-Christabell POV-
Pagi ini aku sedang berjalan-jalan di kebun untuk memetik bunga dan diletakkan di kamar Richard. Hari ini dia akan kembali dari Boston setelah perjalanan selama tujuh hari untuk kepentingan bisnisnya.
Ini akan jadi kejutan manis, pikirku. Tujuh hari terasa begitu lama bagiku apalagi setelah malam-malam kulewatkan bersama dengannya, tidur dipelukannya.
***
-Anthony Richard POV-
Aku berada di Boston selama dua hari, setelah itu aku ke LA untuk bertemu orangtuaku. Memang ayahku sudah meninggal dunia beberapa tahun lalu, tapi aku memiliki ibu tiri yang sudah kuanggap seperti ibu kandungku sendiri. Eleonora Anthony, nama Anthony di belakangnya dia miliki setelah menikah dengan ayahku, dua tahun setelah ibu kandungku meninggal dunia karena sakit yang di deritanya.
Sejak resmi menjadi ibuku, kami memang di perlakukan adil olehnya. Meskipun aku lahir dari rahim wanita lain tapi dia tetap menyayangiku seperti dia menyayangi putera kandungnya, Brandon. Brandon Anthony juga mendapatkan hak yang sama dan kasih sayang yang sama dari ayahku.
Sejak kecil kami tumbuh dalam keadaan berkecukupan, ayahku adalah pebisnis yang sukses. Dia juga investor yang tangguh hingga saat tumbuh remaja kami sudah dilibatkan dalam berbagai bisnis keluarga. Aku memutuskan untuk memulai bisnisku sendiri di usia sembilan belas tahun, dibantu oleh ayahku dan saat usiaku genap duapuluh satu tahun dia melepaskanku sendiri. Jatuh bangun mempertahankan dan rebound hingga berhasil mengembangkan berbagai bisnis.
Sedikit berbeda denganku, Brandon lebih suka musik. Dia menekuni dunia musik itu dan hidup berfoya-foya dengan harta keluarga. Hingga di usianya yang sekarang dia masih senang bermain-main dengan dunianya yang penuh gemerlap dan berisi kesenangan sepenuhnya.
Kemarin aku mengunjungi ibuku di LA, mengkhususkan diri untuk membicarakan sesuatu dengannya. Awalnya aku ragu apakah aku benar-benar bisa hidup seperti cara ayahku hidup. Memilih satu wanita dan mencintainya seumur hidup. Bahkan sampai detik terakhir hidupnya, dia mengatakan padaku bahwa dia mencintai ibuku, satu-satunya wanita yang pernah dia cintai. Pernikahannya dengan Eleonora hanyalah untuk memberikan status pada wanita itu, juga untuk memastikan aku memiliki seseorang untuk mengurusku saat dia sudah tidak ada.
"Berhenti berpetualang, kau harus memiliki seseorang untuk kau cintai. Aku benar-benar berharap kau bisa hidup seperti aku dan mendiang ibumu. Sampai detik ini aku hanya mencintainya." Tuturnya dengan nafas tersengal di rumahsakit, kala itu. Ayahku menderita kanker paru-paru stadium empat saat terdeteksi, sangat sulit untuknya bertahan.
"Aku menikahi Eleonora karena dia berjanji untuk mencintaimu dan Brandon dengan adil. Bagiku selain kau dan mendiang ibumu, tidak ada lagi yang penting. Eleonora akan mendapatkan imbalan yang setimpal untuk apa yang dia lakukan semasa hidupnya, merawatku dan merawatmu."
Kalimat terakhir itu membuatku terkesiap, aku yang sempat mengutuk ayahku karena menikahi wanita lain selain ibu menjadi tersadar, bahwa dia benar-benar mencintai ibuku saja, pengakuan yang kudengar dari bibirnya di penghujung kehidupannya membuatku terpukul kala itu. Entah mengapa saat melihat Christabell pertama kali, malam itu, aku mengingat pesan terakhir ayahku. Apakah dia akan jadi wanita yang kucintai satu-satunya?
***
Malam setelah kedatanganku ke LA, pasca kunjungan bisnis ke Boston. Sengaja mengajaknya makan di restoran termahal, dia sangat sengang dengan hal-hal mewah dan elegan.
"Aku terharu kau masih mengingatku." Ujarnya di pembukaan pembicaraan kami.
Aku membawakannya tas mahal dari LV dengan harga ribuan dollar, berharap dia bisa menerima apa yang akan kukatakan tanpa membantah sedikitpun. Sebenarnya ini kehidupanku, ini juga adalah tanggungjawabku sendiri, tapi ayahku pernah berpesan. Bagaimanapun juga Eleonora adalah wanita yang membesarkanmu meskipun dia tidak menyusuimu, jaga dia saat aku sudah tidak ada lagi di dunia ini. Perlakukan dia seperti ibumu, dan itu yang kulakukan malam ini. Meminta ijinnya meskipun dia bukan ibu kandungku.
"Aku menyukainya." Ujarku.
"Berapa usianya?" Tanyanya tak acuh. Kami memang tidak pernah bicara dengan hangat seperti orang tua dan anak, tapi aku tetap menghormatinya.
Aku mengambil jeda beberapa saat sembari mengukur eksresinya. "Dua puluh tahun, mungkin..."
Dia meletakkan alat makannya. "Apa kau menderita pedofilia Rich?"
"Dia bukan anak-anak lagi." Sangkalku. "Sebenarnya aku tidak butuh persetujuan siapapun, karena aku menganggapmu ibuku maka aku datang kemari untuk meminta ijinmu."
Ibuku menarik bibirnya dalam satu garis. "Aku tidak ingin kau dan Brandon berkelahi hanya karena wanita itu."
"Jadi ini soal Brandon?"
"Aku mendengar semua yang terjadi antara kau dan puteraku."
Aku bersikukuh menjelaskan semuanya. "Kalian dibesarkan bersama, aku tidak ingin kalian berkelahi karena wanita yang entah dari mana datangnya."
Alisku berkerut, kupikir Brandon tidka akan mengadu pada ibu, tapi ternyata dia melakukannya lebih cepat dari yang kubayangkan.
"Richard . . . look at me." Tangannya yang mulai keriput itu meraih tanganku dan matanya yang biru menatapku.
"Kau puteraku, dan aku sudah menganggapmu seperti putera kandungku sendiri. Kau punya banyak potensi untuk mendapatkan gadis manapun yang kau inginkan. Lihatlah Brandon, dia tidak pernah seperit ini sebelumnya, bisakah kau berbagi dengannya kali ini saja."
"Tidak ada lagi yang perlu kita bahas. Semoga kau selalu sehat." Ujarku sebelum meninggalkannya. Dia bergeming bahkan hingga aku beranjak dari tempat itu.
***
-Anthony Richard-
"Jam berapa kita akan tiba?"
"Karena cuaca sedikit buruk, kita akan terlambat sekitar dua puluh menit Sir." Jawab pilot saat aku masuk kedalam pesawat.
"Ok."
Penerbangan menjadi begitu lama terasa bagiku. Aku mengabari Bell bahwa aku akan sampai di rumah hari ini dan Bell memberikan gambar hati padaku. Persetan dengan sebutan kekanakan yang mungkin akan dikatakan orang, tapi aku menikmati melakukan apapun dengan gadis itu bahkan meskipun itu adalah sebuah kekonyolan yang kekanakan.
Penerbangan ditempuh dengan lambat hingga baru pukul delapan malam aku sampai di rumah. Saat itu pintu rumah dibuka oleh Mrs. Nourah.
"Dimana Christabell?" Tanyaku dengan ekspresi datar, karena tidak ada orang yang tahu bahwa kami menjalin hubungan. Kami bahkan sama seperti anak yang tinggal di asrama yang harus diam-diam menyelinap di kamar masing-masing. Dan entah mengapa beberapa hari terakhir sebelum kunjunganku ke Boston, aku lebih nyaman tidur di kamar sempit milik Bell daripada di kamar super mewah dan besar milikku. Kamar Bell lebih kecil namun terkesn hangat, dan entahlah mungkin itu karena dia selalu bergelayut manja dalam pelukanku, dan aku sangat bahagia setiap kali menatap matanya yang berbinar saat kami selesai bercinta.
"I love you." Itu yang selalu dia katakan, meski itu kalimat pendek yang paling sulit ku eja di hadapannya. Meski begitu, aku bukan hanya mencintainya tapi juga gila karena mencintainya. Aku menggilainya.
Dia seperti segelas wine mahal yang harus selalu kuteguk setiap malam agar aku bisa tidur nyenyak. Dan meski ini gila, tapi aku benar-benar kembali mengalami insomnia selama tujuh hari terakhir karena tidak memeluknya di sisiku.
Oh sudah terlalu melantur, Mrs. Nourah menatapku dengan wajah pucat.
"Dia pergi . . ." Katanya gemetaran.
"Pergi"? Alisku bertaut. "Kapan?" Entah mengapa mendadak aku kehilangan akal sehatku, aku tidak bisa memikirkan apapun, aku bahkan kesulitan mendefinisikan kata "pergi"
"Tiga hari yang lalu."
"Dan kau membiarkannya?!" Bentakku.
"Dia tidak mau mendengarku." Jelas Mrs. Nourah.
"Dia mengatakan kemana dia pergi?"
"Tidak."
"Shit!" Umpatku kesal, aku segera menghubungi ponselnya dan ternyata sudah tidak aktif. Aku menghubungi Mss. Parrish dan dia mengatakan bahwa Bell tidak kembali ke sana. Aku juga menanyakannya pada pemilik panti asuhan, Bell tidak berada di sana juga.
"Kemana kau Bell?!" Aku meremas wajahku. Aku berpikir bahwa hari ini akan berjalan baik, dan akan kututup dengan ciuman bibirnya yang penuh juga buah dada ranumnya yang selalu menantangku.
"Jika Christabell pergi dari rumah ini tiga hari yang lalu mengapa tidak ada seorangpun yang mengatakannya padaku?!" Bentakku, dan ketujuh orang yang berada di hadapanku tidak bisa memberikan jawaban.
"Mr. Rich . . . aku pikir Christabell hanya seorang pelayan. Jadi kepergiannya tidak perlu menjadikan anda cemas seperti ini. Kita bisa mencari pelayan lain." Ujar Mrs. Nourah.
"Tidak ada orang yang boleh pergi dari sini sebelum ada yang mengatakan dengan jujur kapan terakhir kali melihat Christabell di rumah ini." Kataku dan semua terdiam. Aku tidak percaya Bell pergi begitu saja dari rumah ini tanpa memberiku kabar. Sial!
Jangan ada yang keluar dari ruangan ini sampai aku kembali. Aku segera ke ruanganku untuk mengakses semua cctv. Aku memutar rekaman yang ada di rumah ini dan terakhir kali cctv menyala adalah empat hari yang lalu.
Ini benar-benar buruk, ini pasti rekayasa dan ada salah satu dari mereka yang bekerjasama melenyapkan gadis itu. Aku membuka laci tempatku menyimpan senjata apiku dan senjata api itupun lenyap.
"Shit!" Umpatku.
Siapa yang datang ke rumah ini sebelum empat hari dan tidak ada orang yang tahu? Bagaimana mungkin semua orang begitu lemah termasuk security di rumah ini, mengapa semua diam seolah mereka menyembunyikan gadis itu. Apa mereka bekerjasama untuk melenyapkan Bell?
Sial, pikiranku bergulir liar tanpa bisa kukendalikan. Aku bergegas kembali ke ruang tengah dan menemukan Mrs. Nourah tidak ada di barisan orang-orangku.
"Kemana Mrs. Nourah?"
"Dia pergi." Kata Luciano, sementara yang lain memilih diam.
"Ikut aku." Pria muda ini satu-satunya orang yang mungkin akan berkata jujur. Dia orang yang berada di banyak ruangan, dia bahkan bisa berada di kebun, jadi mungkin dia melihat Bell di suatu tempat.
"Kapan terakhir kali kau melihat Bell?" Tanyaku dengan suara rendah dan intimidatif.
Dia tertunduk. "Maaf tuan."
"Aku tidak butuh maaf, aku hanya bertanya kapan terakhir kali kau melihat Bell?"
"Kemarin."
Rahangku mengeras, ini jelas sekali sebuah kejanggalan.
"Lalu mengapa kau tidak mengatakna apapun saat Mrs. Nourah mengatakan Bell terakhir kali terlihat tiga hari yang lalu?!" Bentakku.
"Dia mengancam akan melukai nenekku tuan. Aku hanya punya nenekku di dunia ini, aku tidak ingin wanita kejam itu melukainya."
Alisku bertaut dalam. "Wanita kejam?"
"Ya . . ." Dia tertunduk menyembunyikan wajahnya dariku.
"Apa yang kau lihat?"
"Dia menyumpal mulut Bell dan mengikat kedua tangannya."
"Dimana?!"
"Di gudang belakang kemarin tuan, saat aku datang untuk menolongnya, Mrs. Nourah mengancam untuk melukai nenekku. Jadi aku tidak bisa berbuat apapun, sampai sebuah mobil datang dan membawa Christabell."
"Dammed!!!" Aku memukul meja, ini membuatku frustasi.
"Keluar!" Bentakku.
"Tolong lindungi nenekku tuan, aku benar-benar takut dengan ancaman wanita itu."
"Keluar sekarang juga!!!" Bentakku lagi, persetan dengan orang lain, aku hanya takut jika sesuatu terjadi para Christabell. Lagipula wanita tua itu, siapa dia sebenarnya?! Aku sudah menganggapnya seperti ibuku sendiri, tapi mengapa dia tega menghianatiku!