Chereads / PITA / Chapter 4 - PART II

Chapter 4 - PART II

Saat ini, aku sedang berada di kantor. Aku bekerja di sebuah perusahan besar. Aku bekerja dibagian pembuatan iklan sebagai manager. Namun, saat ini, aku tidak bersemangat dalam bekerja. Aku diam dalam mengerjakan tugasku dan sekali-kali melirik ponselku. Aku sedang menunggu kabar dari Tito yang sudah tiga hari sejak dua minggu kejadian tidak memberiku kabar sama sekali. Aku dilema, apakah Tito berhasil mengungkap dan menangkap pelaku? Menurut hasil penyelidikannya, kasusku cukup sulit karna si pemerkosa atau pelaku sangat pandai menghilangkan jejak dan bukti. Tito juga berkata bahwa pelaku memang sudah merencanakan semuanya dengan baik-baik. Sehingga pelaku membuat korban seolah mengalami mimpi buruk. Kasus ini semakin dipersulit karna tidak adanya cctv dalam apertemenku. Anehnya, cctv di lorong lantai apertemenku rusak saat kejadian itu.

Aku menghela nafas panjang. Aku hanya bisa berharap ada keajabain dari Tuhan memberiku petunjuk atau Pak Tito. Menemukan siapa pelakunya dan aku ingin dia dihukum seberat-beratnya yang telah merusak hidupku.

"Pita!" panggil seseorang di tengah aku sedang melamun. Aku menoleh menatap Mila. Teman kantorku dan kami cukup dekat. Namaku Pita Baksoro.

"Ya," jawabku menatap dia. Dia mendekat ke arahku dan duduk didekatku.

"Kamu baik-baik saja?" tanyanya khawatir padaku.

"Ya, aku baik-baik saja. Kenapa bertanya seperti itu?" tanyaku balik padanya yang kasihan melihat diriku saat ini.

"Kamu tidak baik-baik, Pita. Kamu berubah sejak sehari kamu tidak masuk kerja hingga sekarang. Dua minggu, kamu bersikap aneh. Diam menyendiri dan menghindari orang, terutama kaum adam. Wajahmu sedih tidak ada keceriaan lagi kulihat," jelasnya membuat hatiku teriris.

Aku senang mempunyai teman yang memperhatikanku. Aku ingin bercerita kepadanya. Kenapa aku seperti ini? Tapi, aku belum bisa bercerita. Aku belum siap membuka aibku. Aku takut jika terbongkar. Mereka akan menjauhiku. Aku tidak ingin itu terjadi. Meskipun aku telah memulainya saat ini.

"Aku baik-baik saja. Itu hanya perasaanmu saja. Terima kasih sudah memperhatikanku," ucapku lembut dan kembali bekerja.

Kulirik dia masih duduk didekatku. Dia menatapku sedih karna aku tidak cerita jujur kepadanya. Malah bersikap menghindarinya.

"Sebaiknya, kamu pergi. Aku tidak bisa bekerja." Dia bangkit berdiri dan kembali ke mejanya. Setelah dia pergi, aku menunduk dan menekan dadaku. Di sini terasa sakit. Aku sangat tersiksa karna pemerkosaan itu. Aku harus menetralkan diriku. Aku tidak ingin mereka melihatku bersedih. Segera aku hapus air mataku dan kembali bekerja.

Ketika aku mulai bekerja, ada seseorang memanggil namaku. Aku disuruh menghadap Pak Bimo. Ketua di timku dan juga kepala devisi departemen. Aku mengangguk dan segera meninggalkan pekerjaanku. Aku langsung menuju ruang Pak Bimo yang tidak jauh dari meja kerjaku. Sekilas aku melirik Mila yang memperhatikanku penuh khawatir. Sebab ini pertama kalinya, aku dipanggil oleh Pak Bimo selama aku bekerja di perusahaan ini. Melihat tatapan Mila padaku. Aku mulai merasa takut. Entah, apa yang akan terjadi padaku. Apakah aku masih dapat bekerja di perusahaan ini atau tidak?

Aku mengetuk pintu dan masuk setelah dipersilahkan masuk. Aku duduk dihadapannya. Pak Bimo segera memperhatikan diriku dari atas sampai ke bawah. Tatapannya membuat aku tidak nyaman seperti ingin menerkamku saja. Itu adalah rasa takutku.

"Kamu tahu, kenapa saya memanggilmu?" tanyanya dan aku geleng kepala.

"Saat kamu masuk, aku memperhatikan dirimu. Kamu sepertinya tidak sehat. Apa saya benar?" tanyanya lagi membuat aku terkejut. Tebakkannya benar. Aku sedang tidak sehat. Lebih tepatnya aku hancur.

"Tidak, Pak. Saya baik-baik saja," jelasku bohong.

"Tapi, saya mendapat informasi dari karyawan lain. Kamu berubah. Kamu banyak diam menyendiri dan menghindari orang di sekitarmu," jelasnya.

Aku menduga bahwa Mila yang melaporkannya, tapi kalau dipikirkan kembali sepertinya tidak. Aku memang bersikap seperti itu. Semua karyawan bagian devisiku tahu akan hal itu.

"Kamu tahu, itu tidak baik, Pita. Karyawan lain merasa terganggu akan perubahan sikapmu," ucapnya dengan nada tegas.

"Tapi, pekerjaanku baik-baik saja, Pak!" belaku pada diriku sendiri.

"Saya tahu, tapi kamu juga harus menjaga sikapmu. Itu adalah salah satu syarat mendapat gelar karyawan terbaik tahun ini," ucapnya mengingatkan diriku akan hal itu. Di mana selama tiga tahun terakhir, aku selalu mendapat gelar itu. Akan tetapi, sekarang aku tidak membutuhkannya lagi. Yang kuinginkan adalah mengetahui siapa pelaku pemerkosaku.

"Baik, Pak. Saya akan menjaga sikap saya," ucapku dan ingin segera pergi dari hadapannya. Namun, saat aku hendak pergi. Pak Bimo memintaku menjumpai Pak Bara. CEO perusahan tempatku bekerja dan sekaligus orang terkaya di negaraku.

Aku heran. Kenapa Pak Bara memanggilku? Aku bertanya pada Pak Bimo kenapa, tetapi dia tidak tahu. Aku hanya disuruh segera menjumpainya di ruangannya sekarang. Aku pamit dengan raut wajah bingung. Aku melangkahkan kakiku keluar menuju lift. Aku menekan tombol lift. Pintu terbuka. Aku masuk. Aku segera menutupnya dan menekan tombol paling atas. Tempat di mana ruang CEO bekerja. Pintu lift terbuka. Aku keluar dan langsung bertanya pada seketarisnya. Seketarisnya pun menelpon Pak Bara untuk mempersilahkan aku masuk.

Dengan perasaan aneh, takut, dan gugup. Ini pertama kali aku bertemu dengan Pak Bara secara langsung dan dekat. Di mana selama ini, aku hanya dapat melihat dirinya dengan jelas dari jauh saja. Kubuka pintu dan masuk. Dia sedang bekerja. Namun, ketika aku melangkah, mata kami berdua bertemu. Tatapan itu seperti mengingatkanku akan suatu hal.

"Kamu sudah datang." Aku mengangguk. "Silahkan duduk." Aku mengangguk lagi. Aku duduk dihadapannya yang masih sibuk dengan beberapa laporan.

Aku menatapnya kesal. Dia masih sibuk. Kenapa tidak menyuruhku untuk menunggunya hingga selesai? Tanpa harus seperti ini melihat dia bekerja. Agar diriku tidak bosan menunggu dirinya selesai bekerja, aku memutuskan untuk melihat isi kantornya yang cukup luas dan maskulin.

Angin berhembus lembut dari jendela kecil. Saat itu, aku mencium aroma tubuh Pak Bara yang membuat aku teringat dengan si pelaku. Aroma ini sama dengan aroma tubuh pelaku. Aroma kulit kayu manis. Aku terkejut menatap Pak Bara. Apa mungkin dia? Tidak, Pita. Sadarkan dirimu. Dia CEO dan dia bosmu. Apa mungkin dia melakukan itu kepadamu?

Kulihat dia menghentikan pekerjaannya setelah melihat wajahku yang terkejut. Dia bersandar memainkan jarinya. Dia menatapku dengan tatapan yang tidak dapat aku mengerti.

"Apa kamu tahu? Kenapa saya memanggilmu ke sini?" tanyanya dan aku langsung geleng kepala.

���Tidak, Pak!" jawabku cepat. Kulihat dia mengangguk dan memegang dagunya. Entah, kenapa mataku beralih melihat leher sebelah kiri Pak Bara. Ada bekas cakaran di situ. Cakar itu mengingatkan aku kembali kepada si pelaku yang juga aku cakar pada bagian yang sama.

"Saya memanggilmu karna mendapat laporan atas sikapmu yang berubah. Bahkan, bisa dikatakan aneh!" jelasnya membuat aku tercenggang.

Sejak kapan seorang CEO memedulikan sikap karyawan? Selamanya ini, dia cukup memantau dari bawahan yang dia percaya seperti Pak Bimo. Aku merasa aneh dan curiga dengan Pak Bara. Apalagi melihat luka itu dan aroma tubuhnya. Ditambah sikap Pak Bara yang peduli kepada karyawan sepertiku.

"Saya berkata demikian karna kamu merupakan salah satu karyawan terbaik perusahaan ini," jelasnya.

Dia seolah dapat membaca isi pikiranku. Tapi, tetap saja. Itu tidak cukup. Jika Pak Bimo yang berkata seperti itu, aku bisa mengerti. Akan tetapi, Pak Bara, aku tidak bisa mengerti sama sekali. Aku justru semakin curiga dan timbul rasa penasaran dan ingin bertanya kepadanya.

"Pak!" panggilku dan dia menoleh ke arahku. Aku bertanya setelah dia selesai menceramahiku dan memperingatiku untuk bersikap biasa.

"Ya," jawabnya lembut membuat aku risih.

"Saya ingin bertanya kepada Bapak," ucapku sedikit ragu.

"Silahkan. Apa yang ingin kamu tanyakan?" tanyanya lembut agar aku nyaman dan tidak canggung bersamanya.

"Luka di leher Bapak kenapa? Maaf, jika saya bertanya seperti itu," tanyaku takut. Namun, dia tersenyum. Dia tidak marah kepadaku meskipun menyinggung hal itu.

Aku mulai merasakan ada yang aneh dari Pak Bara. Senyum itu tiba-tiba mengingatkanku pada si pelaku. Meskipun aku tidak mengenal si pelaku. Aku masih ingat dengan jelas senyum pelaku. Melihat itu, aku semakin takut. Aku meremas bajuku. Aku mencoba menetralkan diriku saat dia mulai bercerita. Jika luka itu, dia dapatkan karna cakaran seekor kucing. Alasan yang tidak masuk akal. Aku tahu betul, bahkan semua karyawan tahu jika Pak Bara alergi kucing. Melihat kucing saja dari jarak jauh Pak Bara akan bersin-bersin. Bagaimana mungkin seekor kucing dapat menyentuhnya? Bukankah itu sangat mencurigakan?

Aku hanya mengangguk mendengar ceritanya. Entah, kenapa aku merasa tidak nyaman didekat Pak Bara? Aku merasa dekat dengan si pelaku. Apa mungkin Pak Bara adalah pelakunya? atau mungkin rasa takutku pada pria. Aku tidak tahu. Aku bingung. Aku ingin pergi dari tempat ini. Aku seperti merasakan kejadian itu lagi.

Setelah Pak Bara bercerita selesai, aku segera pamit dan pergi dari hadapannya. Akan tetapi, ketika aku melangkah, tiba-tiba aku merasakan kakiku lemas.

"Kamu baik-baik saja." Dia mendekat ke arahku.

"Ya, saya baik-baik saja," jawabku cepat sebelum Pak Bara menolongku. Namun, tubuhku berkata tidak. Aku hampir terjatuh dan Pak Bara segera menolongku.

Saat itu, aku semakin curiga pada Pak Bara. Sikapnya sangat sulit ditebak. Apakah dia memang baik pada semua karyawannya atau tidak? Cara dia yang begitu khawatir padaku saat aku hampir terjatuh karna langkahku. Mampu membuat dia bangkit dari kursinya dan berada cepat didekatku. Dia mendekapku dalam pelukannya. Dalam pelukan itu, aku merasakan si pelaku. Dari sisi firasatku, aku yakin bahwa Pak Bara adalah pemerkosaku.

Aku segera melepaskan diriku dari pelukannya dan segera keluar dari ruang kerjanya. Tanpa perlu mengucapkan terima kasih atas bantuannya.