Chapter 17 - Mulai

Al Kahfi Land, Depok, 2004

Malam ini Widi telah siap untuk kembali ngobrol dengan Uge, ternyata Uge telah mengirim pesan untuk Widi beberapa jam yang lalu.

Besok aku akan ke Depok lagi untuk urusan Al Kahfi Land, mungkin bisa dalam waktu yang cukup lama. Doain aku ya.

Widi tampak kehilangan semangat. Kenapa aku jadi ngerasa kehilangan?

Widi tidak tahu apa yang harus dilakukan untuk membunuh sepi melewati malam di kantor tanpa Uge. Dia pun langsung mematikan komputer dan lampu ruangannya untuk pulang.

Ruangan yang biasanya tetap terang setelah matahari terbenam akan menjadi gelap, karena sekarang Uge telah menjadi satu-satunya alasan Widi berada di sana saat malam.

*****

Kawasan hutan pinus, Depok, 1999

Uge bergerak sangat cepat, hanya dalam waktu satu minggu, ia telah berhasil membeli tanah di kawasan hutan pinus, mengurus legalitas pendirian perusahaan, menyewa ruko sebagai kantor sementara dan merekrut tim awal. Walau belum ada bangunan kantor yang akan ditempati Widi, tetapi Al Kahfi Land secara resmi telah berhasil lahir dari tangannya.

Hari ini Uge dan Pak Nata sedang melihat kesibukan pembangunan pondasi kantor Al Kahfi Land.

"Terima kasih, Pak. Angga enggak nyangka Bapak bersedia membeli kawasan hutan yang sangat luas ini, padahal Bapak tahu, tujuan kita membelinya adalah untuk mempertahankan hutan, bukan cuma bisnis semata," ujar Uge.

Pak Nata tersenyum. "Bapak itu juga enggak nganggap kamu rekan bisnis semata. Sejak pertama kali kamu datang nemuin Bapak untuk ngejelasin rencana bisnis kamu, Bapak langsung kagum. Ternyata masih ada anak muda yang cara berpikirnya jauh ke depan, ngelebihin teman-teman sebayanya yang kebanyakan masih suka ngabisin waktu cuma buat bersenang-senang. Setelah kita sering bekerja sama, Bapak semakin kagum sama Angga. Ternyata Kamu enggak cuma gigih ngejar dunia, anak muda tapi cinta sama masjid. Itulah sebabnya Bapak percaya banget sama kamu dan mau ngedukung semua hal positif yang kamu lakukan tanpa berhitung soal keuntungan. Alhamdulillah rezeki Bapak sudah lebih dari cukup. Kebetulan Bapak ini anak satu-satunya, titipan peninggalan dari almarhum orang tua membuat Bapak tidak terlalu mengandalkan gaji sebagai seorang jaksa untuk menafkahi keluarga."

"Alhamdulillah, Pak. Terima Kasih atas semua dukungannya."

"Bapak juga harus berterima kasih sama kamu. Gara-gara bergaul sama kamu, Bapak dan Ibu jadi mulai istiqomah menjalankan kewajiban dan rutin ikut kamu ke pengajian Ustad Abdullah di Gerlong, padahal tadinya kami sangat jauh dari agama. Oh iya, anak Bapak juga kuliah arsitek di ITB, kalo bisa, kamu kenalan dengan anak Bapak, terus ajak."

"Boleh, Pak. Nanti biar Angga ajak terlibat di kantor ini."

"Bukan urusan kantor, atuh. Anak bapak teh masih lama lulus kuliahnya. Maksud Bapak, Angga bujuk anak Bapak supaya mau ikut juga ke pengajian. Mungkin kalo yang ngajak sama-sama anak muda, anak bapak jadi semangat karena ada temannya."

"Iya, insya Allah nanti Angga ajak setelah dikenalin. Namanya siapa, Pak?" tanya Uge.

"Dewi. Kamu kenal?' tanya Pak Nata.

Uge teringat sosok kembang kampusnya yang sering diceritakan Andi.

"Hmm, belum, tapi mungkin pernah lihat. Saya memang jarang bergaul di kampus. Lebih sering di luar, ngurus proyek."

"Nah, itu! Kamu pekerja keras, tapi kuliah kamu tetap tepat waktu. Kamu cuma tinggal nunggu sidang kan?"

"Insya Allah. Mudah-mudahan enggak ada kendala, Pak."

"Aamiin. Insya Allah lancar."

Suara adzan terdengar sayup-sayup dari kejauhan.

Uge melirik jam tangannya. "Sudah masuk waktu zhuhur, Pak."

"Wah, kayaknya masjidnya lumayan jauh. Nah, nanti kalo di sini sudah ramai, bapak nitip, Angga bangun masjid untuk orang-orang di sini ya."

"Iya, Pak. Insya Allah."

"Yuk, kita berangkat ke masjid, kita ingetin yang lagi pada kerja juga," ajak Pak Nata.

*****