Axe aja setiap hari bangun siang. Sampai-sampai telat terus masuk sekolahnya."
"Ck!" Axel berdecak keras sambil menatap Lova malas. Kedua tangannya menangkup pipi gadis itu. "Gue itu cowok, my Lov." kata Axel dengan suara halus. "Tempatnya segala pemakluman. Lagian gue terlahir dengan sendok emas. Lo gak perlu khawatir sama rezeki gue. Gue udah tajir tujuh turunan." terang Axel yang langsung mendapatkan cibiran dari Lova.
"Eh?!" pekik Lova tertahan, seolah tersadar akan sesuatu yang seharusnya sudah dia tanyakan pada Axel sejak melihat eksistensi laki-laki itu di dalam kamarnya. Lova langsung menegakkan posisi duduknya. Kekehan Lova seketika hilang juga.
Sebelah alis Axel naik. Axel menatap Lova dengan sorot seolah bertanya kenapa.
"Axe-- kok, kok ... Axe bisa masuk ke kamar Lova, sih? Jangan bilang--" jeda Lova sengaja sambil menatap Axel ngeri.
"Apaan, sih?! Jangan gaje, dah lu. Gue masuk lewat pintu, lah. Ya, kali nembus tembok." sahut Axel sambil menjauhkan kedua tangannya dari pipi Lova dan duduk dengan mengangkat kaki kanan yang lututnya ditekuk di tepi ranjang menghadap gadis itu. Axel menatap Lova dengan sorot penasaran.
Lova menggeleng keras. "Bukan itu?! Axe, jangan bilang kalau ..." Lova menelan salivanya kasar. "Axe ... udah ketemu sama daddy Lova?!" jerit Lova histeris sambil menutup mulut dengan kedua tangan dan kedua mata terbelalak lebar.
"Lo drama banget, sumpah!" Axel tertawa keras sambil memukul-mukul permukan kasur empuk Lova. "Anjir?!"
Lova langsung memukul lutut Axel yang ada di atas kasurnya pelan. "Apaan, sih jadi kasar kaya gitu ngomongnya. Axe, ih!" Lova memukul pelan lutut Axel yang ada di atas ranjangnya satu kali lagi. "Diem, ah! Axe!"
Axel mengangkat kedua tangannya tanda menyerah. Berdehem kecil beberapa kali mencoba meredakan tawanya yang meledak dan meredam perasaan geli yang dia rasakan. "Lo drama banget, sumpah! Kurang-kurangin nonton sinetronnya, deh lo, my Lov." saran Axel di tengah-tengan sisa tawanya.
"Ck! Lova gak nonton sinetron, ya." sangkal Lova keras. "Lova itu nontonnya dra.ma ko.rea." terang Lova sambil memberikan penekanan pada dua kata di ujung kalimatnya.
"Siapa?"
Lova mendengus keras. "Lova, lah!"
"Yang nanya!" Axel tertawa terbahak-bahak sambil memeluk perutnya dengan kedua tangan. "Kocak parah, anjim?! Adu-du-duh! Perut gue." keluh Axel ditengah-tengah gelak tawanya sambil memegang kedua pinggangnya yang kram.
Raut wajah Lova langsung berubah menjadi cemberut. Menatap Axel tajam. Lova menghempaskan kasar punggungnya ke atas kasur dan menutup wajah dengan bantal. Lova menekan bantal di atas wajahnya itu gemas lalu menjerit kesal.
"Aaa ... daddy ...! Lova kesal ...! Axe menyebalkan ...!" suara jeritan Lova teredam di balik bantal. Lova menendang-nendang selimut yang ada di bawah kakinya.
Tawa Axel kembali meledak, kini lebih keras. Axel sampai-sampai menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang Lova.
Lova dan Axel, keduanya sama-sama tidak tahu jika Alex sedang menempelkan telinganya di daun pintu kamar Lova. Menguping pembicaraan mereka berdua sejak tadi. Alex tersenyum kecil sambil menegakan posisi berdirinya dan geleng-geleng kepala. Sejenak menatap pintu Lova dengan hati ringan dan tenang sebelum berjalan menuruni tangga. Senyum tidak pernah lepas dari bibirnya membayangkan interaksi di antara Lova dengan Axel.
-firstlove-
Axel bangun dan duduk bersila menghadap Lova. Kedua tangannya terulur mengangkat bantal yang ada di atas wajah cantik gadis itu perlahan. Axel tersenyum kecil menatap Lova juga sedang menatapnya. Jejak kekesalan masih tampak di raut wajah pacarnya itu. Meletakkan bantal di sisi kanan tubuhnya.
"Sini." kata Axel halus sambil melambaikan tangannya dan mengangguk kecil. "Sini, bangun, my Lov." titah Axel dengan suara pelan sambil perlahan meraih kedua tangan Lova dan menarik gadis itu hingga duduk berhadapan dengannya.
"Sekarang kita ngomong serius, oke?" Axel menundukkan wajahnya sedikit agar bisa melihat wajah Lova yang sedang menunduk juga.
"Hmm," gumam Lova lirih sambil mengangguk singkat.
"Lihat gue dulu coba." kata Axel sambil mendorong ke atas dagu runcing Lova hingga tatapan gadis itu terarah langsung padanya. Axel tersenyum kecil.
Axel mengusap pipi Lova sebelah kanan dengan ibu jarinya pelan. "Gue ada di rumah lo, ya-- udah lumayan lama. Gue udah ngobrol banyak sama bokap lo. Gue juga udah bilang kalau gue itu pacarnya lo, my Lov." terang Axel membuat kedua mata Lova terbelalak lebar.
"Jadi--" Axel menurunkan tangannya. "Apa masalah yang bikin lo jadi drama banget waktu tahu gue udah ketemu sama bokap lo, hm?" tanya Axel sambil menatap Lova serius. Axel meraih tangan kanan Lova. Ibu jarinya bergerak pelan mengusap kedua punggung tangan gadis itu.
Lova mengedikkan bahunya sambil menatap punggung tangannya. "Gak ada masalah. Lova cuma belum ada cerita sama daddy soal Axe, soal hubungan kita. Lova juga masih belum bisa percaya 100% sama omongan Axe."
Lova mengangkat wajahnya menatap Axel. "Dua tahun. Kita hampir gak ada interaksi sama sekali. Terus tiba-tiba Axe bilang Lova pacar Axe." Lova menggelengkan kepalanya pelan. "Gak masuk akal sama sekali, Axe."
Axel mengangguk paham. "Backstreet bukan gaya gue banget, my Lov. Tapi, bukan berarti juga gue kenalan sama orang tua dari pacar-pacar gue." Axel mengutip kata pacar-pacar dengan tangannya yang bebas. "Terlalu banyak. Gue males. Nama pacar gue sendiri aja gue kagak inget."
Lova geleng-geleng kepala menatap Axel takjub membuat laki-laki itu tertawa kecil melihatnya.
"And ... just for your information, belum ada satupun orang tua dari pacar-pacar gue--" Axel mengutip kata pacar-pacar dengan tangannya yang bebas lagi. "Yang gue ajak kenalan, my Lov. Baru orang tua lo doang." Axel menautkan jarinya ke sela jari Lova dan menggenggam tangan gadis itu erat. "Gue juga tahu kenapa, gue ngerasa nyaman aja ngobrol sama bokap, lo. Gimana, hm?"
Lova mengangkat kedua bahunya. "Gak tahu."
"Kok, masih gak tahu juga sih, my Lov?" tanya Axel gemas. "Lo gak bego, kan?"
"Ish!" Lova mendesis kesal. "Ya, emang Lova gak tahu?! Lova bingung."
Axel menyentak tangan Lova keras hingga terlepas dari genggamannya. "Dahlah! Bodo amat! Terserah gue. Pokoknya lo itu tetap pacar gue. Dan ... mulai dari sekarang, lo jangan berani deket-deket sama cowok lain." peringat Axel serius sambil beranjak turun dari ranjang Lova.
Lova memutar kedua bola matanya malas. "Iya-iya ..." jawab Lova ogah-ogahan. "Dah, sana Axe keluar dari kamar Lova. Lova mau mandi soalnya." kata Lova sambil mengibaskan kedua tangannya mengusir Axel dari kamarnya.
Axel menarik sebelah sudut bibirnya. Tersenyum miring.
Lova melirik Axel yang masih berada di posisi berdirinya. Keningnya mengerut dalam. "Axe kenapa masih di sini? Lova bilang mau mandi." Lova menunjuk pintu kamarnya dengan dagu. "Sana, Axe keluar."
Axel menggeleng sambil menatap Lova jahil. "Karena gue itu pacar pertama lo yang baik ... bang.nget." puji Axel pada dirinya sendiri. "Gue bakal nungguin lo mandi, my Lov. Sampai selesai. Gimana? Cool?" tanya Axel sambil tersenyum menggoda dan memainkan kedua alisnya naik turun.
"Hah?! Apaan?!" sahut Lova keras dan langsung saja melompat turun dari atas ranjangnya. "Gak ada, ya Axe. Lagian tahu dari mana coba Axe pacar pertama Lova."
"Dari sumber yang sangat-sangat terpercaya. Kenapa gak ada, my Lov? Kan, gue gak ikut lo masuk kamar mandi. Apalagi sekalian ikut lo mandi." kekeh Axel.
Lova langsung menyilangkan kedua tangannya di depan dada. "Dasar mesum!" sentak Lova keras sambil melengos menyembunyikan wajahnya yang pasti sudah berubah menjadi merah dan mendengus kesal. "Lova perlu ganti baju Axe, lho."
Axel tergelak sambil melangkah mundur sedikit memberikan ruang lebih untuk Lova bergerak. "Ya ... tinggal ganti aja, sih. Masalahnya dimana, my Lov?"
Gerakan tangan Lova yang sedang merapikan sprei seketika terhenti. Lova menegakkan punggungnya dan perlahan berbalik badan menghadap Axel. Lova menatap laki-laki itu dengan tatapan tidak percaya. Masalahnya dimana?
"Itu--" Lova menunjuk pintu lemari kayu berukuran lebar bercat putih. Lova harus melewati ranjangnya untuk sampai ke lemari bajunya. "Yang jadi masalahnya, Axe."
Axel manggut-manggut sambil beroh-ria tanpa suara. "Anggap aja lo lagi amal sama pacar lo sendirilah, my Lov."
"Amal, apanya!" sewot Lova sambil mendorong-dorong bahu Axel.
Axel terkekeh geli. Kedua tangannya terangkat ke atas tanda menyerah seraya berjalan mundur keluar kamar Lova.
Tbc.