Selamat Membaca
°•°•°
"Bagus...." sembari bertepuk tangan dengan pandangan tajam tepat ke arahku yang baru saja menutup pintu rumah. "Mama udah bilang kan, paling telat pulang ke rumah jam berapa?!" dengan santai aku mengecek jam tangan warna putih di pergelangan tangan kananku.
"Ini masih jam sembilan lebih lima belas menit. Aku salah?" Diya menerbitkan senyum miring yang tidak kuketahui maksudnya.
"Masih tanya?" dahiku mengerut. "KAMU TAU KATA MAMA BEBERAPA HARI LALU NGGAK?!" aku menatap lantai ruang tamu dengan kepala yang mulai menunduk. Oke, aku tahu aku salah. Aku lupa kalau Mama mengomando kami pulang lebih awal dari yang biasa Mama suruh waktu tinggal bareng kemarin-kemarin. "INGET?!" aku berdeham. "Satu lagi... Inget kalo kamu tanggung jawab aku, Dea...."
"Ya, aku inget." Diya berbalik, memunggungiku. Baru beberapa langkah ia berjalan, gadis yang memakai piyama angsa itu berbicara lagi tanpa menoleh. Dengan kaki masih terus berjalan pelan ia mengatakan, "biar aku aja yang nakal. Kamu jangan."
Aku berjalan cepat menyusulnya. "Diya!" Diya berhenti. "Aku tau, bedanya mana yang baik mana yang enggak. Kalo kamu juga tau... Kenapa kamu masih ngelakuin itu?"
Diya tersenyum. "Kita beda Dea."
"M-maksud kamu?" Diya tertawa. "Kita beda sifat. Jangan bloon jadi anak, gitu aja nggak paham." baru saja aku ingin membuka mulut, tapi urung. "TIDUR!" kuelus dada karena sedikit kaget. "Aku nggak mau denger omonganmu lagi." tanpa membalas aku melanjutkan jalan santaiku dengan Diya yang masuk ke dapur.
°•°•°
Tepat pukul enam lebih dua puluh menit aku duduk di bangku kelas yang aku tempati. Suasana kelas masih pantas kalau dibilang sepi. Bisa dihitung, yakni hanya ada lima siswa. Tiga perempuan yang salah satunya itu aku, dan dua sisanya laki-laki.
Niat Diya yang mengajakku berangkat pagi, nyatanya membuatku beruntung. Aku bisa melihat dia lebih awal. Aku tahu ini konyol-- menanti dirinya karena tidak sabar melihat wajah tampannya. Jujur sejujur-jujurnya, dia benar-benar membuatku seakan tidak mau mengalihkan pandanganku sedikitpun ke arah lain atau objek lainnya.
Sedari tadi aku mengamati pintu kelas tanpa berkedip-- maksudku berkedip sesekali. "SEAN DATENG!" teriakku dalam hati. "Astaga... Gantengnya anak itu. Ganteng sekali. Nggak salah aku milih orang buat hati ini, hehe. Eh... Bukan sekali, berkali-kali lipat kegantengannya kalau pagi hari gini. Seger...."
Poni yang disisir rapi ke arah belakang itu membuatnya terlihat maskulin meski tanpa gel rambut. Entah kenapa, aku suka dengan cowok model rambut seperti itu, keren lah. Jangan lupakan... Jaket hitam yang melekat pas di tubuhnya, membuat penampilannya semakin oke. "Huft... Tarik napas, buang napas. Tarik napas, buang napas." apalagi alis yang tak terlalu tebal tapi rapi dan kedua matanya yang selalu menguar pandangan positif ditambah bulu mata yang lentik, membuatku terkagum-kagum begitu mengamatinya. Belum lagi hidung mancung yang pas, "duh... Kenapa bisa segila ini sih kamu Dea... Inget, kamu disini buat sekolah... Sadar!" kupejamkan mata sejenak, bukannya sadar aku malah semakin teringat wajahnya.
Bibirnya yang tidak terlalu tebal itu juga sebagai pemicu ketampanannya. Aku tak akan lelah mengatakan dia tampan. Karena memang tampan. "Ayok sadar...."
Bagian yang paling kusuka dari fisiknya adalah kedua matanya. Entah kenapa, aku merasa mata itu memancarkan aura yang menonjol dari fisiknya yang lain. Membuatku percaya bahwa dirinya adalah cowok yang baik. Aku tahu, bukan hanya dia yang tampan disekolah ini, tapi lagi-lagi dia mampu menarik kuat hatiku untuk tetap memilih dirinya.
"Hai Dea!" suara itu muncul ketika aku melihat sosoknya berjalan di belakang Sean.
"Hai...."
"Kamu ngeliatin siapa?!" tanyanya kencang. Aku menggeleng. "Ganggu amat sih Lin..." batinku kesal. Ingin sekali menutup mulutnya rapat-rapat karena pandangan Sean otomatis terlempar ke arah kami. "Dasar Alin!" malu aku. "Oh aku tau..." lanjutnya yang membuat bola mataku melebar.
Dia semakin berjalan cepat ke arahku lalu mendekat, membungkuk di sampingku. "Sean ya?" bisiknya sangat tepat.
"Diem deh... Dia liat kesini. Kalau mau ngomong tuh pas deket aku aja. Kayak gini."
"Udah deh... Nggak usah malu. Lagian juga nggak akan sadar dia kalau diperhatiin." aku memangku dagu melihat Alin yang terus berceloteh. "Biasa, cowok kurang peka. Kalau kamu mau dia tau, ya bilang aja." aku mendelik.
"Enak aja kalo ngomong! Gila apa aku ngomong langsung!" Alin mengunggingkan senyumnya tanpa ragu.
"Inget! Kita milenial... Generasi micin... Anti malu-malu club. Jangan malu-malu menyatakan perasaan duluan, daripada nanti di sikat cewek lain?" kusentil saja keningnya. "Aduh...." ringisnya sambil memegang bekas siksaanku.
"Kamu aja yang generasi micin, aku sih enggak." aku melirik Sean sekilas. Entah apa yang dilihatnya di balik benda pipih yang dia pegang. Posisinya yang jauh di belakang membuatku was-was. Aku takut kalau dia sadar aku memerhatikan gerak-geriknya.
Alin kembali ke tempat duduknya setelah mengedikkan bahu. "Emang kamu sendiri berani kalau nyatain perasaan duluan?!" aku menggeleng dan tersenyum tipis. "Dasar! Alin-Alin...."
°•°•°
Dadaku berdegup dengan tidak sabaran. Kini aku menunggu namaku disebut karena dari tadi tak kunjung mendengar kata Nadea atau Dea terucap dari bibir Pak Beni, guru Bahasa Indonesia.
"Sean, Nino, Alin, sama satu lagi anak baru, hm... Dea."
"Terakhir Billy, Niko, Lisa, sama Lena. Oke, itu ya yang saya sebutkan sudah lengkap. Saya harap bisa saling kerjasama. Inget, kalian bukan anak SMP lagi. Nino! Belajar yang bener. Oke cukup, selamat siang."
"Siang Pak!" teriak seluruh siswa, serempak.
Aku menelan ludah. Ini yang aku takutkan, satu kelompok dengannya. "Aduh... Mau ganti tapi takut di marahin... Kalau aku murid lama ya berani bilang. Lah ini... Tck."
Kulirik Alin yang tengah memanggilku. "Man-tap...." eja-nya dengan kedua jempol digoyang-goyangkan didepan dadanya.
"Pe-ngen tu-ker." memanyunkan bibir. Sedang gadis berjepit pita putih dengan manik-manik bak mutiara itu malah terkikik lalu mengarahkan pandangan kedepan karena pasti, guru mapel PKN sudah datang.
Bulu kudukku meremang tiba-tiba, tapi bukan karena makhluk halus. "Pulang sekolah jangan pulang dulu ya Dea... Bahas materi tadi." aku membeku. Rasa-rasanya bisikan itu membuatku sulit bernapas. "S-suara itu... Huh..." suaraku seakan tertahan. Alhasil aku hanya mengangguk tanpa berniat menengok ke belakang karena tak sanggup melihatnya. "Ya Tuhan..." aku mengatur napas, berusaha mengembalikan temponya menjadi stabil. "Sekalian bilangin Alin, aku belum bilang tadi sama dia." aku lagi-lagi mengangguk. "Astaga!!! Kenapa pakek ngomong sama aku segala sih Sean? Nggak tau dampaknya di aku apa?! Deg-degan sumpah...."
Aku tidak tahu sejak kapan dia dibelakangku. Padahal saat pembacaan anggota kelompok tadi dia masih ada di tempatnya. Aku tahu persis posisinya, dia duduk dekat dengan Nino, ada di barisan paling belakang, pojok kanan nomor dua karena yang paling pojok si Nino anak tengil. "Kapan pindahnya? Pantes aja si Alin senyum-senyum tadi."
"Jangan lupa... Abis pulang sekolah."
"IYA!" refleks. Kali ini aku menengok ke arahnya. "M-maksudku iya..."
"Maaf kalau ngeganggu. Udah gitu aja... Maaf ya." aku menggeleng. Aku jadi merasa tak enak. Karena salah tingkah dia jadi kena bentak, maaf.
"Nggak... Nggak papa kok, hehe... M-makasih udah diingetin." aku tersenyum kecil setelah Sean mengangguk lalu kembali menatap papan tulis yang tidak lagi putih dan kosong.
"Fokus Dea...."
Aku melirik Alin karena merasa kalau dia tengah menatapku sekarang. Benar dugaanku, lihat saja ekspresinya itu. Cengar-cengir tidak jelas dengan bolpennya menari-nari diatas buku. Sesekali pandangannya mengarah pada papan tulis. Namun beberapa detik kemudian menatapku. "Dasar!"
Tapi aku tak munafik. Aku malah suka tingkahnya tadi yang tiba-tiba berbisik tepat di belakangku. Itu seakan-akan bibirnya berada dekat dengan telingaku. Tapi memang dekat. "Astaga!" kuletakan tangan di dada, mengecek apakah normal? "Tuh kan, senam jantung." pantas, pelipisku banjir keringat.
°•°•°
Nino tak banyak bicara, bisa dikatakan dia malah minim suara. "Tumben."
Sesuai perintah dari gebetanku hehe... Kelompokku mengadakan rapat dadakan yang digerakkan oleh Sean, siapa lagi kalau bukan dia. Saking niatnya, Sean mengajak kami untuk membicarakannya di kafe. Aku sudah pamit lebih dulu ke Diya, karena aku tahu dampaknya kalau aku sampai lupa pamit. Bisa-bisa besok masuk sekolah kepalaku yang berambut panjang berubah jadi hutan gundul yang tandus. Mengingat hobinya yang menarik rambutku sesukanya.
"Oke, jadi berhubung Nino yang otaknya cetek dan susah buat diajarinnya, aku minta tolong Alin."
"Hah! A-aku? Nggak salah?" aku tersenyum cerah. "Rasain! Emang enak? Makan tuh..." batinku teriak kegirangan.
"Sama dia? Ogah! Eh... Boleh sih. Biar jadi babu sekalian. Oke nggak?" sahut Nino sambil mengedipkan matanya ke arah Alin.
"Eh... Enak aja main nyiksa anak orang! Kalau yang satu itu aku nggak setuju. Aku nggak mau ya temen aku disiksa." Alin tersenyum haru mendengar protesku.
"Tenang aja, belajarnya masih bareng-bareng kok. Cuman biar gampangnya kayak les privat gitu. Paham? Jadi kamu sama aku, Nino sama Alin."
Ini mimpi bukan? Sadarkan aku kalau ini cuma belajar. Inget, belajar! bukan double date. "Sadar Dea!"
"Terus kalau udah kita bahas bareng-bareng. Gimana...?" tanpa basa-basi aku mengangguki penjelasan Sean. Mau ajalah, mumpung ada kesempatan. Masalah jantung yang berjoget ria, pikir belakangan.
"Oke. Deal?"
"Deal." jawabku, Alin, dan Nino bersamaan tapi hanya aku yang terdengar semangat. Sedangkan dua remaja yang terkenal seperti 'Tom and Jerry' itu hanya bersuara lirih macam orang belum dikasih makan beberapa hari.
°•°•°
Gimana? Masih terus berusaha gaes....
See You
Gbu