Selamat membaca
°•°•°
Kita ---aku, Alin, Sean, dan Nino--- akan melaksanakan tugas sebagai murid teladan. Belajar kelompok, tempatnya di rumah si Nino, sesuai sama jadwal yang disepakati kemarin. Rumah Nino yang pertama dijajaki juga untuk berpikir-pikir ria, dilanjut tempat Sean, Alin, lalu yang terakhir, mana lagi kalau bukan di kediamanku. Akan bergiliran seperti itu hingga kenaikan kelas nanti.
Sesuai dengan peraturan sekolah yang mengharuskan pelajaran Bahasa Indonesia dipelajari lebih dalam lagi, yaitu melalui cara yang dibilang sangat baik. Salah satu contohnya, setiap semester dua, anak kelas sepuluh sampai dengan kelas dua belas diwajibkan mempunyai kelompok belajar sesuai dengan pilihan guru mapel tersebut. Itu yang diumumkan sebelum Pak Beni membentuk regu sinau kemarin siang. Beliau juga mengatakan bahwa akan ada program lainnya lagi.
Kini aku sedang sibuknya bersiap-siap. "Pakek baju apaan ya?" jangan bayangkan bajuku terlempar berserakan di penjuru kamar. Tidak! Hanya saja di atas kasur empuk yang berbungkus bed cover gambar koala.
"Dress apa jeans ama kaos?" aku menatap beberapa pakaian secara bergantian. "Argh! Sean-Sean." lelah ditambah pusing, aku pun duduk di atas ranjang sambil menatap lemari pakaian didepanku. "Kenapa aku bisa kayak gini sih."
Gedoran di pintu kamar yang kencang mengalihkan perhatianku. "DEA!"
"Iya masuk!"
"Udah ditungguin temen tuh. Buruan!"
"Iya! Eh, suruh masuk aja Diya!" tak ada respon, tapi terdengar suara langkah kakinya yang buru-buru menjauhi kamar.
Selang beberapa menit bunyi ketukan terdengar lagi. "Masuk!"
Tanpa ragu, pintu dibuka cepat. Nampaklah Alin yang memakai hoodie senada dengan celana jeans panjangnya warna biru sedikit keabu-abuan.
"Kok belum siap?" tanyanya setelah melihat penampilanku dari ujung kepala sampai ujung kaki. Ya, aku masih memakai celana pendek dan kaos oblong.
"Bingung milih baju. Bantuin!" Alin menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum penuh arti.
"Keren ya kalau orang lagi jatuh cinta!"
Aku mendesah tak suka. "Awas aja kalau kamu ngerasain kayak aku! Aku doain lebih parah dari apa yang aku alamin!"
Perempuan berjepit biru itu tertawa. "Nggak akan mungkin!"
"Liat aja! Bisa-bisa nanti kamu yang pake celana mulu jadi ganti pake rok. Terus dandan, nyalon, kan kita nggak tau... Inget ya Lin... Semua bisa jadi mungkin!"
"Ngaco! Udah ah buruan. Malah nggak jadi belajar!"
"Ya udah pilihin dong."
"Pilih sendiri! Udah besar juga."
"Astaga Lin... Bantuinlah."
Alin mengangkat bahunya. "Nggak maulah...."
"Ayoklah...."
"Pilih sendirilah..." kesal sudah aku dibuatnya.
"ALIN!"
Bukannya langsung mencarikan baju, si Alin malah menunjukkan muka absurdnya. Kedua mata setengah merem dengan rongga hidung yang dibuat-buat agar mekar, belum lagi gigi atasnya yang ditunjukkan tepat di hadapanku. Membuatku tertawa-tawa.
"Dasar sinting!" ia pun terkikik geli, namun tangannya sibuk memilah pakaian untuk kupakai setelah ini.
Hem... lumayan. Pilihannya jatuh pada celana jeans punyaku yang sobek di bagian paha dan kaos hitamku yang tercetak bentuk mahkota warna gold di bagian dada. "Tuh. Yang itu aja ya, mau?" aku mengangguk.
"Makasih ya, Alin..." belum sempat Alin membuka mulutnya aku menambahi, "...anaknya Pak Dito!"
"Ha?" matanya sedikit membelalak. "Pak Dito guru PKN kita?" aku mengangguk polos.
"ENAK AJA!" aku pun tertawa karena berhasil menggodanya.
Pasalnya, Pak Dito itu orangnya kalau ngejelasin materi kurang bisa dipahami para murid. Bukan hanya satu atau dua siswa, tapi hampir seisi kelas yang pusing dibuatnya. Alhasil, banyak yang sibuk bermain handphone di saat beliau sedang sibuk menjelaskan. Kecuali aku, aku masih berusaha sekuat tenaga untuk mencernanya, tapi ya sama saja. Hem... Ujung-ujungnya hanya nyantol setengah dari yang dijelasin, itu pun sudah termasuk bonus, hehe. Bagaimana aku bisa tahu? Karena sudah dua hari berturut-turut sejak aku masuk sekolah, Pak Dito mengajar di kelasku.
°•°•°
"Tenang aja kali... Santai kayak di pantai. Mukanya biasa aja-ahahaha. Ehm, hehe tegang amat..." aku tahu, mukaku pasti kelihatan tegang karena grogi. Iya lah, pasti! Mau ketemu doi.
"Diem dulu deh... Fokus nyetir aja sana!"
"Dih sensi. Harusnya kamu ceria dong, kan mau ketemu pujaan hati." bukannya diam malah semakin menggoda.
"Maunya gitu, tapi respon tubuhnya malah gini. Mau gimana lagi?"
"Ye... Itu mah, derita kamu sendiri!"
"Lah... Kurang ajar!" Alin tertawa.
"Makanya, belajar mengontrol jantung."
"Udah dari tadi... TAPI SUSAAAH...!"
"Dih santai dong mbak... Jangan ngegaslah, dibikin asik aja." aku memutar bola mata malas. "Coba bayangin aja kalo jantung kamu itu musik dangdut. Kan, ntar kamu bisa goyang nikmatin alunannya."
"Apaan sih..."
"Ye... Dikasih ide yang mendingan malah kayak gitu."
"Ide apaan kayak gitu? Ya tetep nggak bisa goyanglah... Orang aku lagi grogi malah di samain sama penikmat dangdut... Beda jauh a-li-en!"
"Enak aja alien, ALIN!"
"Iyain."
"Dih..." aku memejamkan mata. Mencoba untuk mengurangi rasa gugup. Bukannya perlahan menghilang, tapi malah semakin menjadi.
"Gila emang..." ucapku spontan.
"Emang kamu gila karna cinta, Nadea. Nggak kaget!"
"Diem Alin... Plis, kalo nggak bisa cari jalan keluarnya mending tutup mulut aja!" aku nyatanya memang sudah mulai frustasi.
"Maaf deh. Kenapa bisa segitunya sih jantungmu? Jadi aku kan yang kena... Kayak pms aja."
"Nggak tau."
"Yaudah coba baca doa dulu."
"Iya-ya?" Alin mengangguk lantas tersenyum. "Kenapa nggak dari tadi usulnya?"
"Hehe, baru inget."
Aku menggeleng. "Dasar!" Alin nyengir lebar. "Btw, kamu pinter!"
"Ya dong." sembari tersenyum lebar, tangannya mengibas rambut ke belakang.
"Tapi bo'ong!"
"Makasih."
Aku manggut-manggut, tak lupa tersenyum. "Sama-sama."
Aku sudah melakukannya. Berdoa sejenak menuruti usul gadis disampingku ini. Sampai-sampai tak terasa kita sudah tiba di rumah bocah tengil sekelas sepuluh mipa satu atau bisa jadi seantero sekolah.
Ajaibnya, si Alin itu lumayan hapal nama jalan. Begitu kemarin dikasih tahu alamatnya si Nino, Alin hanya membalas dengan anggukan. Keren bukan? Soalnya waktu aku tanya ke dia-- si Alin. Kataku, "emang kamu pernah ke rumah Nino?" dia menggeleng terus menjawab, "pernah denger daerahnya." aku yang percaya mengangguk saja.
"Coba kamu fotoin rumah itu." tunjuk Alin ke arah rumah besar bercat putih persis di sampingku. "Terus kirim ke grup. Tanyain, bener ini atau nggak rumahnya Nino." aku mengangguk, lantas aku mengambil gambar dan mengirimnya di grup WhatsApp yang diberi nama 'BELOK' oleh Sean.
"Belum ada yang bales Lin."
"Yaudah tunggu aja."
Kami hanya diam namun telingaku tetap bekerja, siapa tahu ada notif dari grup 'BELajar kelompOK' itu. Aku mengecek handphone karena baru saja berbunyi, dan ternyata dugaanku benar kalau itu pesan balasan dari orang yang sedang kunanti.
Sean :
Iya itu.
Masuk dulu aja De.
Aku masih dijalan nih.
"Kata Sean bener. Kita disuruh masuk dulu, dianya masih di jalan." ucapku kala usai membaca dan membalas pesan Sean.
"Oke. Parkirin sini aja aman kali ya?"
"Amanlah." jawabku seadanya.
"Yaudah buruan keluar, ngapain masih duduk aja?"
"Iya, sabar."
Berhubung pagarnya terbuka selebar tubuh, kita pun masuk tanpa ragu. Sampai di depan pintu putih yang lebar, Alin melihat bel di tembok, dekat jendela sebelah kanan, lalu menekannya dua kali.
"Kok sepi ya?"
"Coba tanya grup lagi." aku mengangguk. Kembali membuka grup yang sama sepinya dengan rumah Nino.
Belum ada balasan, aku memilih duduk di kursi panjang dekat jendela. Alin mengikutiku. Lumayan lama kami menunggu.
"Belum ada balesan di grup?" aku menggeleng. Tiba-tiba dering pesan muncul.
Sean
Tidur kali tuh anak.
Coba pencet belnya.
Dia tinggal sendirian.
Aku bentar lagi nyampe.
"Sean nyuruh mencet belnya."
"Lah, tadi kan udah." balas Alin dengan tampang heran.
Mengangkat kedua bahuku secara bersamaan seraya menyahut, "mungkin tidur. Dia juga bilang kalau Nino tinggal sendiri."
"Serius?" aku manggut-manggut.
Bangkit dari duduk, Alin langsung saja memencet bel rumah Nino berali-kali.
"Gantian kamu... Capek aku, kebo banget."
"Apa beneran tidur, ya?" tanyaku yang memang gerah dengan situasi ini.
"Mana aku tau? Kamu aja gih."
"Iya." aku pun mencoba menekan bel yang berbentuk bulat itu. Sampai suara bentakan pemilik rumah membuat aku dan Alin terkejut bukan main.
"SABAR WOI!!!" kedua mataku membola, bukan kerena kaget tapi tampilan bocah tengil ini. Cepat-cepat aku membuang muka ke arah Alin.
"AAAA... NINO GILA!" dengan mata terpejam Alin berteriak. Aku tahu apa yang dilihat Alin, jadi aku hanya bisa bungkam dengan tatapan masih ke arah Alin.
"Makanya jangan berisik! Orang yang punya rumah lagi mandi."
"Yaudah buruan ganti, malah pamer dada! Jangan ngomong mulu deh, mataku jadi nggak sehat!" suruh Alin.
"Alay! Bilang aja kalau aku keren!" aku mendelik. "Yaudah kalian mau masuk apa di luar?"
"Di luar." jawab Alin cepat, masih merem.
"Sama, aku juga di luar aja." jawabku sambil membuang napas.
"Yaudah." kulihat dari sudut mata, Nino berbalik tanpa menutup pintu rumahnya.
°•°•°
Yeay! Gimana? Aku terus berusaha manteman.
See You
Gbu