Chereads / Blanc Et Noir / Chapter 31 - BEN 4.2 Bali Hujan dan Kenangan

Chapter 31 - BEN 4.2 Bali Hujan dan Kenangan

Terhitung sudah hampir seminggu lamanya Sehun berada di pulau Bali. Tidak bisa melihat wajah Nata dari jarak dekat, tidak bisa merasakan masakan enak buatan Irina—sang ibu, dan juga tidak bisa menikmati nyenyaknya tidur malam seperti singgasana di rumah.

Sehun bukan seseorang yang menderita homesick, hanya saja setiap orang pasti merasakannya, jika kita hidup jauh dari rumah. Seberapa lama pun itu.

Beberapa hari belakangan ini Bali sedang di guyuri tumpahan air hujan. Kadang lebat, kadang tidak. Membuat cuaca semakin dingin dan Sehun yang beberapa kali enggan berangkat ke kantor untuk mengurusi beberapa pekerjaan yang belum usai.

Baekhyun menarik napas panjang saat mendapati keberadaan Sehun sedang memandangi jendela dari arah belakang. "Ngapain maneh, Hun?" tanyanya sembari berjalan menuju pantry.

"Mancing," jawab Sehun asal. Lantas mengundang nyinyiran pedas dari bibir pria cantik tersebut.

"Loh tadi katanya mancing, sekarang mau ke mana?" pekik Baekhyun saat netranya mendapati Sehun yang tiba-tiba berlalu sembari memakai jaket tebal.

"Laper, mau beli mie instan di bawah sebentar."

Pakai mobil? Atau tidak?

Saat ini Sehun sedang bergulat dengan pikirannya sendiri. Menatap jalanan luar kota Bali dari balik lobby hotel, niat ingin pergi ke swalayan yang hanya berjarak 10 langkah membuatnya bimbang.

"Kalo jalan otomatis basah," gumam Sehun. "Tapi kalo naik mobil mager banget mau parkir lagi?" Seperti orang gila, kini Sehun berbicara sendirian. Mengundang tatapan heran dari para beberapa pengunjung dan juga resepsionis yang sedang berjaga.

Berusaha bersikap santai dengan cara mengabaikan mereka, lantas kaki jenjang Sehun membawanya ke arah parkiran. "Naik mobil aja deh."

Dinginnya air conditioner dari dalam ruangan sejuk itu langsung menyapa bulu-bulu halus yang berada di tubuh Sehun. Membuat laki-laki tampan itu sempat bergidik sebab dingin, jaket pun tak kuasa sejak tadi ia eratkan.

Menilik seluruh barang yang tersusun dan berjejer rapi di sepanjang ruangan. Netra Sehun mendapati barang yang sedang di cari. Mie sedap yang saat ini sedang booming karena di iklani oleh boyband korea yang sangat terkenal, siapa lagi jika bukan Choi Siwon yang kerap di sapa oleh fans Indonesia dengan sebutan Om Agung.

Sehun tersenyum lebar, rasanya selama seminggu ini ia memakan makanan yang disediakan oleh pihak hotel sangat hambar. Intinya tidak sesuai dengan lidah. Memilih untuk merebus mie di setiap malam Sehun lakukan. Yang terpenting rasa lapar dapat tertahan.

"Makan mie lagi?" Suara seorang wanita menyapa indera pendengaran Sehun. Tidak perlu menoleh, ia sudah tahu siapa yang berbicara demikian.

"Bukan urusan kamu," balas Sehun datar. Lantas Yena terkikik geli melihat respon yang diberikan. Sudah terlampau biasa, bahkan sejak kembarannya hidup dulu, Sehun selalu mendiamkannya.

"Tapi beneran, Hun, makan mie terus nggak baik." Yena yang masih saja berusaha berbasa-basi dengan cara memperingati. Sedang Sehun memutar bola mata jengah sembari berjalan meninggalkan wanita itu di belakang.

Rasa-rasanya pulau Bali sangat lebar dan luas, banyak manusia yang berada di dalamnya. Tetapi mengapa Sehun harus terus bertemu dengan Yena? Pasalnya wanita ini selalu ada di mana pun Sehun berdiri dan menginjak kaki.

"Mau beli apa lagi?" Rupanya Yena masih setia mengintili ke mana Sehun pergi. Laki-laki itu menghentikan langkahnya tanpa mau menolehkan kepala ke arah samping.

"Softex," ujar Sehun pelan. Mengundang bola mata Yena untuk segera keluar dari tempatnya. Bagaimana mungkin Sehun—mantan kekasih kembarannya saat hidup dulu sekarang senang memakai softex?

"Hun, k-kamu... sekarang seneng pakai softex?" tanya Yena dengan suara bergetar. Takut-takut Sehun akan merasa tersinggung dengan pertanyaannya barusan. Mendengar hal yang barusan ditanyakan dari bibir cantik Yena membuat Sehun mendelik sebal. "Setres!" balas Sehun dengan nada jutek.

"Mau ambil yang di atas?" tanya Sehun kepada seorang gadis berseragam putih abu-abu.

Sedang yang ditanya mengangguk kepala pelan, merasa malu karena ada seorang laki-laki tampan yang sialnya malah membantu ia mengambil softex yang berada di bagian atas rak. "Iya... Om."

"Nih." Tangan Sehun terulur memberikan benda kramat yang senang dipakai oleh Nata setiap bulannya kepada gadis itu. "Lain kali minta tolong sama penjaganya ya kalau nggak sampe buat ambil barang," kata Sehun ramah.

"Makasih banyak, Om."

"Kamu baik banget ya? Pantes Yuna cinta mati sama—"

"Kamu mau apa?!"

Sehun yang saat itu langsung memotong pembicaraan Yena kala wanita itu menyebut nama mantan kekasihnya yang telah meninggal. Bahkan Sehun menghujani Yena dengan pandangan kesal sekaligus menusuk.

"Kamu," balas Yena dengan senyum miring.

"Udah gila ya kamu?"

"Kasar banget sih?"

Memilih untuk mengabaikan wanita ular—sebutan Sehun untuk kembaran Yuna. Laki-laki itu melangkahkan kakinya cepat ke arah kasir. "Mie sedapnya sepuluh bungkus, tolong agak cepetan ya," titah Sehun kepada seorang kasir di depan sana.

"Oh, iya."

Beruntung saat ini Sehun membawa mobil, bagaimana jika ia tadi memilih untuk berjalan kaki. Sudah pasti Yena akan kembali mengganggunya dengan cara menyuruh Sehun untuk menumpangi mobilnya saja.

Melihat tubuh besar dan tegap Sehun dari arah belakang membuat Yena menerbitkan senyum tipis, tipis sekali. Yang membuat hatinya berdenyut nyeri karena lagi-lagi pria itu kembali mengabaikannya. Tepat seperti tujuh tahun yang lalu.

"Sehun... memang nggak akan pernah berubah ya? Selalu Yuna, Yuna, dan Yuna. Mungkin sekarang Nata." Yena mengatakan hal itu seorang diri sembari menggelengkan kepala pelan. Memilih untuk berjalan dengan langkah lebar supaya sampai di tempat mobilnya berada.

Bali, hujan, dan kenangan. Tiga kata dan hal yang sangat membuat Yena benci.

Nata mengangkat kepalanya pelan saat merasakan ada sodoran nampan yang berada di atas meja. Itu Lucas, dengan perawakan tubuh tinggi yang semampai, juga senyum lebar andalannya memberikan segelas coklat hangat kepada Nata.

"Istirahat dulu kali, Kak," kata Lucas sembari meletakkan bokongnya di atas kursi yang berhadapan langsung dengan Nata.

"Makasih ya buat coklatnya, kenapa nggak kopi aja sih?"

"Lo belum makan dari pagi, Kak. Mana tega gue kasih kopi siang-siang begini."

Ah, Nata lupa. Perutnya belum terisi sejak matahari pagi menyapa yang sekarang sudah tergantikan dengan rintik hujan lebat. Perlu diketahui gadis itu saat ini sedang mengerjakan tugas kuliah.

Pengunjung yang sejak tadi datang dan tidak berhenti membuat Nata bersama Lucas sedikit kewalahan. Beruntung si bungsu dari keluarga Bangsawan bersedia untuk membantu. Membuat pekerjaannya sedikit lebih ringan.

Yang Nata ingat pula, tadi Asegaf sempat datang dan mampir sebentar. Memberikan sebuah kotak berisi makanan yang dikhususkan untuk Lucas juga Nata, minus Jaehyun yang tidak dihitung keberadaannya oleh laki-laki bersikap lembut tersebut.

"Cih, gue bisa beli makanan sendiri nanti." Begitulah kata Jaehyun saat makanan yang dibawa oleh Asegaf tadi yang tidak mencukupi porsi sebenarnya. Membuat Nata jadi tidak tega, alhasil ia memberikan makanannya kepada bungsu tampan tersebut.

"Makan aja, Jae. Gue masih kenyang." Alasan klise yang selalu Nata berikan. Bahkan tadi Jehyun sempat menolak sebelum akhirnya ia kalah dan ikut makan bersama Lucas di meja bagian ujung.

"Gue beliin makanan deh, Kak." Suara Lucas saat itu langsung menyapa indera pendengaran Nata. Membuat gadis itu hampir terlonjak kaget dengan suara besarnya.

Melihat Lucas yang tidak lagi duduk dihadapan wajah Nata, laki-laki berpostur tubuh tinggi itu sudah berjalan di luar kedai. Jangan lupakan keberadaan payung bewarna kuning yang selalu siap siaga menutupi kepala besarnya. Membuat Nata tersenyum kecil lalu menggeleng kepala.

"Dasar."