Chereads / THE RICHMAN / Chapter 8 - The Richman - After Twelve Days

Chapter 8 - The Richman - After Twelve Days

Dua belas hari yang sangat menyiksa bagiku, terus berbaring di ranjang rumahsakit, dan baru bisa dipindahkan ke kursi roda untuk melihat dunia luar di hari ketigabelas. Dan setelah hampir sebulan, akhirnya aku bisa berjalan kembali meski masih belum bisa terlalu lelah dan paru-paruku membaik pasca operasi setelah tertusuk patahan tulang rusukku.

Sekarang aku terlihat seperti orang sehat yang perlu banyak istirahat untuk lebih sehat lagi. Seorang wanita bernama Mrs. Nourah merawatku selama sebulan terakhir dan Richard hanya datang seskali jika dia punya waktu. Aku mulai terbiasa dengan ketidak hadirannya sejak di hari ke lima, karena kondisiku semakin membaik. Kurasa dia bukan pria yang punya banyak waktu dan dia juga bukan pria yang bisa menjanjikan banyak hal pada wanita yang dikencaninya. Bagaimana tidak, jika dia saja tidak punya cukup waktu untuk dirinya sendiri, bagaimana dia punya cukup waktu untuk memikirkan orang lain.

"Anda bisa pulang hari ini." Kata Mrs. Nourah, yang sampai tepat sebulan masih menyebutku dengan sebutan "anda"

"Mengapa anda justru tidak terlihat bahagia."

"Oh . . . aku tentu saja sangat bahagia." Bohongku. Bagaimana aku bisa bahagia sementara aku tidak tahu akan tinggal dimana setelah ini. Selama sebulan di rumah sakit, tempat tinggal dan makanan aku tidak perlu memikirkannya, dan sekarang, jika aku sudah dinyatakan pulih dan harus keluar dari rumah sakit, bagaiman aku harus melewati hari-hariku, dan akan tinggal dimana aku.

"Mrs. Nourah, silahkan pergi duluan. Aku akan pergi setelah jam dua." Kataku. Kupikir jika wanita ini pergi sebelum diriku, dia tidak akan melihat betapa mengerikannya diriku yang tidak punya tujuan pulang.

"Tidak nona, Mr. Anthony meminta kita menunggunya. Beliau masih ada meeting sampai pukul tiga, dan akan menjemput kita."

"Mr. Anthony?" Alisku bertaut.

"Ya . . . kita akan kembali ke rumah."

"Rumah?" Kata yang begitu asing bagiku, karena seumur hidupku hingga usiaku genap 20 tahun, aku tiak pernah merasakan tempat tinggal yang disebut rumah. Yang kutahu adalah panti asuhan, dan tentu saja rumah bordil, yang sama sekali tidak layak disebut sebagai rumah.

***

Waktu lebih dari dua jam terlewatkan begitu saja saat Mrs. Nourah bersedia untuk menceritakan keluarganya. Bagaimana dia bisa bekerja untuk Mr. Richard Anthony hingga usianya mendekati limapuluh lima tahun. Bagaimana dia berpisah dengan suaminya dan memilih untuk menjadi pembantu rumahtangga hingga usianya lebih dari setengah abad.

"Mengapa anda berpisah dengan suami anda?"

"Suamiku berasal dari keluarga Inggris yang masih sangat kolot, mereka mengharuskan setiap anaknya memiliki keturunan, sedangkan aku tidak bisa mengandung."

"Jadi suami anda meninggalkan anda?"

"Tidak, kami memutuskan untuk berpisah."

"Bercerai?"

"Ya . . ."

"Apa tidak ada solusi lain selain perceraian?"

"Aku ingin mengankat anak, tapi ibu mertuaku tidak menginginkannya. Dia memilih untuk menikahkan suamiku dengan wanita muda lainnya, yang jauh lebih muda dan jauh lebih subur dariku."

"Maafkan aku Mrs. Nourah."

"Tidak masalah nona, lagipula itu sudah terjadi puluhan tahun silam. Sudah tidak terasa sebagai luka lagi sekarang."

Hatiku menjadi kecut, disaat ada orang yang sangat menginginkan anak dan bahkan harus merelakan pernikahannya hancur karena tidak memiliki keturunan, aku dibuang ke panti asuhan karena tidak diinginkan.

"Kenapa anda terlihat sangat sedih nona?"

"Eh . . . tidak."Aku bergidik. "Hanya merasa seharusnya aku tidak bertanya tentang rumahtanggamu."

"Aku mengasuh Mr. Richard saat sejak usianya masih sembilan tahun, dan aku sudah bersama dengannya lebih dari duapuluh lima tahun. Aku sudah menganggapnya seperti puteraku sendiri."

"Benarkah, dia masih sangat kecil saat anda bertemu dengannya?"

"Ya, Mr dan Mrs. Anthony adalah orang yang sangat baik. Mereka sangat kaya tapi tidak pernah memperlakukanku berbeda."

"Dimana mereka sekarang?"

"Mereka memilih tinggal di Kanada setelah Mr. Richard tumbuh dewasa dan bisa mengelola bisnisnya sendiri."

"Apakah Mr. Richard tidak memiliki saudara?"

"Tidak, dia putera tunggal kerluarga Anthony."

"Oh . . ."

"Ada seorang anak angkat dari keluarga itu, Mr. Brandon Anthony, tapi beliau sekarang bekerja di US Army."

"Mengapa dia memilih menjadi tentara, sementara bisnis keluarga Anthony besar."

"Mr. Brandon jauh lebih kuat dan sehat dibandingkan Mr. Richard, dan dia tidak tertarik untuk berbisnis."

"Jadi maksud anda Mr. Richard Anthony memiliki penyakit tertentu?" Tanyaku penuh selidik.

Mrs. Nourah menggeleng dan tersenyum. "Sejak kecil Mr. Richard adalah anak yang cerdas, dia tidak terlalu suka berkelahi, berbeda dengan Mr. Brandon. Dan ternyata sampai mereka dewasa, mereka tampak berbeda sekali. Mr. Richard lebih suka berbisnis, sedangkan Mr. Brandon, lebih tertarik menjadi Army."

"Oh . . . Jika Mrs. Dan Mr. Anthony sudah memiliki putera, mengapa mereka tetap mengadopsi putera lainnya?"

"Mr. Brandon adalah anak teman Mr. Anthony yang meninggal dalam sebuah kecelakaan mobil. Dan karena usia anak mereka seumuran maka Mr. Anthony dan Mrs. Anthony merasa perlu mengangkat Mr. Brandon menjadi keluarga mereka."

"Keluarga yang sangat manis." Gumamku. Andai mereka menemukanku saat itu, kurasa mereka akan iba dan mengangkatku menjadi anak juga. Aku tersenyum untuk diriku sendiri. Tapi jikapun tidak, sekarang putera mereka mengangkatku menjadi pembantu di rumah mereka untuk mengganti semua yang sudah dia keluarkan demi diriku, meskipun istilah lainnya adalah budak yang sudah dibeli, tapi setidaknya aku punya tujuan pulang. Dan Mrs. Nourah, sudah lebih dari duapuluh lima tahun dan dia masih betah ikut dengan keluarga itu apalagi alasannya jika bukan kenyamanan.

Meskipun dibeli sebagai budak, aku masih jauh lebih beruntung daripada jika aku harus berada di RITZ dan menjajakan diri setiap malam.

Kami sedang asik mengobrol saat tiba-tiba Richard datang dengan satu tangan tersembunyi di balik tubuhnya.

"Hei." Sapanya dan mendadak Mrs. Nourah pamit dari hadapan kami.

"Aku akan menunggu di luar." Katanya.

"Hai . . ." Aku membalas sapaannya.

"Maaf untuk kekacauan yang kutimbulkan di malam ulangtahunmu." Dia mengeluarkan buket bunga mawar dan sebuah kotak coklat dan menyodorkannya padaku. Jika saat itu aku adalah sebuah ice cream vanila dalam kemasan corn, tentu aku sudah meleleh dibuatnya.

"Aku tidak tahu apa yang kau sukai, jadi aku bertanya pada penjual bunga kado apa yang cocok untuk seorang gadis duapuluh tahun. Dia mengatakan coklat dan bunga."

Aku tersenyum. "Ini lebih dari cukup."

"Jika kau sudah menerimanya, sekarang katakan apa yang kau inginkan?" Dia bertanya padaku dan entah mengapa aku tidak bisa berkata-kata, wajahku memanas dan tenggorokanku kering, bibirku bergetar karena emosi dari dalam diriku yang tidak bisa kukendalikan.

"Dengan anda memberiku tempat tinggal dan menjadikanku budak, itu sudah lebih cukup bagiku . . ." Di ujung kalimatku, aku tidak lagi bisa menahan diri untuk tidak meneteskan air mataku.

"Hei . . . Siapa yang mengatakan bahwa kau akan jadi budak dirumahku?" Tanyanya sambil merengkuhku dalam pelukannya. Aku semakin tidak bisa berkata-kata, dan sampai beberapa saat aku masih belum bisa mengendalikan diriku. Mungkin ini adalah bagian dari gadis duapuluh tahun yang tidak bisa dipisahkan adalah soal "cengeng" yang sering datang dan tidak bisa dikendalikan.