Aku terbangun karna mimpi burukku. Mimpi yang terus datang dengan mimpi yang sama. Saat ini, aku sedang duduk di sofa. Menenangkan diriku dari mimpi burukku. Aku menatap jam dinding. Menunjukkan pukul 03.00 pagi.
Jika aku sudah bangun, aku tidak bisa tidur lagi. Aku berjalan menuju dapur. Mengambil gelas dan menuangkan air ke dalam gelas dan meminumnya sampai habis. Lalu, aku berjalan ke balkon apertemen yang berada dekat dengan ruang tamu. Aku merasakan hembusan angin pagi yang dingin. Kueratkan pelindung tubuhku dari hawa dingin dan memejamkan mataku sejenak.
Saat itu, terlintas dalam pikiranku. Bagaimana mimpi itu terus melekat pada diriku?
Aku bersandar di pagar balkon menatap isi ruang apertemenku. Bayangan bagaimana dia datang mendekapku dan menarikku paksa ke kamarku dan memerkosaku. Bahkan, kamar yang selalu aku dambakan menjadi tempat yang paling aku benci. Bukan cuma kamar saja, melainkan seluruh isi ruang apertemen ini, aku benci. Tempat ini membuat aku terus teringat kejadian itu.
Aku menangis bila mengingat itu semua. Parahnya, hanya ini yang dapat aku lakukan. Menangis dan berharap pada polisi bernama Tito. Segera menemukan pelaku pemerkosaku.
Aku ingin pergi dari tempat ini. Namun, aku tidak bisa. Aku tidak tahu harus ke mana. Jika aku kembali ke rumah orang tuaku, itu semakin membuatku hancur. Jadi, aku hanya bisa bertahan di sini sampai pelaku ditemukan. Jika aku ingin menjual tempat ini, membutuhkan waktu yang lama dan juga harganya pasti murah. Aku tidak mau rugi. Meskipun itu, menyakitiku.
Sejak kejadian itu, aku hanya menghabiskan waktuku dalam diam menyendiri dan menghindar dari orang, terutama kaum laki-laki. Sebab saat bertemu dengan mereka, aku terus membayangkan kejadian itu. Aku selalu mengingat pemerkosa itu. Bahkan, setiap kata yang dia ucapkan oleh pemerkosa itu terus terbayang dalam benakku. Ucapannya mengingatkanku bagaimana dia memperkosaku. Dan itu, tidak bisa aku ceritakan secara detail pada polisi Tito. Hanya aku seorang yang tahu.
Bagaimana dia menarikku dan mengikat tanganku di atas kepalaku. Dia yang menarik celanaku dengan mudah dan melepas bajuku. Aku berteriak, tapi dengan cepat dia menutup mulutku. Aku menangis. Berharap dia iba kepadaku. Itu adalah harapan terbodohku.
Bagaimana mungkin seorang pemerkosa akan iba kepadaku? Dia tidak iba. Dia justru tersenyum senang. Melihat tubuhku yang telanjang dan menatapku dengan lapar. Aku jijik melihatnya. Aku ingin dia cepat mati dari bumi ini. Namun, itu tidak terjadi. Dia mendekat ke arahku dan membuatku ketakutan. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku.
Dia berbisik di telingaku, "Aku ingin kamu mengingat malam kita dan tidak akan kamu lupakan seumur hidupmu," katanya mencium keningku.
Perkataannya tersebut membuat aku semakin takut dan mencoba melepaskan diri saat dia membuka semua pakaiannya.
"Kamu tidak bisa melepas ikatan itu sayang. Aku telah mengikatnya kuat," katanya tertawa senang.
Kini kulihat dia tidak memakai sehelai benang pun. Aku segera menoleh ke samping. Aku tidak sudi melihat tubuh telanjangnya. Aku jijik melihat itu. Meskipun begitu, aku tidak bisa menghindar saat dia naik ke kasurku. Berbaring di sampingku. Mengelus pipiku dan menghapus air mataku.
"Aku tidak suka melihatmu menangis. Tapi, itu hanya sesaat, aku akan membawamu menuju kebahagiaan," katanya dan mulai menciumku.
Dimulai dari kedua mataku, pipiku, dan bibirku meskipun dihalangi oleh solasiban. Dia turun ke leherku. Dia membuatku merasa terhina dari setiap sentuhan yang kurasakan. Dia monster. Dia mengigit dan menghisap kulit leherku seperti vampir. Dia sangat kejam. Dia menyentuh dadaku. Dia memainkannya seperti bola mainan. Aku menangis keras agar dia berhenti melakukan itu. Namun, dia justru tertawa senang dapat melakukan itu. Tanpa peduli mendengar isak tangisku yang semakin membesar.
Dia justru bersikap seolah mengerti perasaanku. Tapi, aku tahu dia hanya berpura-pura agar aku tidak takut kepadanya. Bahkan, apa pun yang kulakukan agar dia tidak melakukan itu. Seperti menggelengkan kepalaku sekeras apa pun sebagai isyarat, "Jangan lakukan itu!".
Akan tetapi, dia tidak menghiraukan itu. Dia tetap melanjutkan aksinya. Mencium, menghisap payudaraku secara rakus. Tanpa peduli rasa sakit yang kurasakan karna perlakukaannya. Aku sangat tersiksa secara batin dan fisik. Dia tidak punya hati. Dia monster yang masih menginginkan tubuhku. Dia melakukan aksinya dengan kejam. Dia turun ke perutku. Dia menjilati perutku seperti makanan. Jilatan itu membuat diriku kembali semakin jijik pada diriku sendiri. Namun, hal yang membuat aku semakin kotor ketika aku merasakan tangannya berada di daerah ke wanitaanku. Dia ingin memasukkan jarinya. Aku segera menahannya dengan merapatkan pahaku dengan kuat. Tapi, dengan tenaga yang dia miliki. Dia berhasil memasukkan jarinya ke daerah kewanitaanku. Dia memainkannya dan membuat aku merasakan sesuatu yang bergetar dalam tubuhku. Akibatnya, aku kencing di atas tempat tidurku. Anehnya, aku lemas karna perbuatannya. Namun, dia justru tertawa senang. Bahkan, dia menjilati jarinya yang penuh dengan lendir putih. Aku muak dan ingin muntah melihat itu. Tapi sayangnya, tidak bisa. Aku tidak bisa lepas dari ikatan ini.
Dia mendekat ke arahku dan berbisik, "Kamu memang menolak, tapi tubuhmu tidak sayang," ucapnya kembali melanjutkan aksinya.
Aku tidak sanggup melawannya lagi. Tubuhku tidak berdaya. Hingga aku merasakan sakit amat mendalam. Dia berhasil menembus apa yang telah aku jaga selama ini. Aku tidak perawan lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Meratapi diriku yang sudah kotor olehnya.
Aku benci dia. Aku sangat marah dan ingin membunuhnya saat itu. Dia telah menghancurkan hidupku. Dia laki-laki brengsek yang tidak kukenal. Aku ingin dia mati atas perbuatannya terhadap diriku. Namun, itu hanya harapanku. Dia masih sehat dan berjalan ke arahku setelah dia memerkosaku. Dia menunjukkan bercak merah pada sapu tangan putih.
"Lihat! Ini darah perawanmu. Aku senang. Aku yang pertama untukmu dan selamanya untukmu. Darah ini tidak hanya dalam sapu tangan ini. Tapi, juga dalam kasurmu."
Mendengar itu, kebencianku kepadanya semakin membesar. Aku ingin membunuhnya dengan tanganku sendiri. Tapi, aku tidak bisa melakukan itu dengan kondisiku seperti ini. Terikat dan menangis histeris.
Dia kemudian membuka penutup mulutku. Saat itu, segera kuludahi wajahnya. Dia tidak terkejut akan itu. Dia justru mengelap pipinya yang aku ludahi. Dia hanya menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku mengerti dibalik topengnya. Dia berbalik. Dia mengambil sesuatu dari saku jaketnya. Sebuah sapu tangan putih. Aku tidak sudi jika dia datang menghampiriku untuk menghapus air mataku. Dia mendekat dan mengarahkan sapu tangan putih itu ke wajahku. Aku segera memalingkan wajahku saat sapu tangan itu mendekat. Tangannya terhenti saat itu. Aku dapat merasakan itu. Namun, tiba-tiba dia mengarahkan sapu tangan itu ke hidungku. Saat itu, aku merasakan pusing dan semuanya menjadi gelap.