Sore menjelang malam dimana di langit mendung.
Operasi pemasangan selang itu berhasil.
Riota dan kedua orang tuanya boleh di persilahkan masuk dan melihat betapa memperihatinkan kondisi Linra yang tertidur itu.
Dokter Martha membuka sarung tangan khusus karet berwarna putih yang sudah bercampur dengan noda darah itu dan menaruhnya di sebuah nampan silver khusus yang ada juga peralatan lainnya seperti pisau dan gunting.
" Dengan ini dia bisa di suplay makanan tanpa harus melewati mulutnya. "
Riota menghampiri Linra yang terbaring itu dengan pakaian yang sudah berbeda, dimana hanya memakai Dress khusus pasien rumah sakit yang di berikan.
" Linra. "
Ketika itu Dokter Martha menepuk pundak kanan Riota yang tinggi itu.
" Riota... Bisa kita bicara sebentar di atap rumah sakit? "
Riota melirik ke arah Dokter Martha yang menepuk pundaknya itu dan dirinya pasti paham dengan perbadaan tubuh di Linra.
" Baiklah. "
Riota kemudian keluar bersama Dokter Martha juga assistennya itu dan meninggalkan kedua orang tuanya Riota bersama dengan Linra untuk menjaganya.
Ketika berada di luat ruangan, Assisten Dokter Martha di suruh menaruh peralatan semua itu dan mencucinya.
Dokter Martha lalu melirik ke arah Riota untuk mengikutinya dari belakang menuju atap rumah sakit yang dimana atapnya datar dan memang bisa di kunjungi walau jarang sekali, karena biasanya yang ke atas itu adalah orang yang menyewa kamar khusus di bawahnya.
Sementara yang di bawah sudah tersedia taman dan juga jarang mereka berkunjung menuju atap yang memang terbilang sangat sepi.
Sore senja yang mendung dan angin bertiup cukup kencang di atap.
Jubah putih Dokter Martha berkibar mengangkat ke atas, begitu juga dengan rambutnya yang tertiup angin.
Dokter Martha berjalan ke pagar besi tinggi berwarna putih yang mengelilingi atap rumah sakit itu sambil melihat ke arah jalan.
" Riota... Linra itu laki-laki bukan? "
Riota yang berada di belakang Dokter Martha merasa tidak terkejut jika Dokter Martha tau hal tersebut.
" Itu benar. "
Dokter Martha lalu membalikan badannya ke arah Riota dan melihat dirinya dengan tatapan serius.
" Apa kamu serius dengan apa yang kamu lakukan ini? Aku sangat dekat dengan keluarga mu. "
Riota menatap serius ke arah Dokter Martha dimana angin masih berhembus menerpa bagian depan tubuhnya.
" Aku serius, apa salahnya? Selama aku bahagia? "
Jubah Dokter Martha kembali berkibar dan Dokter Martha menatap serius Riota.
" Sesuatu yang fatal sudah pasti kau pahami. Dia tidak akan bisa memberikan keturunan seperti yang orang tuamu selalu dambakan dengan anak-anak nya. "
Riota terunduk dan melirik ke arah bawah kanan.
" Aku tau itu. "
Dokter Martha menyilakan kedua tangannya di atas dadanya.
" Lalu bagaimana? Apa kamu siap dengan hal itu? Pastinya orang tuamu akan sangat kecewa sekali. "
Riota lalu kembali mengangkat kepalanya dan berjalan ke arah pagar besi tinggi yang berwarna putih itu lalu mencengkram salah satu besi penyanggah dengan kedua tangannya.
" Andai ada keajaiban yang terjadi. "
Dokter Martha tersenyum tipis ketika mendengar hal itu.
" Hah.. Hahaha.. Kamu pikir ini dunia buku anak-anak? Ini kenyataan, Riota. "
Riota lalu mendangakan kepalanya ke arah matahari senja yang ada di depannya dengan sedikit tertutup awan gelap.
" Tidak ada salahnya berharap. Jika memang tidak bisa, maka aku akan membuat sandiwara lainnya. "
Dokter Martha lalu berbalik ke arah Riota yang ada di depannya.
" Apa artinya kamu memang sudah merencanakan semua ini? "
Riota berbalik arah ke arah Dokter Martha dan menatap serius.
" Bukan aku, melainkan Linra sendiri. Dia berencana jika memang tidak bisa di pertahankan, maka dia akan membantu ku untuk mencari perempuan lain yang akan aku nikahi. Itu rencananya dan ada rencana yang juga belum aku katakan kepada Linra sewaktu-waktu tidak berhasil. "
Dokter Martha tersenyum dan bicara tentang rencana yang belum di katakan oleh Riota itu kepada Linra.
" Kau ingin mengadopsi atau menikah sirih untuk mendapatkan keturunan agar Linra nanti terlihat normal? "
Baru Riota terkejut mendengar hal itu dari mulut Dokter Martha.
" Ehh... Sepertinya kau cukul pintar juga, Dokter Martha. "
Dokter Martha lalu berbalik dan berjalan ke arah menuju pintu ke dalam rumah sakit.
" Aku sudah lama menjadi Dokter dan mempelajari banyak hal. Ya jika itu keputusan mu. Itu hak yang kamu miliki dan aku tidak akan cerita masalah ini kepada siapa pun, termasuk ke orang tuamu. "
Lalu tiba-tiba hujan turun dan memaksa Riota ikut masuk ke dalam melalui tangga bersama dengan Dokter Martha.
Riota dan Dokter Martha berpisah di persimpangan lorong dan Riota menuju ke kamar tempat Linra di rawat.
Ketika Riota masuk, Mamahnya langsung bertanya kepadanya ketika sedang duduk di sofa.
" Riota... Ada apa Dokter Martha mau bicara dengan dirimu? Apa tentang masalah istri kamu ini? "
Riota menutup pintu kamar itu dan tersenyum seakan tidak terjadi sesuatu apa-apa.
" Tidak kok, Mah. Semuanya baik, hanya katanya jangan di tinggal cukup lama Linra, takutnya di sewaktu-waktu bangun dan cerita masalah tubuhnya. "
Mamahnya Riota memang terlihat khawatir.
" Syukurlah kalau baik-baik saja. "
Riota lalu duduk di samping kiri Linra di tempat tidur sambil mengelus dahinya dan bicara.
" Mamah dan Papah bisa bisa pulang dengan tenang. Aku akan menjaga Linra di rumah sakit. "
Mamah dan Papah Riota saling melirik dan Papahnya bicara.
" Kamu yakin sendirian di sini menjaganya? "
Riota tersenyum tipis.
" Iya. Lagi pula dia istriku, jadi tidak perlu khawatir. Kalian berdua bersenang-senang lah dengan Lillia dan anaknya, jangan pikiran Riota di sini. "
Kedua orang tua Riota sebenarnya tidak tega meninggalkan sendiri Riota yang menjaga Linra di rumah sakit sendirian.
Akan tetapi mereka berdua melihat keseriusan Riota dan membiarkan dirinya bersama istrinya.
Mungkin itu juga yang terbaik.
Ketika hari semakin larut dengan hujan yang masih rintik-rintik.
Kedua orang tua Riota pulang dan meninggalkan Riota menjaga Linra sendiri di rumah sakit.
Suasana di kamar itu sunyi dengan hanya ada suara mesin detak jantung yang memperlihatkan denyut jantung Linra yang masih stabil.
Riota menggenggam erat telapak tangan kirinya dan menyatukan jari-jarinya di telapak tangan Linra lalu menciumnya.
" Mcchh... Loe harus bangun, Linra. Semua sedang bergembira akan menyambut tahun baru dan gue udah berencana untuk kita bakar-bakar berdua di rumah dan pengen godain loe lagi, pengen tidur di samping loe lagi, gue harap loe bangun, jangan bikin gue khawatir begini. "
Wajah Linra terlihat tidak ada yang berbeda dan masih seperti orang layaknya sedang tidur.
Hari itu Linra hanya bangun di pagi menuju siang itu saja.
Esoknya di pagi yang mendung kembali.
Riota bangun dari tidurnya yang dimana dirinya tidur di sofa sambil memakai bantal miliknya yang ia sudah bawa sebelumnya.
Beberapa pakaian ganti sudah di siapkan di koper besar untuk menjaga Linra di rumah sakit.
Namun kali ini Riota tidak melihat tanda-tanda Linra bangun dan tidurnya masih dalam posisi yang sama seperti sebelumnya.
" Linra... "
Dokter Martha dan asistennya kembali datang membawa makanan di pagi itu.
Riota yang baru bangun dan kesiangan langsung menghampiri Linra.
Hampir beberapa hari Linra benar-benar tidak bangun dan terkesan seperti dirinya dalam kondisi koma.
Kegiatan Riota di rumah sakit itu hanya menjaga Linra dan setiap makan minumnya selalu menitip kepada Dokter Martha.
Sesekali Riota menanyakan kondisi Linra kepada Dokter Martha.
Namun kata Dokter Martha tetap demikian, bahwa Linra benar-benar seperti sedang tidur dan kondisinya normal.
Walau kondisinya di katakan normal, Riota benar-benar tidak habis pikir dengan kondisi yang aneh di alami dirinya tersebut sampai-sampai Riota takut dan terus kepikiran dalam otaknya.
Menjelang hari dimana tahun baru akan tiba.
Pagi yang mendung itu mengejutkan Riota ketika dirinya tiba-tiba di temui oleh seseorang yang dimana ia kenal sekali.
Yaitu Derta.
Derta memakai sweeter hitam dengan celana panjang putih dan sepatu pantopel hitam dan rambut tertata rapih ke arah kiri.
Derta duduk di ruang tunggu luar dekat kamar Linra di rawat, dimana Dokter Martha mengabarkan ada yang ingin bertemu dengan Riota.
Sontak Riota terkesan tidak enak wajahnya ketika melihat kedatangan mantan Manajer itu ketika ia masih bekerja.
" Pagi, Riota. "
Riota menghampiri Derta.
" Ternyata yang mau menemui gue itu adalah loe? "
Derta lalu berdiri dari kursinya dan menatap serius Riota.
" Mungkin kamu masih marah kepada saya karena telah memecatmu secara sepihak, tapi ----- "
Riota langsung bicara dengan memotong pembicaraan Derta.
" Gue gak marah sama sekali, cuma kecewa aja dengan sikap loe dan apa yang loe katakan sebelum gue menikahi Linra. Apa loe masih ingat itu. "
Derta menatap dalam Riota.
" Saya memang menepati janji itu bahwa kamu telah menikah dia, tapi memang dasarnya ini adalah keputusan Atasan yang memerintahkan diriku untuk memecatmu, bukan karena aku dendam karena sudah kalah darimu. "
Riota langsung bingung.
" Atasan? Tunggu dulu. Loe itu atas perintah atasan? "
Derta lalu mengayunkan jari kanannya untuk mengisyaratkan duduk dan mendekatinya.
" Saya akan ceritakan kenapa hal itu terjadi dan kenapa saya ingin menikahi dirinya itu. Duduk lah dulu. "
Suasana yang sunyi di pagi itu yang dimana hanya beberapa Dokter dan pengunjung rumah sakit dari keluarga yang juga sama menyewa ruangan khusus itu berlalu lalang di area lorong.
Riota duduk sambil menatap tajam Derta.
" Ceritakan sebenarnya. "
Derta kemudian cerita saat Riota sudah duduk di samping kanannya.
" Kamu tau siapa atasan di perusahaan kita? "
Riota tidak terlalu mengenal dirinya saat bekerja hampir 3 tahun itu.
" Gue jelas kurang kenal dengan atasan. "
Derta menjawab singkat.
" Dia adalah Ayah dari Lia, perempuan satu tim kamu. "
Sontak Riota terkejut.
" Lia?? Lia?? Hah.. Dia? "
Derta kembali menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
" Saya jujur tidak ada kata curang dan permainan cinta itu murni di luar pekerjaan kita, seperti yang sebelumnya saya bilang. Namun entah kenapa secara tiba-tiba saya di panggil dengan komplain dari program mu yang mengalami banyak masalah dari Ayahnya Lia itu. "
" Lalu? "
" Sepertinya Lia tidak suka dengan dirimu yang tiba-tiba menikah dengan Linra. "
Sontak Riota semakin terkejut mendengar kalau misalkan Lia di balik dalang semua ini.
" Loe jangan bicara yang macam-macam. Lia itu satu tim gue yang gak mungkin berhianat, jangan fitnah dia kalau emang loe itu pelakunya. "
Tiba-tiba Gio datang dari balik lorong tempat Lift berada dengan pakaian kemeja biru cerah dan celana hitam dengan sepatu pantopel hitamnya sambil membawa pelastik berisi bungkusan yang Riota tau kalau itu isinya makanan.
" Gio.. Loe di sini juga? "
Gio yang datang dengan tubuh gempalnya itu menghampiri Derta dan Riota.
" Hallo Mas Bro... Gue baru beli makanan untuk loe dan Derta. "
Derta lalu melirik Gio.
" Kamu bisa tanyakan kepada Gio, orang terdekat kamu ini. "
Riota langsung menatap serius Gio.
" Apa benar di balik semua ini adala, Lia? Gio? "
Gio duduk di samping Riota sambil menepuk atas paha kirinya Riota dan wajahnya tertunduk.
" Iya, tingkah Lia berubah semenjak loe tiba-tiba dapat Linra dan menikah dengan nya. Saat loe sakit itu, Lia terlihat bolak-balik ke luar ruangan sambil membawa sebuah drive yang berbeda, saat gue curi-curi pandangan ke bilik Lia, dia kayak lagi otak-atik formula yang loe buat. Gue tau karena gue hapal rincian dan style loe dalamnya. Saat kita mau memperbaiki program loe yang di komplen sama Client, Lia terus seperti sengaja merusaknya di akhir. "
Riota tidak menyangka mendengar sesuatu yang tidak mungkin bisa ia percayai.
" Gak mungkin, dia itu orang terbaik di tim gue. "
Gio menatap serius Riota.
" Ta... Lia itu kayaknya cemburu kepada loe karena mungkin dia juga suka dengan diri loe, tapi kayaknya loe itu hanya menganggap dirinya rekan kerja, hasilnya sepertinya dia membalas ini dengan cara tiba-tiba menusuk dari dalam. "
Derta kembali bicara.
" Kamu tau, aku sampai beberapa minggu tidur di ruangan ku untuk menjaga apa yang sudah di perbaiki oleh Gio dan saya sendiri untuk mengamankan data tersebut. "
Gio mengangguk.
" Benar yang di katakan Derta. Dia malah ngebantu meluruskan semuanya, tapi karena berurusan dengan atasan, mau gak mau Derta harus ikut perintah yang baginya juga tidak bisa di terima. "
Riota benar-benar tidak habis pikir dengan apa yang sudah ia dengar dari sahabatnya sendiri dan Manajer nya itu.
" Jadi semua ini ulah Lia? Loe gak di bayar oleh Derta kan? "
Gio menepuk pundak kiri Riota.
" Kenyataan nya seperti yang loe dengar, Ta. Gue gak nerima apa pun dari Derta. Malah gue yang ngajak dia diam-diam tanpa kasih tau Lia, berhubungan libur mau menjelang tahun baru. "
Riota melihat ke arah Derta.
" Jadi ini semua bukan ulah loe? "
Derta menatap serius.
" Iya. Kenyataanya satu tim mu itu yang menjatuhkanmu secara sepihak walau aku sudah mencoba mempertahankan dirimu dengan menyebutkan kelebihan dan telatennya kamu bekerja, tapi itu semua percuma. "
Tiba-tiba ada sosok anak perempuan yang umurnya sekitar 5 tahun memakai Dress berwarna merah gelap dengan rambutnya yang panjang di hiasi bando berwarna putih.
" Papah.... Tempat ini luas... "
Riota terkejut mendengar anak itu memanggil Derta Papah.
" Papah?? "
Derta memangku anaknya yang imut itu dan tersenyum.
" Iya, dia adalah anak saya yang bernama Vanessa. "
Vannesa melihat wajah Riota dan Riota melihat Vanessa.
" Anak? Artinya loe udah punya istri? "
Gio tersenyum dan menggoda Vanessa, Derta lalu menjawab pertanyaan dari Riota itu.
" Iya, saya memang sengaja menutupi apapun mengenai keluarga dari pekerjaan agar bisa terbagi antara fokus dan di rumah. Akan tetapi istriku sudah tiada beberapa tahun lalu. "
Riota benar-benar baru tau kalau Derta ini sudah punya istri dan anak yang berusia balita.
" Apa? Kenapa? "
Derta mengelus kepala Vanessa yang sedang bermain dengan Gio.
" Kecelakaan. Hanya itu. Alasan saya ingin menikahi dirinya dan ingin merebutnya dari kamu adalah, karena masakan dan dirinya mirip sekali dengan istriku yang telah tiada, walau agak tinggi sedikit di banding istrimu itu. Tapi saat melihat foto itu mengenakan Dress dan makanan tersebut, pikiran saya langsung teringat kepada dirinya yang telah tiada, karena itu lah aku tidak peduli jika harus merebutmu kalau saat itu kamu belum mau menikahi nya. Tapi saat kamu berani ambil keputusan itu, sepertinya memang kalau dirinya tidak tercipta untuk diriku. "
Derta terdiam sejenak dan tertunduk.