Chereads / Keajaiban untuk Hati / Chapter 131 - Perang Dingin

Chapter 131 - Perang Dingin

Aku kembali ke villa pada saat mereka baru akan meninggalkan villa untuk mengunjungi beberapa tempat di sekitar Phuket. Aku juga bergabung bersama mereka, meskipun hatiku kembali kacau saat menatap Ryan.

Hatiku kembali hancur. Bagaimana bisa, bagaimana bisa pengaruhnya begitu besar untukku. Ryan selalu berhasil membuatku merasakan sakit yang teramat dalam. Bahkan, hanya dengan menatapnya sekilas, aku kembali tidak bisa merelakannya begitu saja.

Akhir-akhir ini, aku mulai mempertanyakan benarkan itu cinta atau hanya obsesi yang semakin liar menjeratku ?

Aku tidak lagi bisa membedakannya.

"Ara dari mana aja?", tanya Tante Lusi.

"Dari pantai", jawabku dengan nada datar lalu tersenyum.

***

Kami mengunjungi beberapa situs bersejarah dan mendapat beberapa informasi tentang tempat-tempat yang masih dijaga kelestarian dan budayanya. Tapi, tidak ada satupun yang membuatku tertarik karena pikiranku sedang tidak menentu.

Kemudian, aku mengandeng lengan Tante Lusi dan mencoba memisahkan diri dari semua orang dengan memperlambat langkah karena ingin menanyakan pendapatnya mengenai keputusan untuk hari-hari berikutnya yang telah menantiku.

"Ara kenapa?", tanyanya.

"Tan, Ara udah pesan tiket untuk pulang", ucapku.

"Kenapa tiba-tiba ?", tanyanya.

"Ara harus pulang untuk meyakinkan Bunda dan Ayah. Tante juga harus bantuin Ara untuk yakinin mereka, ya?", ucapku.

"Iya, tenang aja. Tante pasti bantu", ucapnya sambil menepuk punggung tanganku, lalu tersenyum.

Aku ikut tersenyum. Di antara semua orang, aku bisa mendiskusikan banyak hal bersama Tante Lusi; seseorang yang akan selalu mendukung keputusanku dan menasehatiku jika salah langkah, seseorang yang sudah seperti ibu kedua untukku.

"Terimakasih, Tan", ucapku.

***

Usai mengunjungi beberapa tempat, kami singgah di salah satu restoran untuk makan siang. Uncle Mikail memilih meja yang cukup lebar supaya cukup menampung kami semua.

Tidak banyak yang kami bicarakan, selain diskusi dalam menentukan pilihan menu. Meski demikian, semua terlihat bahagia.

Setelah makan, kami terpisah menjadi dua rombongan karena pihak orangtua memilih destinasi yang berbeda. Mereka sengaja memisahkan diri tanpa alasan, tapi tidak ada yang keberatan.

Bella mengusulkan destinasi berikutnya adalah perburuan, yaitu berburu beberapa oleh-oleh. Usulannya disambut antusias oleh Anne dan Hani, para pria juga tidak keberatan.

Mereka kompak melirik ke arahku meminta persetujuan, lebih tepatnya mengisyaratkan aku tidak punya pilihan selain ikut serta.

Aku terpaksa mengikuti mereka. Sebenarnya, itu bukan ide yang buruk karena aku berhasil mendapatkan jaket kulit yang selama ini sangat diinginkan oleh dua adik kembarku.

Aku memilih jaket kulit hitam untuk Riza, dan jaket coklat untuk Razi. Setelah membayar ke kasir, aku masuk ke café dan meninggalkan mereka yang masih sibuk dengan dunianya.

Selain itu, aku juga ingin menghindari Ryan. Jika tidak, mungkin aku tidak akan sanggup pergi. Jika tidak, mungkin aku akan melepaskan semua rencana masa depan yang selama ini terus aku pejuangkan.

Jika saja, jika saja Ryan mencintaiku, aku bisa melepaskan semuanya hanya untuk bersamanya. Aku bisa meninggalkan semuanya dan menjadikan mimpinya sebagai mimpiku, menjadikan tujuannya sebagai tujuanku. Tapi, Ryan tidak pernah memberiku kesempatan.

***

Setelah cukup lama menunggu, setelah minumanku hampir lenyap dari gelas, meraka menyusul dengan beberapa tas belanjaan. Ryan hanya memegang satu tas belanjaan, tapi Harraz membawa banyak belanjaan. Awalnya aku mengira itu belanjaannya, tapi ternyata dia hanya membantu membawakan belanjaan para wanita.

"Perempuan kalau dalam hal shopping macam tak ada hari esok", ucap Hanan yang langsung duduk berhadapan denganku.

"Semua perempuan memang macam ni, hobby shopping", sahut Harraz yang baru saja meletakkan barang belanjaan para ladies di lantai.

Bella langsung protes ketika Harraz meletakkan belanjaannya di lantai, protes berikutnya disusul Anne dan Hani. Dia tidak menanggapinya dan langsung memanggil waitress untuk memesan minuman.

Anne yang biasanya sering diam, juga ikut angkat bicara tentang perempuan dan kebiasaan shopping-nya.

Menurutnya, perempuan pada umumnya senang menghabiskan waktu untuk belanja. Banyak perempuan yang bahagia meskipun hanya melihat-melihat dan menawar barang tanpa niat membeli alias window shopping.

"Sebagian besar perempuan macam tu", tegasnya di akhir cerita dan disetujui oleh Bella dan Anne.

Harraz juga setuju dengan pendapat Anne. Menurutnya, bagi kebanyakan perempuan, shopping memberi kesenangan sendiri. Berbanding terbalik dengan laki-laki yang menganggap hal tersebut sama dengan membuang waktu. Tapi sebagai perempuan, aku sama sekali tidak menyukai segala aktivitas shopping yang memakan waktu.

"Ara tak macam tu, she hates shopping so much", ucap Ryan.

"I just hate everything", ucapku tidak ramah.

Lalu tersenyum tipis padanya. Tidak, itu bukan senyuman karena terlalu jelas memaksakan. Kemudian, aku meraih gelas minuman, mencoba menghindarinya.

Ryan hanya menatapku keheranan dan dipenuhi pertanyaan, tapi tidak menanyakan apapun lagi. Mereka juga menyadari perang dingin di antara aku dan Ryan, tapi memilih tidak berkomentar.

Bagaimanapun, mereka mengerti bahwa ada batas-batas tertentu yang tidak bisa dilewati; Privasi.

"Let's close the topic about shopping", ucap Harraz mencoba mencairkan suasana.

***