Aku kembali ke kamar, melanjutkan tidur, sedangkn Hanan memilih bertahan di ruang tengah sambil menonton TV.
Hani telah lama lelap dalam tidurnya ketika aku kembali. Dia sepertinya benar-benar kelelahan, tidak heran sekarang terbaring dengan damai di tengah malam yang tenang.
Aku membuka koper, mengambil kotak yang berisi note book coklat yang aku beli beberapa hari lalu. Setelah menemukannya, aku kembali ke ruang tengah menemuinya.
Lalu, menyerahkan padanya sebagai hadiah ulang tahun.
"Notebook, kenapa harus notebook ?", tanyanya setelah membukanya.
"Ketidakmungkinan yang kita tulis bisa saja berubah menjadi mungkin karena mungkin saja masih ada keajaiban berikutnya", ucapku padanya.
Menulis itu seperti mengabadikan doa. Tulis saja semua kemustahilan itu karena keajaiban mungkin mengubahnya menjadi mungkin.
Sesuatu bisa saja merupakan hal yang paling gila untuk diwujudkan hari ini. Ketika kita membuka kembali catatan lama beberapa tahun setelahnya, banyak hal yang tadinya terdengar gila sekarang berhasil kita raih.
Sudah beberapa kali aku membuktikannya sendiri. Sesuatu yang awalnya terasa mustahil, pada saat yang tepat akan menjadi kenyataan. Aku menceritakan filosofi tentang manfaat menulis padanya berdasarkan pengalaman pribadiku.
"You'd try if you've some impossible dreams", lanjutku mengakhiri cerita yang agak panjang.
Dia hanya mengangkat alis, lalu melirik notebook sekilas. Aku hanya tersenyum dan berharap dia akan menemukan kebahagiaan lain yang tidak ada kaitannya denganku.
Semoga keajaiban berikutnya akan datang padanya seperti keinginannya. Setelah itu, aku kembali ke kamar karena mulai mengantuk.
"Anyway, thank you for surprise, noodle, this notebook, and thank you for your nice story", ucapnya sebelum aku meninggalkannya.
"Thank you for bringing a miracle into my life", lanjutnya ketika aku sudah di tangga menuju ke kamar.
Aku hanya menoleh sesaat, lalu meninggalkannya. Kata-kata yang diucapkannya terlalu manis dan tidak tepat ditujukan padaku.
Sehingga, untuk kesekian kalinya, kata-kata itu masih terdengar cliché di telingaku.
"Ara, thank you to be my friend", lanjutnya setelah aku tidak menoleh lagi.
Aku hanya tersenyum, sesaat kemudian senyum itu lenyap bersama bayangan Ryan yang terlintas dalam pikiranku.
Ah, Ryan terlalu sulit dimiliki.
Ryan adalah 1 dari 3 mimpi yang belum terwujud dari seluruh dream list yang telah kutuliskan beberapa tahun silam.
Semoga saja, keajaiban itu menampakkan wujudnya dan membawaku ke dalam dekapan halal Ryan.
Lagi-lagi, aku berharap.
Harapan yang tidak pernah pasti.
Harapan yang selalu mampu membuat aku terombang-ambing tidak berdaya menghadapi realita.