Malam semakin larut, kepergian Brandon tampaknya tak memberikan dampak terlalu besar di dalam rumah ini. Richard tetap bekerja di ruangannya dan aku kembali ke dapur untuk melanjutkan pekerjaanku tentunya setelah mengganti pakaianku dengan yang baru, karena pakaian yang kukenakan tadi dirobek paksa oleh Brandon.
Aku membuatkan kopi untuk Richard dan membawakannya ke ruang kerjanya. Meski agak canggung tapi ini tugasku yang harus kuselesaikan hari ini.
Tok Tok
Aku membuka pintu itu lebih lebar, karena sebelumnya sudah terbuka sedikit. Richard tampak meletakkan kertas di tangannya dan berdiri menghampiriku.
"Hei . . ." Katanya mendekatiku kemudian mengambil cangkir kopi dari tanganku.
"Thanks." Katanya.
"Saya permisi." Kataku dan segera berbalik, tapi dia menarik tanganku.
"Kau baik-baik saja?" Tanyanya dan itu seperti mengoyak seluruh kesadaranku mengingat kejadian tadi. Aku berusaha tersenyum.
"Hanya sedikit trauma."
"Tidurlah di kamarku malam ini." Katanya.
"What . . .?" Aku mempertanyakan ajakannya itu.
"Aku hanya berpikir kau akan lebih nyaman jika ada orang lain yang menemanimu tidur. Jangan berpikir yang tidak-tidak."
"Maaf . . . Tapi aku akan tetap tidur di kamarku."
"Ok jika itu yang kau inginkan."
Aku keluar dari ruang kerjanya dan kembali ke kamarku untuk tidur. Malam akan menjadi sangat panjang bagiku, karena bayangan tentang wajah Brandon yang tampan namun bringas itu seolah menghuni seluruh alam kesadaranku.
Aku sudah mencuci muka dan mengganti pakaianku kemudian naik ke atas ranjang untuk tidur. Tapi benar saja, aku tidak bisa memejamkan mataku, karena setiap kali menutup mata, bayangan wajah Brandon akan semakin jelas terlihat.
"Oh . . ." Aku meremas wajahku. Apa yang terjadi padaku, di usiaku yang baru genap duapuluh tahun aku harus mengalami banyak hal buruk dalam hidupku termasuk hampir menjadi korban pemerkosaan oleh saudara tiri majikanku sendiri.
Entah mengapa juga aku mempertahankan semua ini jika sebenarnya aku mengharapkan hal itu terjadi padaku, hanya saja aku benar-benar ingin Richard yang melakukan itu untuk pertama kalinya.
Mendadak aku merasakan iblis dalam bentuk abstrak berbicara padaku.
"Dia sudah menawarkanmu kesempatan itu, lalu apa yang kau tunggu lagi?" Bisiknya.
"Jangan permalukan dirimu sendiri. Kau sudah cukup kotor dan rendah sejak kalian saling mengenal. Jangan menambah buruk citramu padanya." Bisikan lain muncul padaku.
Pergumulan itu terjadi beberapa menit sampai akhirnya si jahat yang menang dan aku berjalan keluar dari kamarku seolah ada yang mengendalikan pikiranku selain diriku sendiri. Aku berjalan dan dengan cepat membuka pintu ruang kerja Richard, membuat dia terkesiap menatapku tapi itu tidak menghentikan langkahku. Aku berjalan terus ke arah mejanya dan saat Richard memutar kursi kerjanya aku segera duduk di atas pangkuannya. Tubuhku tak lagi bisa kukendalikan dengan pikiranku. Aku menarik kemeja yang dia kenakan dan membuka kancingnya dengan cepat, entah mengapa Richard bergeming menatap semua itu, dia tidak bergerak barang sedikitpun. Dan setelah semua kancing kemejanya terbuka aku segera menyusupkan tanganku di belakang tengkuknya kemudian menciumnya dengan penuh hasrat.
Richard tak menolak, dia juga tak membalas ciumanku tapi aku tidak mempedulikan semua itu, yang kupedulikan hanya satu, aku bisa mendapatkan dirinya untukku sendiri, aku bisa memiliki Richard untukku malam ini dan merasakan dirinya ada di dalam diriku seperti yang kualami dalam mimpiku beberapa waktu lalu.
"Fuck me please." Desahku di telinganya.
"Hei . . . you drunk?" Tanyanya.
"No!" Gelengku cepat.
"Fuck me Rich . . ." Aku kembali menciumnya dan entah untuk alasan apa akhirnya Richar membalas ciumanku, dia bahkan menyusupkan tangannya dibalik gaun tidurku dan bermain-main dengan payudaraku yang tak cukup indah untuk ku banggakan.
Richard menurunkanku dari pangkuannya dan menyingkirkan semua kertas dari atas menjanya lalu menjatuhkanku terlentang diatas mejanya sementara kakiku masih bia menyentuh lantai. Dia menyibakkan gaunku dan meremas bokongku dengan kasar kemudian memukulnya.
"Oh . . .!!!" Aku tersentak dan Rich mengulangi memukul lagi, meski awalnya aku merasa pukulannya menyakitiku, tapi ternyata aku menikmati caranya menyakitiku.
Rich menurunkan celana dalamku dengan tangannya kemudian menyusuri kaki panjangku dengan telunjuknya hingga ke pangkal paha, membuatku melengkung mengeliat tak terarah saat Rich memainkan bagian klitorisku.
"Oh sial!!!" Gumamku dalam hati, aku benar-benar sudah gila kurasa. Richard tahu benar bagaimana memberikan kenikmatan pada wanita. Saat jarinya terus bermain di bawah sana, bibirnya menicumku sekilas kemudian turun dan memainkan ujung payudaraku dengan nakal.
"Oh . . . Rich . . .Now please . . ." Aku memohon padanya, tapi Richard bukan pria yang mudah berbelas kasihan rupanya.
"Please me . . ." Katanya.
"Please . . please . . . please." Kataku ditengah sensasi rasa nikmat tiada tara.
"Lebih manis." Katanya.
"Mr. Anthony, please give it to me." Kataku lagi dan Richard segera melepas kancing celananya dan mengeluarkan dirinya yang sudah sangat keras dan siap menghujam dan mencabik-cabikku. Entah tanpa hitungan dia menghujamkannya ke dalam diriku dan aku berteriak, kehilangan akalku lebih jauh lagi.
"Ah . . .!!!" Teriakku keras sambil meremas bokong Richard yang terjangkau olehku.
"Emphhh . . .Emphhh . . .. Emph . . . ." Richard terus menghujamku tanpa belas kasihan. Aku terus menggeliat dalam kenikmatan yang hanya aku yang tahu bagaimana rasanya dan tidak bisa kukatakan dengan jelas.
"Ehhhhh . . . Ehhhhh . . . " Richard melepaskan dirinya kemudian menjatuhkan dirinya ke kursi kerjanya.
Aku bangkit dengan ragu, apakah hanya seperti ini akhirnya. Antiklimask? Perlahan aku bangkit dan menatap ke arah Rich, rupanya ini bukan akhir dari kenikmatan, Rich memintaku naik ke atas pangkuannya, tepat dimana dirinya masih berdiri tegak menantangku.
Aku dengan ragu-ragu mendekat kemudian duduk di atas dirinya, merasakan secara perlahan dia masuk kedalam diriku lagi.
Rich meraih wajahku kemudian mengulum bibirku beberapa saat. "Move." Desisnya dan aku bingung bagaimana bergerak sesuai yang dia inginkan.
"Like this?" Aku menggoyangkan bokongku dan Rich tersenyum.
"Like this." Dia meraih pinggangku dan membuatku bergerak naik turun.
"Oh shit . . .!!! That's so good." Kataku ditengah nafasku yang kembali memburu karena bergerak sedemikian dinamis ternyata memberikan sensasi yang berbeda meski dengan kenikmatan yang sama.
"Ah . . . uhh . . . uuhhhh . . . emphhh . . ." Desisku penuh gairah.
"Richard . . . Rich . . . . Rich . . . emphhh . . . ."
"Oh . . ." Rich menurunkanku dari pangkuannya kemudian mendorongku ke atas mejanya dengan posisi tertelungkup, dia mengjujamku dari belakang dan aku merasakan kenikmatan lainnya. Meski tidak sederas dan seklimak yang tadi tapi aku tetap berusaha menikmatinya. Dan setelah beberapa kali gerakan Rich membantuku terbangun kemudian mengangkat tubuhku ke atas sofa dan membaringkanku. Kami bercinta dengan cara misionaris dan ternyata itu yang paling nikmat dari semua posisi tadi.
Beberapa lama Rich bertahan dengan memegang kendali, tapi kemudian dia menarik dirinya dan memintaku yang memegang kendali. Aku duduk di atas dirinya seperti seorang koboi wanita yang sedang menunggang kuda. Aku merasa diriku sangat sempurna. Payudaraku terekspose sempurna di hadapan Richard, aku bahkan sempat mengibaskan rambutku sambil terus bergerak maju mundur. Merasakan bergerak seperti menunggangn kuda dan saat aku menemukan diriku, entah di suatu sudut di dalam sana seolah terpantik dan memberikan kenikmatan luar biasa.
"Ah . . .ah. . . ah . . ."Aku menggeliat, melengkung kebelakang.
"Uh . . . uh . . . . I come . . . oh I'm coming."
"Ah . . . ." Aku roboh di atas tubuh Richard. "Sorry." Kataku lemas.
"Let me finish." Katanya dan membalik posisiku saat aku mengangguk. Dia menghujam diriku dengan kasar dan cepat, semakin cepat, semakin cepat hingga dia menemukan kenikmatan untuk dirinya sendiri.
"Ah . . . ." Dia menemukan pelepasannya dan aku merasakan ada yang berkedut di dalam diriku beberapa kali.
"Shit . . . ." Dia segera menarik dirinya dan panik. Kami baru sama-sama tersadar jika dia tidak mengenakan pengaman saat kami berhubungan karena kami memang tidak merencanakannya.
"Sorry . . ." Richard mendadak menjadi sangat paranoid dengan keteledorannya barusan.
"Hei . . . it's ok." Kataku menenangkannya.
"Aku tidak ingin kau hami."
"Aku tidak akan hamil hanya dengan sekali sentuhan." Kataku meyakinkannya dengan memegang wajahnya.
"Aku akan meminta dokter datang untuk menyelamatkan situasi ini."
"Richard . . .come on."
"Aku tidak siap menjadi ayah."
"Aku tidak akan menuntutmu atas konsekwensi apapun yang akan terjadi di kemudian hari."
Richard mengeeleng, dia menghembuskan nafasnya kasar.
"Tidak seharusnya aku kehilangan kendali."
"Richard Anthony, . . . semua akan baik-baik saja." Kataku berusaha meyakinkannya dan kami berakhir dengan berpelukan dalam keadaan telanjang dan entah mengapa tidak ada lagi kecanggungan diantara kami.
"Aku tidak akan melakukan hal bodoh itu lagi." Katanya dalam pelukanku.
"Jadi kau tidak akan menyentuhku lagi?" Aku betanya dengan tatapan nanar.
"Bukan itu maksudku."
"Jadi?"
"Aku tidak akan membiarkan diriku kehilangan kendali lagi lain kali." Katanya sambil menatapku dalam.
"Apa masih ada lain kali?" Bisikku malu.
"Tentu saja." Jawabnya yakin dan aku tersenyum.
"Be mine." Bisiknya sebelum mengecup bibirku dan aku mengangguk cepat dengan wajah memerah kegirangan. Bagaimana aku bisa menolak pria ini. Apalagi saat dia memintaku untuk menjadi miliknya. Tidak perlu seperti adegan-adegan dalam drama romantis yang membawa cincin untuk meminta seorang gadis menjadi miliknya, hanya dengan tatapan seperti itu saja aku sudah meleleh.
"Aku tidak akan meminta lebih." Entah mengapa aku tidak ingin ditinggalkan seperti wanita sebelumnya.
"Maksudnya?" Tanya Richard dengan tatapan penuh selidik.
"Em . . . kudengar kau pernah memutuskan hubungan dengan gadis lainnya karena dia menginginkan lebih darimu." Jujurku dan Rich tampak menarik nafas dalam.
"Entahlah." Katanya, bangkit dari tempatnya seraya memungut celananya dan mengenakannya. Aku juga bangkit dari tempatku berbaring dan memungut pakaianku lalu kembali ke kamarku. Entah mengapa aku ingin sekali mandi dan bergegas pergi tidur. Rasanya aku akan mimpi indah hari ini.
Aku baru selesai mandi dan seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku berjalan menuju pintu dengan ragu. Ini sudah sangat larut, mungkinkah itu Brandon???
Dengan langkah gemetar aku menarik handle pintu dan saat aku melihat siapa yang berdiri di ambang pintu, aku menghembuskan nafas lega.
"Oh . . ." Aku tersenyum pada pria itu. "Ada yang bisa kubantu?" Tanyaku.
"Tidur di kamarku." Karanya.
"Apa?" Aku terbelalak.
"Tidurlah di kamarku malam ini."
Alisku bertaut, tapi dia tidak membiarkanku berpikir terlalu lama. Dia menarikku dalam gendongannya dan membawaku berjalan menyusuri lorong menuju ke kamarnya.
"You know, Aku merasa seperti sedang menjadi salah satu pemeran dalam drama romansa."
"Anggap saja ini drama romansa." Richard membuka pintu kamarnya dengan mendorongkan punggungnya dan membawaku masuk kedalam, kemudian menjatuhkanku dengan lembut di ranjang super empuk itu.
"Kau wanita pertama yang berbaring di ranjang ini."
"Are you kidding me?"
"Nope." Gelengnya, dia duduk di tepi ranjang sambil menatapku.
"Maaf, tapi aku sangat penasaran dimana kalian bercinta jika begitu?" Tanyaku lugu, tapi aku benar-benar tidak bisa menahan untuk tidak bertanya.
"Tidak ada satupun wanita yang pernah tidur denganku dan kuijinkan masuk di rumah ini."
"Jadi?"
"Aku punya apartment yang kadang kutempati saat aku jenuh di rumah."
"Oh . . . jadi kau bermain-main dengan gadis-gadis muda itu di apartment."
"Wait . . . jangan sebut mereka gadis-gadis, karena aku tidak berhubungan dengan lebih dari satu perempuan dalam waktu yang sama."
"Kau penganut paham kesetiaan kalau begitu tuan muda."
"Kami adalah pasangan simbiosis mutualisme. Aku membutuhkan perempuan itu dan dia membutuhkan uangku."
"Kau membayar gadis-gadis itu untuk kesenangan?"
"Aku butuh menyalurkan hasratku."
"Jika kau sudah berhubungan dengan satu wanita begitu lama, apakah kau tidak pernah terlibat secara emosional dengan mereka?" Tanyaku dan aku melihat rahangnya mengeras.
"Aku tidak pernah ingin melibatkan diriku dalam hubungan."
Aku menarik nafas dalam. " Entahlah, aku takut terlibat secara emosional dengan seseorang hingga menjadi terlalu lemah."
"Apa kau pernah mengalaminya?" Tanyaku lirih.
Rahangnya tampak mengeras, kemudian menatapku dalam. "Leah . . . aku pernah mengenal gadis itu saat usiaku limabelas tahun. Kami les di tempat yang sama untuk bahasa Prancis."
"Leah?" Aku manggut-manggut mendengar nama itu.
Richard tersenyum sekilas. "Aku masih menyimpan fotonya." Dia mengambil sesuatu dari laci mejanya dan membukanya, ada sebuah dompet yang berisi foto kecil yang sudah mulai pudar. Gadis berkepang dua dengan lesung pipit di sebelah kiri.
"Bagaimana kalian berpisah?" Tanyaku penasaran.
"Kami bahkan tidak pernah berhubungan."
"Tapi kau . . ."
"Aku sangat menyukainya, . . .dulu . . ." Kata Richard seolah mengeja kata "dulu"
"Sekarang?"
"Aku sempat sangat frustasi mencari keberadaanya sampai aku kuliah, dan menyadari bahwa terlibat dengan seseorang secara emosional itu sangat menyakitkan, membuatku lemah dan mempengaruhiku terlalu besar."
"Oh . . . jadi itu alasanmu tidak ingin terlibat hubungan dengan seorang gadis?"
"Ya . . . kurang lebih. Dengan tidak terikat pada apapun dan siapapun aku merasa memiliki diriku sendiri seutuhnya. Tidak bergantung pada orang lain."
"Kau pernah mengalami kehilangan yang jauh lebih menyakitkan dari Leah?" Tanyaku.
Dia berdehem. "Hampir." Katanya dengan suara berat, tatapannya terkunci padaku.
"Kapan?"
"Saat mobilku menabrakmu."
Aku menelan ludah, seolah batu besar mendadak menyumpal tenggorokanku dan membuatku tidak bisa bernafas. Mataku berkaca-kaca menatapnya.
"Jadi . . . kau takut kehilanganku?"
Dia menarik nafas dalam, kemudian mengangguk di ujung tarikan nafasnya. "Berkali-kali." Katanya jujur. Aku tidak pernah menyangka pria seperti dirinya bisa mengakui kelemahannya di hadapanku.
"Aku tidak akan pergi kemanapun." Aku meraih tangannya dan dia memelukku.
"Berjanjilah padaku."