Pagi ini aku membantu Luciano untuk menghindari berpapasan atau bertemu dengan Richard hari ini. Karena biasanya aku membantu chef Delano untuk menyiapakan sarapan untuknya atau menyiapkan pakaian yang akan dia kenakan, tapi setelah mimpi bodoh yang kualami semalam, dan kebodohan lain yang terjadi secara nyata diantara kami, tentu aku tidak akan punnya nyali sebesar itu untuk bisa menatap mata coklatnya itu. Atau ditatap oleh sepasang mata itu secara langsung.
"Kau tidak berada di dapur pagi ini?" Tanya Luciano, usia kami mungkin hanya terpaut lima tahun, Luciano lebih tua dariku.
"Tidak, aku ingin beganti suasana. Lagipula aku menyukai bunga."
"Ok, tolong potong beberapa tangkai mawar untuk mengganti bunga-bunga di vas di dalam rumah."
"Ok." Aku mengambil gunting taman dan hampir terlonjak saat melihat Richard ada di kursi taman sedang mengamati kami berdua dengan secangkir kopi di atas meja dan juga dua potong sandwich di dalam piring kecil dan laptop menyala namun tidak disentuhnya.
Aku menelan ludah, tidak seharusnya aku memperhatikan dia dengan cara kampungan seperti itu. Harusnya aku mengacuhkannya agar tidak terlalu mencolok jika aku memperhatikannya, tapi sudah terlanjur tertangkap basah, bahkan mata kami saling bertaut sepertinya. Untung saja aku segera menemukan kesadaran dan mengalihkan pandanganku ke arah gunting taman dan memotong mawar-mawar itu denga hati-hati.
"Auww . . ." Konsentrasiku terpecah karena sebagian masih sibuk memikirkan keberadaan Richard di taman, sementara sebagian berusaha menyelesaikan tugas yang diberikan Luciano padaku.
"Hei . . ." Luciano segera melempar selangnya dan berlari ke arahku. "Kau baik-baik saja?" Tanya Luciano segera mengambil alih gunting dari tanganku dan melihat lukaku, entah mengapa dia sangat kuno karena menghisap darah yang keluar dari tanganku lalu meludahkannya. Dan aku merasa sangat kikuk karena itu semua terjadi di hadapan Richard, meski dia tampak tidak memperdulikannya.
"Terimakasih." Aku cepat-cepat menarik tanganku dan berjalan ke dapur dengan keranjang penuh bunga mawar. Entah mengapa sudah sesiang ini dan Richard masih berada di rumah, padahal biasanya dia pergi ke kantornya begitu pagi.
"Mrs, Nourah, dimana bisa kuletakan mawar ini?" Tanyaku was-was kalau-kalau pria itu muncul tiba-tiba di sekitarku.
"Oh, letakan beberapa tangkai di ruang tengah. Sisanya letakkan di kamar Mr. Richard, dia suka ada aroma bunga di kamarnya."
"Hah?" Aku terkejut.
"Apanya yang hah?"Mrs. Nourah mempertanyakan reaksiku, dia jelas tidak suka aku bertanya seperti itu.
"Em, tidak . . . ku pikir Mr. Richard tidak menyukai bunga." Jawabku sembari memasukkan beberapa batang dengna hati-hati kedalam vas di ruang makan. Dan menyisakan beberapa batang sisanya untuk dibawa ke kamar Mr. Rochard.
Karena sedikit ragu maka aku sengaja berhenti sejenak di ruang tengah, berpura-pura membersihkan perkakas di ruang tengah dan membiarkan keranjang bunga itu tergeletak di atas meja kecil. Yang jelas aku butuh waktu untuk menenangkan diri dan menepis semua bayangan tentang mimpi bodohku semalam. Juga kejadian dimana Richard memberiku harapan dengan menciumku tapi kemudian menjatuhkanku dan membuatku hancur berkeping-keping.
Tapi sampai kapan aku bisa menghindari tugas itu? Toh aku tetap harus meletakkan mawar itu di kamar Mr. Richard Anthony sebelum Mrs. Nourah menegurku karena melalaikan tugasku. Akhirnya aku memberanikan diri naik ke lantai dua dan berjalan mengendap-endap menuju kamarnya. Kurasa pria itu masih berada di taman belakang dengan segudang pekerjaannya atau justru sudah berangkat ke kantornya, yang jelas dia tidak akan berada di kamarnya. Dengan sembrono aku menarik gagang pintu dan segera menutupnya, namun sial memang, dia berdiri di depan lemari besar miliknya dengan dasi terjuntai dan belum terikat. Matanya menatapku dan mataku membeku ditatap dengan cara seperti itu.
"Apa kau tidak bisa mengetuk pintu sebelum masuk kamar orang lain?" Tanyanya ketus.
"Maaf. . .Sebaiknya aku keluar." Aku bergegas berbalik, oh betapa kacaunya diriku.
"Sebelum keluar, letakkan mawar itu di vas bunga."
"Baik." Aku kembali masuk ke dalam ruangan dan menyisir seluruh ruangan dengan pandanganku, tapi tidak menemukan vas bunga yang dia maksud.
"Dimana Vasnya?" Gumamku lirih.
"Sebelah kirimu." Katanya dan aku segera menyadari sebuah vas bunga di sudut kiri ruangan dekat dengan kursi baca.
"Oh . . ." Aku bergegas menarik beberapa tangkai dan memasukkannya, naas sekali lagi aku tertusuk duri mawar itu.
"Auw . . ." Aku segera memegangi jariku dan setangkai mawar jatuh dari tanganku. Richard segera berjalan cepat ke arahku dan meraih tanganku, kali ini tangan kananku yang terluka. Dia menarik saputangan dari saku celananya lalu mengelap darah yang keluar dari jariku.
"Aku akan mengambil kotak obat."
"Tidak perlu, ini hanya luka kecil."
"Kenapa kau tidak membiarkan aku melakukannya untukmu, tapi kau membiarkan tukang kebun itu bahkan menyembuhkan lukamu dengan bibirnya."
"Anda memperhatikan kejadian tadi?"
"Kalian sengaja melakukannya di hadapanku bukan?"
"Sengaja? Tentu saja tidak." Sangkalku.
"Jika tidak maka diamlah di situ, akan kuambilkan obat."
"Ini bukan luka besar, aku akan segera kembali ke dapur. Mrs. Nourah membutuhkan bantuanku."
"Jika aku minta kau diam maka kau akan diam di tempatmu!" Katanya dengan suara meninggi. Aku tidak tahu bahwa dia bisa uring-uringan seperti ini menghadapiku. Apa yang terjadi pada pria ini sebenarnya? Apa melihatku bersama Luciano membuatnya marah seperti ini? Jika iya, apakah dia sedang cemburu padaku atau aku yang terlalu percaya diri?
"Ijinkan aku mengikat dasi untuk anda, dan setelah itu aku akan pergi. Aku tidak terluka parah, ini hanya luka kecil, aku masih bisa melakukan pekerjaanku." Ujarku, berusaha menenangkannya, dan dia menghentikan langkahnya. Aku menyelesaikan pekerjaanku meletakan tangkai mawar yang tersisa kedalam vas dengan hati-hati, setelah itu mengambil dasi yang sempat dia jatuhkan saat berusaha menolongku. Kukalungkan juntaian dasi itu di belakang kerah kemejanya kemudian kuikat rapi. Setelah itu kurapikan kerah kemejanya.
"Anda sudah siap sekarang."
"Aku belum memilih blazer yang akan kugunakan."
"Anda ingin warna apa?" Tanyaku, meski sejujurnya dia tidak memiliki pilihan warna yang terlalu banyak dalam koleksinya.
"Terserah kau saja."
"Ok." Tidak biasanya dia memberikan kesempatan pada orang lain untuk mengatur hidupnya, termasuk pilihan pakaian. Tapi kali ini dia benar-benar terlihat sangat berbeda. Beberapa saat yang lalu dia terlihat tenang dan berwibawa seperti seekor singa yang membiarkan rusa berlarian di sekitarnya, sementara dia hanya mengawasi dari kejauhan tanpa mengaum. Dan beberapa menit lalu dia memarahiku seolah dia benar-benar memiliki diriku, dan sedan cemburu pada Luciano, lalu sekarang, dia benar-benar terlihat seperti seekor kucing rumahan yang sangat manis di hadapanku.
Aku memilih blazer berwarna hitam senada dengan celana yang dia kenakan dan dia menerimanya tanpa protes.
"Baiklah, aku akan keluar." Aku bergegas keluar dari kamar itu dan dia tidak mengatakan apapun bahkan sampai pintu tertutup dan aku benar-benar meninggalkannya.
Aku baru saja turun tangga saat melihat seorang pria tampak berpelukan dengan Mrs. Nourah.
"Anda terlihat sangat sehat." Kata Mrs. Nourah dengan berkaca-kaca, dan entah mengapa tatapan pria itu beralih padaku.
"Dia siapa?" Pria itu menatapku.
"Oh . . . itu Mss. Christabell."
"Oh . . ." Dia mengangguk padaku dan aku membalas anggukannya. Aku bergegas ke dapur, karena kupikir bukan urusanku untuk tahu siapa pria itu dan sedang apa dia ada di rumah ini.
Saat aku sampai di dapur, semua sedang sibuk menyiapkan makan.
"Bisakah kubantu?" Tanyaku.
"Ya . . . pangeran kedua datang, biasa Mr. Richard akan menyambutnya dengan makanan-makan terbaik."
"Pangeran kedua?"
"Ya . . . Adik Mr. Richard."
"Oh. . ." Aku segera mengambil baskom besar berisi sayuran dan mencucinya sambil mendengarkan percakapan yang terjadi di dapur. Sepertinya mereka begitu mengenal pria yang kutemui tadi. Dan yang dikesankan dari percakapan mereka, hubungan antara Richman dengan saudara angkatnya itu sangat baik. Bahkan semua orang juga langung menyambut kedatangannya dengan euforia masing-masing.
Dan yang paling dalam secara perasaan menyambut kedatangan pria itu kurasa Mrs. Nourah. Karena dia bahkan berkaca-kaca saat memeluk pria itu.