...
Aku di sini menunggu Abah sadar. Sembari itu, aku melihat beberapa album di atas meja ruang tamu rumah Alif. Lagipun, Alif sedang tak ada di rumah. Dia pergi ke toko sebelah mencari obat dan beberapa makanan. Karena penasaran, aku mulai membuka satu persatu isinya.
Aku tak bisa menahan gelak tawa diriku sendiri ketika melihatnya. Foto-foto Alif kecil sangat polos dan begitu lucu. Aku membuka lembar demi lembar album yang ternyata semuanya adalah foto Alif masa kecil. Ada pose lucu ketika dia memakai kostum monyet dan terjatuh di kubangan lumpur, lalu ada pula ketika dia menangis, tersenyum ketika dua gigi depannya ompong, dan lain lagi. Pokonya, foto-foto Alif berhasil membuatku tertawa.
Aku jadi ingat ketika pertama kali aku mengunjungi rumahnya saat itu, aku menemukan album ini tersimpan di atas TV. Ketika aku akan membawanya, Alif lantas merebutnya dan berkata sangat gugup sekali.
"Reine, i-ini rahasiaku. Kamu jangan lihat apalagi membukanya."
Dulu aku kesal. "Kalau rahasia, kenapa kamu simpan album itu di mana saja? Ah Alif, kamu memang membosankan."
Dia pergi menyimpan itu ke kamarnya. "Ya mana aku tahu."
Hahaha. Ternyata ada banyak kekonyolan di album ini. Oh Alif, Alif! Pantas saja kau tak mau memberikannya padaku.
Masih ada satu lembar lagi yang belum aku lihat. Ketika aku membukanya, aku melihat foto dua sosok bayi kecil yang sangat menggemaskan. Mereka memakai baju kodok yang sama, berwarna hijau. Lalu mereka juga sama-sama memeluk guling mini. Posenya sama-sama nyengir pula, ah lucu sekali.
"A-aduh." Tiba-tiba Abah merintih. Aku segera menutup album itu dan menyimpannya di tempat semula.
"Abah?" Kataku menenangkannya. "Ini minum dulu." Kusodorkan air putih kepadanya.
"Makasih, neng." Abah tersenyum. "Temen kamu yang satu lagi mana?" Abah bertanya seperti itu.
"Oh Alif? Em dia lagi keluar mau nyari obat sama makanan, emangnya ada apa bah? Ada yang perlu saya bantu?"
Abah mengangguk-angguk, "Oh tidak ada neng. Kayanya Abah mau pulang saja." Abah berusaha bangkit namun tubuhnya masih lemas.
"Abah mau pulang ke mana? Di sini dulu aja bah, lagian Abah masih sakit dan di luar hujan lebat." Aku mencoba membaringkannya lagi.
"Tapi neng abah-"
Aku sudah mengerti apa maksud Abah. Segera aku memintanya untuk diam beberapa hari di sini dan beristirahat.
"Tunggu sebentar ya bah, saya mau nelpon Alif dulu."
"Nelpon apa neng?" Tanyanya.
"Suruh pulang cepet-cepet, emang kenapa bah?"
"Oh nggak usah neng, di luar hujan lebat. Lagian Abah nggak enak sama Eneng, trus sama temen Eneng juga. Eh siapa namanya? Alif ya?"
"Iya bah." Aku tersenyum. "Abah tak usah berpikiran kaya gitu. Lagian saya sama Alif ikhlas ko nolongin Abah." Abah lekas memegang tanganku dengan hangat dan mengucapkan terima kasih.
Aku mulai terharu melihat Abah. "Liat Abah kaya gini, saya jadi inget kakek saya."
"Emangnya kakek eneng ada di mana?" Tanya Abah sejurusnya.
"Di Bengkulu bah, lumayan jauh. Saya juga terakhir liat kakek saya dua tahun yang lalu. Makanya saya kangen banget ingin ketemu."
"Tapi kakek eneng masih hidup?"
"Alhamdulillah bah, masih."
Abah terdiam.
"Ohh, Abah juga sama. Liat Eneng sama Alif, Abah jadi inget cucu Abah sendiri."
Aku kaget. "Oh ya? Memangnya seperti apa bah?"
"Kalian sama-sama baik dan perhatian ke Abah. Padahal Abah orang asing menurut kalian. Ketemu aja tadi, di jalan lagi. Tapi Abah berterima kasih, ternyata di dunia yang kejam ini masih ada orang-orang yang baik seperti kalian. Dan yaa... Abah mengira cucu Abah juga memiliki sifat yang sama seperti kalian."
Aku sedikit bingung dengan makna ucapannya. "Maksud kejam bah?"
"Hm...." Abah menjeda perkataannya. "Dari jalan tadi, Abah udah cerita kalo Abah jauh-jauh datang dari Bogor buat nyari cucu Abah. Masih ingat?"
Aku mengangguk.
"Tapi Abah baru sadar, kota Bandung sekarang tak sesepi Bandung tempo dulu. Ada banyak perubahan yang ada di sini. Gedung-gedung, bangunan-bangunan menjulang tinggi menghias langit, pokoknya 17 tahun lalu di sini masih asri neng," Abah menatap hujan.
"Masih hijau, bersih, pokoknya beda." Lanjutnya. "Terakhir Abah ke sini nengok cucu Abah yang masih satu tahun. Dan sekarang Abah ke sini lagi mau nyari cucu abah yang mungkin udah besar, jagoan, dan tentunya... Tampan." Abah tertawa kecil kemudian menghela napasnya berat.
"Tapi semenjak Abah kehilangan uang kala itu, segala harapan abah sudah musnah. Foto-foto masa kecil cucu Abah juga hilang. Entah siapa yang mengambilnya. Maka dari itu, Abah mau putuskan pulang saja ke Bogor."
Aku mendengar dengan saksama cerita Abah. Terasa rumit, tapi entahlah rasa ibaku kian melolong untuk menolongnya.
"Memangnya siapa nama cucu Abah?"
Abah tiba-tiba tertegun.
"Kalau-kalau suatu hari saya bertemu dengan nama dan ciri-ciri yang tepat Abah sebutkan, mungkin saya bisa menanyakannya dan memberitahu abah."
Abah tersenyum lebar, "Terima kasih mau tolong Abah. Gadis seperti eneng memang sulit ditemui. Abah senang bisa bertemu kalian berdua. Tapi sayangnya," Suara Abah terdengar mulai terisak. "anak Abah dulu belum memberitahu nama anaknya ke Abah, padahal Abah ingin sekali tahu namanya. Dan yaa... sampai saat ini Abah tidak tahu siapa namanya."
"Tapi, Abah selalu panggil mereka si jago,"
"Si jago?" Tanyaku mempertegas.
"Iya... si jago Abah. Abah juga pernah nyelipin foto mereka di balik bantalnya sesaat sebelum Abah pergi dulu. Kalau saja ada seseorang yang sadar dan memberikan foto itu kepada mereka ketika sudah besar, mungkin mereka ingat bahwa mereka adalah jagoan Abah. Si jago, panggilan kecil yang sangat Abah sayang. Kalau saja suatu saat Abah bisa bertemu, abah pasti senang. Sangat senang."
Aku sedikit heran, "Mereka?"
"Iya neng. Cucu Abah ada dua. Kembar, lelaki semua. Abah juga ingat, salah satu dari mereka ada tanda lahir di siku kanannya. Gak terlalu besar sih, tapi pas Abah ingat-ingat emang ada, Abah yakin."
"Ohh baik-baik. Saya paham. Dua cowok kembar dengan panggilan kecil si jago, salah satunya ada tanda lahir di siku kanannya."
"Sip." Aku tersenyum. "Semoga suatu saat nanti saya bisa segera mempertemukan Abah dengan cucu-cucu abah ya. Doakan saya."
"Terima kasih banyak neng." Mata Abah berkaca-kaca.
Kemudian suasana hening.
Setelah menyalakan lampu, aku sempat ragu ingin bertanya lagi, karena memang rasa penasaran yang sangat, aku paksakan saja bertanya.
"Memangnya apa tujuan Abah bertemu cucu abah selain rasa rindu abah kepada mereka?"
Abah sedikit tersentak, awalnya aku meminta maaf karena mungkin apa yang aku tanyakan membuatnya tersinggung.
"Tidak apa." Jawabnya.
Kulihat mata Abah seperti menerawang, mengingat sesuatu.
Dan ketika suasana kembali hening tiba-tiba Abah berkata.
"Abah hanya ingin mendonorkan satu ginjal Abah buat cucu Abah yang satu."
Aku jelas kaget. "Donor ginjal?"
Abah melihatku. "Ceritanya panjang neng."
"Sayangnya, di sisa hidup Abah ini, Abah masih terjerat pada keadaan dan cerita fiksi yang membuat Abah seperti ini. Abah tidak mau kesalahpahaman ini tidak berujung. Maka dari itu Abah ke sini untuk menyelesaikan semua masalah dan menjelaskan semua kebenarannya."
"Tapi kenapa Abah harus mendonorkan ginjal Abah sendiri? Itu berbahaya buat kesehatan Abah." Jelasku.
"Rasa cinta seorang kakek kepada cucu memang lebih neng. Abah hanya ingin si jago Abah mampu hidup dengan tenang dan bahagia." Abah mengusap air matanya. "Yaa walaupun sudah tidak dianggap lagi, tapi Abah masih berharap pada kedua cucu abah. Harap-harap mereka tidak dijejali hasutan buruk tentang abah."
"Hasutan buruk? Maksudnya seperti apa?" Aku semakin emosional dan ingin lebih tahu cerita abah. Ternyata, seorang abah memiliki kisah kelam yang masih menggeliat di kepalaku, tentang apa, siapa, mengapa, bagaimana, dan banyak lagi. Padahal lelaki renta seperti Abah, harusnya menikmati hidup dengan senang di sisa hidupnya, bukan malah jadi bahan permasalahan karena kesalah pahaman semua orang.
"Hasutan buruk itu yang membuat keluarga abah tak akan lagi percaya pada Abah neng. Abah pernah berpikir rasanya dunia itu kejam dan tidak adil. Mereka menjerat orang-orang yang bersalah dan tidak mau mendengar penjelasannya. Tapi ternyata Allah memberi abah segala kemudahan dan penerangan dalam hidup abah. Dalam waktu 17 tahun ini abah berusaha menguatkan diri dan keadaan. Abah mulai ikhlas atas segala cacian yang mereka berikan. Sudahlah, Abah serahkan semuanya pada Gusti. Toh Gusti lebih tahu mana yang benar dan mana yang salah." Lagi-lagi Abah mengusap air matanya. "Loh kok Abah jadi cerita begini ya?" Abah tertawa kecil. "Aduhh, maaf ya neng, Abah nggak bermaksud tadi. Gak usah didenger aja."
Seketika air mataku menetes. "Gapapa kok bah. Abah boleh cerita kapan pun dan apa pun sama saya, terserah. Saya pasti dengerin Abah. Abah gak usah canggung ya."
Abah mengangguk dan mulai menenangkan diri.
Sementara itu, aku melihat Alif baru sampai di depan rumah. Ia segera melipat payungnya dan bergegas menemui kami. "Maaf menunggu lama." Ujarnya.
"Abah gimana? Apa yang kerasa?" Alif menghampiri Abah dan terlihat sangat khawatir.
"Abah udah baik-baik aja ko. Lihat, Abah udah sehat. Kaki abah juga udah gak bengkak lagi." Abah tersenyum.
"Bohong? Mana coba saya lihat." Alif memegang kaki abah.
"Tapi ini masih kelihatan bengkak sedikit bah. Abah harus minum obat."
"Tapi udah nggak sakit lagi ko. Besok juga pasti sembuh." Ucap abah meyakinkan.
"Yaudah pokoknya abah harus minum obat," Alif membuka keresek putih. "eh tapi sebelum itu, abah harus makan dulu. Ya??"
Abah terlihat canggung. "Aduh... Nggak usah repot-repot, lagi pula Abah udah makan tadi."
"Pokoknya Abah harus sembuh dan harus makan, minum obat terus istirahat, ya," Alif membuka makanan di keresek putih dan mulai menyuapi Abah. "abah tenang aja, nggak ada lagi telur di sini." Alif tersenyum.
Abah terus mengucapkan terima kasih. Rasanya senang sekali melihat kejadian langka seperti ini. Baru kali ini aku melihat rasa perhatian alif kepada orang yang lebih tua. Ya maklum, orang tuanya sibuk kerja ke luar kota mencari uang.
Aku jadi teringat kisah Abah tadi. Melihat Alif dan Abah, aku jadi merasa mereka adalah seorang cucu dan kakek yang saling memberi perhatian. Aku merasa, ada ikatan kuat antara mereka berdua. Ah tapi entahlah. Mungkin itu hanya firasatku saja. Lagi pula, sejak dulu Alif memang ingin memiliki seorang kakek atau Paman, tapi mereka seakan hilang tau tahu di mana. Tak ada satu kabar pun yang membuat Alif ingin mencarinya. Mungkin ini pula alasan Alif memberi perhatian lebih pada Abah Wijaya.
Tak terasa langit mulai meredam. Aku segera bersiap dan meyakinkan abah untuk beristirahat. Aku juga meminta izin kepada Alif untuk pulang dan memintanya untuk merawat abah. Alif mengangguk, lalu kembali menyuapi Abah.
Aku mulai membuka payungku, tapi aku rasa aku mendengar seseorang yang memanggil namaku. Aku diam sejenak, mungkin saja aku salah mendengar. Tapi suara itu memang tak terdengar. Ketika aku mulai berjalan, namaku ternyata terucap lagi. Seketika aku menoleh ke belakang.
"Alif?" Gumamku.
Alif menghampiriku sambil membawa kresek kecil di tangannya.
"Loh kok di sini? Abah gimana?"
"Em... Maaf."
"Maksudmu?"
"Reine, aku minta maaf."
Sungguh, aku benar-benar bingung.
"Maaf? Maksud maafmu apa? Aku tidak mengerti."
"A-aku... Aku menghiraukanmu tadi."
Kerutan dahiku seketika melonggar. Aku kira ada sesuatu yang aneh atau tiba-tiba terjadi.
"Ah kamu ini! Aku udah kaget duluan kirain apa. Ya sudah, aku pulang ya."
"Eh sebentar." Alif mengehentikanku.
"Apa lagi?"
"Abah baik-baik saja. Dan kamu belum menjawabku. Maksudku, kamu belum menerima maafku."
Oh aku mengerti apa maksudnya meminta maaf. Di dalam hati, lucu sekali melihat dia seperti ini. Hahaha.
"Alif. Dengar ya,"
Tiba-tiba Alif memotong pembicaraanku. "Habisnya tadi aku khawatir dengan abah. Aku takut abah terjadi apa-apa. Dia sakit gara-gara aku, aku takut Abah sakit karenaku. Aku tak bisa melihatnya seperti itu. Dan karena itu, aku sampai melupakanmu."
Aku diam, tak menjawabnya.
"Kamu tidak apa-apa kan? Apa kamu sakit atau... Aku akan mengambil obat dulu ya sebentar, tunggu."
"Ehh tidak, tidak!" Aku menyuruhnya kembali. "Tidak usah. Aku baik-baik saja. Kamu tak perlu khawatir." Aku berusaha meyakinkannya. "lagi pula aku mengerti kok, tenang saja."
"Benarkah?"
Aku mengangguk mantap.
"Baiklah. Apa perlu aku antar pulang?"
"Tidak usah. Lebih baik kamu pulang, sholat, makan dan jangan lupa istirahat ya. Oh iya, jaga Abah baik-baik juga." Aku meminta pamit darinya. Tapi lagi-lagi, dia mengehentikanku.
"Ini, aku bawakan makanan dan nasi untukmu. Terima ya. Sampai rumah nanti, jangan lupa kabari aku. Jangan lupa sholat, makan dan istirahat. Dan satu lagi, jangan lupa jaga kondisi. Cuaca saat ini tidak stabil." Alif tersenyum.
Aku mengangguk dan menerima pemberiannya. Setelah itu, aku meminta pamit untuk yang ke beberapa kali lagi padanya. Dia tersenyum, menungguku sampai aku tak terlihat lagi olehnya sesaat sebelum dia memintaku untuk berhati-hati.
...