Seminggu berlalu dan hasil pencarian terhadap Christabell masih nihil. Richard menjadi semakin frustasi setiap kali menerima laporan tanpa progress. Harapan bahwa Christabell ditemukan dalam keadaan hidup semakin menipis. Dan ini bukan kali pertama she diculik. Tapi siapa yang dengan tega menculik wanita hamil seperti itu dan apa yang they inginkan? Jika yang diinginkan adalah tebusan, seharusnya penculik menghubungi Richard sejak hari pertama Christabell hilang.
Richard menenggelamkan dirinya dalam rasa bersalah yang tak teratasi. Berbotol-botol alkohol ditenggaknya sejak tiga hari terakhir untuk membantunya melupakan perasaan-perasaan ketakutannya akan hal buruk yang mungkin menimpa isterinya dan bayinya. Dia tidak pernah siap mendengar kabar bahwa terjadi hal buruk pada dua manusia yang paling di cintainya itu. Setiap detik, Richard menyalahakan dirinya sendiri untuk apa yang terjadi pada isteri dan bayi dalam kandungan isterinya itu.
"Mungkin isterimu memang sengaja menghilang darimu." Sebuah suara menggema di dinding hati Richard.
"Jangan berani-berani mengatakan hal itu padakau!" Richard berteriak, meski didalam ruangan itu hanya ada dirinya sendiri.
"Dia tidak benar-benar mencintaimu, Rich!" Suara itu kembali bergema dan Richard yang tengah mabuk melempar gelas yang dia pegang ke arah sebauh cermin yang memantulkan bayangan dirinya di meja bar itu hingga cermin itu pecah dan pecahannya berhamburan di lantai.
***
Seorang wanita bernama Charlotte yang ternyata masih memiliki hubungan kekerabatan dengan Richard segera datang ke kediaman Richard untuk membantu saudaranya itu mengatasi masalahnya. Namun sejak dua hari kedatangannya dia bahkan tak bisa mengajak Richard bicara dalam keadaan sadar. Richard benar-benar tenggelam dalam perasaan yang tak bisa dia atasi. Semua orang yang bekerja untuk Richard terkejut dengan apa yang terjadi pada majikan mereka. Tidak ada yang menyangka bahwa Richard serapuh itu, mereka semua masih terus berusaha mencari tahu dimana Christabell, dan orang pertama yang menyerah adalah Richard.
Richard bahkan tak pernah berani melangkah masuk ke dalam kamarnya selama seminggu terakhir. Bagaimana tidak, kenangan tengang Christabell dan semua sikap manjanya selama hamil menyeruak kembali setiap kali dia berjalan mendekat ke arah kamar, dan itu begitu menyiksa baginya.
Setiap kali Rich jatuh tertidur, mimpi buruk yang sama menghantuinya. Sebuah mimpi mengerikan dimana Christabell berada dalam keadaan sekarat, berlumuran darah di sebuah ruangan gelap. Richard melihat semua itu tapi tak bisa menolong. Suara rintihan Christabell dalam kesakitan terdengar seolah begitu nyata, dan saat Richard terbangun, semua itu hanyalah mimpi buruk.
Richard merasa begitu buruk, dan demi menghindari mimpi-mimpi dan perasaan-perasaan yang menyiksanya selama beberapa hari terakhir, Alkohol menjadi solusi baginya untuk saat ini.
Charlote berjalan ke arah datangnya suara riuh pecahan kaca dan melihat cermin besar di dekat meja bar sudah pecah dan berhamburan. "Richard, kau tidak bisa bersikap bodoh seperti ini terus. Semua bisnismu bisa hancur dalam hitungan hari jika kau bersikap bodoh." Charlote, ujar wanita yang berusia dua tahun lebih tua darinya.
"Persetan dengan semuanya!" Richard kembali menenggak bir dalam gelasnya. "Kau tahu Charlote, aku tidak ingin hidup lagi sekarang."
Charlote merebut gelas dari tangan Richard dan meletakkannya dengan keras di meja bar, di rumah itu, tempat dia dan Richard duduk. "Kau tidak akan menemukan isterimu hanya dengan duduk dan mabuk seperti ini, cari dia!!"
Richard menatap Charlote dengan susah payah, pandangannya mulai tak stabil saat ini, saat kadar alkohol menguasai sebagian besar kesadarannya. "Dia mungkin sudah....mati?" Mata Richard berkaca, dia bahkan tampak menangis. "Aku tidak berguna, kau tahu, aku yang membunuhnya. Kebodohanku membunuhnya..." Richard menjadi histeris, Charlote merengkuhnya dan memeluknya erat.
"Aku terbang dari Kanada saat mendengar kabar darimu, aku berharap bisa membantu Rich." Ujarnya sembari mengusap punggung saudara tirinya itu.
"Aku benar-benar mengutuk diriku sendiri karena tidak mampu menjaganya."
"Kita cari pelan-pelan Rich, kita pasti menemukan petunjuk yang terlewatkan." Ujar wanita itu. Dia benar-benar menjadi kakak yang baik bagi Richard meski mereka tidak dilahirkan dari rahim yang sama.
***
Sementara itu jauh di Poerto Rico, Christabell tengah berjuang untuk melahirkan bayinya di sebuah rumahsakit karena pendarahan mendadak yang dia alami. Bell bahkan masuk di ruang ICU sementara bayinya langsung dilarikan ke NICU.
Bell terbangun di sebuah padang rumput yang begitu luas, dengan langit biru yang indah. Udara semilir menghembus, menerpa wajah cantiknya, kulit putihnya bercahaya di terpa matahari yang terang namun tak terik sama sekali. Aneh, dalam situasi secerah ini, udara bahkan terasa begitu sejuk.
Christabell berputar-putar, menebar pandangan, dia berharap menemukan seseorang yang bisa dia tanyai, dimana dia sekarang berada? Bell berjalan menyusuri aliran sungai kecil dimana tumbuh bunga lili berwarna-warni, begitu indah dan membuatnya sulit berpaling, namun dia ingat bahwa dia punya tujuan. Dia mencari seseorang, mungkin ada orang lain di sana yang bisa dia tanyai soal keberadaannya.
Langkahnya terhenti saat melihat seorang gadis cantik, mirip sekali dengannya, matanya biru, rambut coklat tanahnya berkibar-kibar terkena angina, sebagian menerpa wajahnya. Dia tersenyum begitu manis dengan bibir merahnya.
"Hei…" Bell menyapanya, gadis itu tersenyum.
"Who are you?" Tanya Bell dengan suara lembut, dia bahkan menyentuh pipi gadis itu, dan terasa begitu nyata.
"I'm your daughter."
Bell ternganga, seketika seperti ada yang menariknya dengan keras hingga dia terhenyak dengan tarikan nafas keras. Matanya terbuka, dan seorang perawat yang berada di dekatnya segera meminta bantuan tenaga medis lainnya.
Lima atau enam orang masuk ke ruangan itu dan segera melakukan tugasnya masing-masing, namun yang pasti, air mata Christabell berderai-derai saat menyadari perutnya sudah tak sebuncit terakhir kali saat dia sadar.
Ingatannya terseret pada kejadian terakhir, ketika dia tiba-tiba merasakan kesakitan luar biasa di perut bagian bawah, disusul dengan darah segar yang langsung membanjir.
Pikiran Bell tak karuhan, dia menyimpulkan bahwa apa yang dia rasakan tadi adalah kematian sesaat, dia bertemu dengan bayinya, apakah setelah semua perjuangan yang dia lakukan demi menyelamatkan bayinya, toh pada akhrinya bayinya tak selamat juga?
"Denyut nadinya melemah dok." Ujar salah seorang perawat.
"Oksigen." Dokter memberikan instruksi dan semua bekerja dengan cepat untuk menyelamatkan Bell. Tatapannya yang mulai kosong, dan kepasrahannya setelah menyimpulkan sendiri kemungkinan kondisinya.
Dokter memberikannya beberapa suntikan melalui selang infuse yang terhubung dengan pembuluh darah Christabell hingga situasi terselamatkan. Bell tak kembali ke dalam mimpinya itu lagi, meski dia ingin sekali melihat wajah gadis kecil di padang itu.
"Bayiku?" Bell berusara lirih menatap ke arah sang dokter yang merawatnya.
"Dia dalam keadaan yang stabil saat ini." Jawab sang dokter sembari mengusap lengan Bell, hingga akhirnya dia bisa menarik nafas lega.
"Tapi aku melihatnya." Imbuh Bell mendadak, seolah sebagian dirinya menyangkal jawaban sang dokter.
"Dia sedang berjuang, sama sepertimu. Berdoalah untuknya." Ujar sang dokter sebelum meninggalkan Bell. Wanita itu menutup matanya, dalam hatinya dia menyebutkan sebuah nama.
"Keep fight Adrianna."Bisiknya dalam hati, secara tidak langsung dia memberikan nama puteri mungilnya itu Adrianna.