Aku menarik selimut dan berbaring. Seperti biasa, tidak butuh waktu lama agar benar-benar terlelap.
Durasi kematian sesaatku malam ini sangat singkat, hanya sekitar 2-3 jam. Tidur malam sesingkat itu sama seperti sekali mengedipkan mata, terlalu cepat berlalu.
Benar saja, tanpa terasa adzan shubuh yang berkumandang dari handphone memecah kesunyian di antara manusia yang terlelap.
Aku bangkit dengan penuh perjuangan, melawan semua godaan untuk melanjutkan tidur panjang. Usai shalat, aku tidur kembali karena Hani masih tertidur lelap.
Tapi, kemudian, aku mengurungkan niat itu. Aku bangkit, berjalan menuju kamar mandi dan membiarkan air mengguyurku seluruhnya. Rasa kantuk hilang seketika bersama guyuran air pagi yang dingin dan segar.
Aku mengelilingi daerah di sekitar villa tanpa tujuan. Menyusuri pantai seperti tourists lain, menikmati irama ombak dan angin laut yang menyatu dengan alam, melebur bersama perasaanku yang masih sangat tidak menentu.
Kacau sekali..
Ada perasaan tidak nyaman yang mengusik batin, aku masih belum bisa memikirkan hal lain, selain Ryan yang secara tidak langsung mencampakkanku.
Ah, mencampakkan?
Bagaimana bisa disebut seperti itu?
Sejak kapan Ryan merangkulku dengan kesungguhan?
Tidak pernah.
Aku hanya terlalu terbawa perasaan, hanyut begitu dalam pada pemikiranku sendiri.
Bahkan, aku sama sekali tidak tahu apa yang sebenarnya ada dalam pikirannya.
Faktanya, tetap saja, pengabaian tidak langsung darinya mampu membuatku merasa seperti ingin meninggalkan semua kehidupan yang membosankan ini.
Banyak sekali yang ingin aku tinggalkan, tapi takut akan pahitnya perpisahan. Banyak sekali yang ingin aku musnahkan, tapi takut akan pahitnya kehilangan.
Keambiguan yang tanpa ujung, melelahkan sekali.
Ada saat dimana perasaanku menjadi sangat sensitif, lalu berubah apatis seperti tidak memiliki hati dan perasaan. Tidak banyak yang aku pahami tentang alasan di balik semua sikap itu, mungkin bawaan lahir atau hanya penampilan luar.
Aku bahkan lupa seperti apa diriku yang sebenarnya karena sudah sangat lama hidup dalam kepura-puraan, hidup dipenuhi kebohongan, hidup dalam berbagai penyamaran dan penyangkalan yang sempurna.
Aku terus merenung, tanpa sadar air mata mengalir perlahan membasahi pipi. Air mata itu jatuh, tanpa alasan yang masuk akal.
Mungkin, aku hanya lelah.
Lelah dengan kehidupan yang membingungkan.
Kebingungan yang menyedihkan ini membuatku berjalan menyisir pantai. Mengusir semua kerapuhan agar tersapu bersama ombak.
Jika saja, jika saja, jika saja aku tidak paham tentang konsekuensi kehidupan dan kematian, aku akan membiarkan ombak menghanyutkan dan menenggelamkanku hingga ke dasar palung samudera.
Dengan begitu, mungkin aku akan dapat mengetahui bagaimana dan sebagai apa Ryan mengukir namaku di hatinya?
Semoga saja, bukan hanya itu pilihanku.
Tidak, jika hanya itu cara yang tersisa untuk mengetahui semuanya, jika hanya cara itu yang tersisa untuk mengurai semua benang kusut, maka AKU MEMILIH MENYERAH.
Hingga kapanpun, semua akan terkubur, karena aku tidak ingin menanggung, tidak akan mampu bertanggungjawab atas semua konsekuensi menakutkan yang telah diperingatkan kepada semua manusia yang semestinya tetap bertahan hidup, meskipun tidak lagi memiliki keinginan untuk melanjutkan hidup.
Aku hanya memandang ujung samudera yang entah di mana ujungnya. Mencoba membuang semua emosi buruk dan mengumpulkan ketenangan dari tempat yang jauh.
Setelah cukup tenang, aku kembali ke villa.
***