Aku memesan minum untuk kedua kalinya. Tidak, lebih tepatnya, Ryan yang menambah pesanan untukku karena sejak tadi aku hanya menyedot gelas kosong yang menghasilkan suara "sshhhrrrrr". Aku hanya tidak menyadari suara bising yang dihasilkan dari sana.
"Kak Ara, are you okay ?", tanya Hani.
"I'm okay, I'm fine", jawabku.
"All's right, then", jawabnya.
I should say that I am fine even when I am not fine. Benar, aku harus mengatakan sebaliknya. Aku harus mengatakan aku baik-baik saja ketika aku tidak baik-baik saja. Meskipun, aku mengeluhkan seluruh penderitaanku, tetap saja percuma, Ryan juga tidak akan menoleh padaku.
"Esok kita dah balik KL, pasti susah nak lepak macam ni, semua orang sibok buat kerja sendiri", lanjut Hani yang tiba-tiba melankolist.
"Apasal tiba-tiba adek melankolist sangat ? Hari-hari pun boleh jumpa dekat rumah", ucap Harraz meledek adiknya.
"Dia ni asal bunyi ja, cakap elok jumpa dekat rumah, habis tu Angah pasti balik kat Seoul", jawab Hani.
"H-oh, superstar kita harus balik ke Soeul. By the way Harraz, you tampaknya tak seberapa famous, buktinya tak ada fans yang terserempak dekat sini", ucap Bella.
"You're wrong about that. I gained so much popularity since my first mini-album released three years ago, but my fans always respect my privacy. They only follow me on my official schedule", jawab Harraz membela diri.
Apa yang dikatakan Hani benar, setelah hari ini berakhir, semua orang akan kembali menjalani rutinitas masing-masing, kembali disibukkan dengan pekerjaan masing-masing.
Aku juga berencana pulang ke Indonesia. Mengurus beberapa hal yang harus segera diuruskan agar tidak melewatkan kesempatan baik yang mungkin tidak akan terulang untuk kedua kalinya.
Kemudian, pelan-pelan belajar melanjutkan hidup. Pelan-pelan menata kembali impian dari awal. Pelan-pelan menghapus jejak seseorang yang masih membekas dalam hati.
Jika aku cukup beruntung, mungkin aku akan jatuh cinta sekali lagi. Jatuh pada hati yang tepat, jatuh untuk orang yang tidak akan pernah mengecewakanku.
"I've settled a ticket, my flight on Thurday", ucapku.
Pernyataanku membuat mereka kaget, kecuali Ryan yang dari awal sudah tahu tentang niatku yang ingin kembali ke Banda Aceh. Hani dan Bella langsung memburu dengan berbagai pertanyaan, bahkan Anne ikutan mendesak dengan banyak pertanyaan.
Aku menjelaskan masa liburan yang aku rencanakan memang singkat dan harus kembali dalam waktu dekat. Tapi, anehnya mereka masih tidak sepenuhnya percaya bahwa aku tidak berasal dari Malaysia.
Semua ketidakpercayaan itu terjadi karena logatku yang hampir sama seperti mereka. Padahal aku hanya mencoba menyesuaikan diri dan lebih sering menggunakan bahasa inggris jika tidak tahu pengucapan yang tepat dalam bahasa Melayu.
Hanan ikut memastikan niatku usai para ladies membombardirku dengan pertanyaan. Aku mengangguk yakin menanggapinya. Harraz ikut menimpali keputusanku yang seakan terburu-buru memutuskan pulang.
Sedangkan Ryan, hanya diam dan sama sekali tidak bertanya apapun padaku.
"Masa liburan sudah berakhir", ucapku.
"Tidak ada lagi alasan untuk tetap tinggal", gumamku nyaris tidak terdengar.
Jawabanku membuat mereka diam sekaligus heran, meski pada akhirnya mereka mengerti alasan di balik keputusanku.
Lagipula, masa liburanku sudah saatnya diakhiri. Aku pun sudah mendapatkan jawaban dari seluruh pertanyaan yang tidak terjawab sebelumnya. Selain itu, banyak hal penting yang menanti untuk diselesaikan.
Beberapa hari yang lalu, aku telah menerima balasan email yang telah lama aku nantikan. Balasan email itu mendorongku untuk segera pulang ke rumah, membujuk orangtuaku agar mengizinkanku untuk melanjutkan master degree di London.
Sebelumnya, aku tidak berharap banyak akan diterima di Imperial College London, tapi mimpiku menjadi kenyataan saat pihak kampus mengirimkan LoA. Profesor Celine Fang juga telah mengirim email balasan dan menerimaku menjadi bagian tim riset-nya.
Sejak setahun yang lalu, aku sangat ingin bergabung dalam tim Prof. Fang, aku juga telah membaca banyak jurnalnya yang fokus pada aplikasi dan inovasi bioannorgik. Dan, masih banyak alasan yang membuatku tidak boleh melewatkan kesempatan ini.
Aku memang tidak ingin melenyapkan kesempatan berharga ini, tapi juga tidak bisa memastikan apapun karena banyak sekali hambatan yang akan menantiku.
Bunda akan jadi orang pertama yang akan menentang keinginanku, mungkin hal itu juga berlaku untuk Ayah. Selama ini mereka selalu menentang keinginanku untuk melanjutkan pendidikan ke Eropa. Jika hanya memberiku tiga pilihan, Indonesia, Malaysia, atau Jepang.
Aku sama sekali tidak ingin melanjutkan pendidikan ke Malaysia ataupun Jepang, karena aku hanya jatuh cinta pada ICL, ETH Zurich, dan KAIST. ICL atau KAIST untuk master degree, dan ETH Zurich untuk PhD.
Untuk berjaga-jaga, bahkan aku mempelajari hanggeul dan basic bahasa korea. Tapi, aku sama sekali tidak tertarik mempelajari tulisan kenji supaya orangtuaku tidak mengirimku ke negeri sakura. Jika tidak, aku akan kembali menderita karena pengawasan ketat Om Firman, adik laki-laki Ayah yang telah lama menetap di Tokyo.
***