ITB, Bandung, 1999
Usai melaksanakan sholat, Uge dan Dewi melanjutkan perbincangan mereka di salah satu taman ITB yang jarang dilewati orang. Uge memilih tempat ini agar tidak mengundang gosip.
"Sebelum diskusi kurikulum, aku boleh tanya hal lain yang agak berat enggak?" tanya Dewi.
"Mudah-mudahan aku punya bobot yang cukup untuk menahan beban pertanyaan kamu," jawab Uge.
Dewi tersenyum. "Kamu yakin Tuhan itu ada?"
Uge terkejut dengan pertanyaan ini, wajahnya berubah serius.
"Beneran berat ternyata. Yakin!" jawab Uge.
"Alasannya?" tanya Dewi.
"Karena aku arsitek," jawab Uge.
"Apa hubungannya dengan arsitek?" tanya Dewi heran.
"Alam semesta merupakan karya arsitektur menakjubkan, masa enggak ada arsiteknya?"
Dewi tertawa. "Emangnya semua karya menakjubkan layak disebut karya arsitektur? Danau Toba itu menakjubkan, tapi itu bukan karya arsitektur. Kalo Candi Borobudur, itu jelas karya arsitektur! Karena punya banyak indikasi yang membuktikan bahwa karya tersebut lahir dari gagasan, bukan peristiwa alam yang kebetulan. Pasti ada perencanaan, penelitian, konsep, desain, hitungan dan sebagainya."
"Memangnya alam semesta dan isinya ini peristiwa alam yang kebetulan? Oke, sebentar ya."
Uge mengumpulkan beberapa batu, lalu meletakkannya di meja dan menyusunnya menjadi bentuk segitiga.
Dewi malah merubah susunan batu-batu itu menjadi segi empat. "Maaf ya, jadi iseng, hehe. Terus?"
"Namanya juga arsitek. Oke, setelah kita pergi, ternyata ada orang yang datang melihat ini. Dia percaya enggak, kalo ada yang bilang batu-batu ini tersusun sendiri?" tanya Uge.
"Walau sederhana, tapi punya indikasi ada orang yang menyusun."
Uge tersenyum. "Seharusnya sudah terjawab, tapi kita lanjut biar semakin menarik. Sekarang coba kamu bikin, satu batu aja! Ngambang, berputar pada sumbu, berkeliling sesuai orbit dan dengan waktu yang konstan. Bisa enggak?"
"Bisa, tapi butuh bantuan para ahli."
"Betul! Baru niru gerakan satu planet aja, kita butuh ilmu pengetahuan. Gimana kalo aku minta batu ini kamu bikin jadi miniatur bumi?"
"Semakin detail, tentu semakin sulit dan butuh lebih banyak ahli dari berbagai disiplin ilmu. Sepertinya malah enggak mungkin, kalo harus termasuk lapisan atmosfer, siklus musim, pergerakan lempeng tanah, air, angin, lava dan sebagainya."
"Anggap aja para ahli bisa! Tapi agar sebuah karya bisa tercipta, yang paling penting adalah harus ada subjek awal yang punya gagasan dan mampu membuat semua instrumen mewujudkan keinginannya"
Dewi tersenyum. "Harus ada Sang arsitek! Oke, aku paham. kalo susunan batu segi empat ini aja, kita enggak percaya tersusun dengan sendirinya, apalagi alam semesta dan isinya yang sangat kompleks. Kita bahkan belum ngomong tentang makhluk hidup yang juga jelas terlihat sangat mekanis. Masa maha karya sehebat itu enggak ada arsiteknya? Gitu ya?"
"Ya, ini sih hanya pendapat dari mahasiswa arsitek yang baru lulus."
"Soal Tuhan sudah terjawab, Angga. Tapi aku masih punya pertanyaan lain. Kenapa harus ada agama? Bukankah tanpa agama orang tetap bisa jadi baik."
Uge tersenyum. "Anggap kamu lagi jadi arsitek sebuah proyek. Gimana kalo ternyata anak buah di lapangan mengeksekusi pekerjaan enggak sesuai dengan keinginan kamu? Disuruh pakai cat putih, malah jadinya hitam, disuruh bangun 5 tiang penyangga, malah cuma bikin 1, kamu pilih tema minimalis, malah jadinya etnis, karena menurut mereka bangunannya baik-baik aja. Masalah enggak?"
"Banget! Hehe."
"Nah! Menurutku, agama itu merupakan tuntunan dan aturan supaya manusia hidup sesuai dengan keinginan penciptaNya."
Dewi mengangguk-anggukan kepala. "Terus, kenapa ada banyak agama? Masak arsitek ngasih banyak alternatif gambar? Bisa kacau."
"Emang enggak mungkin, kan? Kalo di meja orang lapangan ada banyak pilihan gambar. Mungkin ada orang lain yang iseng naro."
Dewi tertawa. "Hmm. Terus gimana caranya supaya kita tahu mana gambar yang bener?"
"Kita harus berusaha mengenali Sang Arsitek."
Uge mengeluarkan gambar sketsa bangunan dari dalam tasnya, lalu menunjukkannya pada Dewi. "Keren enggak sketsa bikinanku?"
Dewi mengamati gambar itu. "Bukan! Ini sih buatan Pak Dheng! Dosen kita."
"Kok kamu tahu?"
"Karena aku sering ketemu Pak Dheng."
Uge tertawa. "Emangnya kamu doang? Mahasiswa arsitek lain belum tentu tahu kalo ini buatan Pak Dheng. Kamu bisa bedain, karena kamu serius belajar arsitektur."
Dewi tersenyum. "Kamu membuat kepusinganku selama ini jadi sederhana, tapi kok banyak orang-orang yang menurutku pintar, malah jadi atheis atau agnostik?"
"Enggak ada hubungannya atheis atau agnostik dengan kepintaran. Gimana caranya nunjukin keindahan sebuah bangunan yang padahal berada tepat di depan kita, kalo kita lebih suka menutup mata?"
Dewi terlihat puas dengan jawaban-jawaban Uge. "Makasih banget ya, Angga, udah mau ngobrol masalah ini."
"Saranku, mending kamu datang ke pengajian. Belajar itu harus sama ahlinya. Kalau mau ikut ke pengajianku, nanti kita bisa sama-sama belajar di Gerlong."
"Aku mau."
"Nanti aku kasih tahu jadwalnya. Oh iya Dewi, kita belum ngebahas kurikulum."
"Aku sih enggak lupa, aku sengaja enggak interupsi karena menikmati dan menurutku penting. Angga, sebenarnya selain soal kurikulum, aku mau diskusi lebih banyak lagi tentang hal lain sama kamu, tapi aku harus pulang sekarang, boleh minta nomor kamu?" minta Dewi sambil mengeluarkan ponselnya.
"Enggak punya. Gimana kalo aku aja yang hubungin kamu dari wartel? Kamu mau ditelepon kapan?" tanya Uge sambil mengeluarkan pulpen dan kertas.
Dewi mengambil kertas dan pulpen dari tangan Uge, lalu mencatat nomor teleponnya.
"Ini nomor telepon rumah. Kalo malam ini, bisa?" tanya Dewi sambil mengembalikan pulpen dan kertas Uge.
"Insya Allah bisa," sahut Uge.
Setelah sedikit berbasa-basi, mereka pun berpisah.
Uge tidak beranjak pulang. Perasaan aneh mendadak muncul di hatinya, sehingga alam pikirannya berdebat sengit. Tampaknya Uge si anti kerumunan telah kehilangan konsistensi dalam hal 'tidak sejalan dengan selera pasar'. Ia telah terseret gravitasi Dewi.
Sejujurnya sosok Widi memang hanya imajinasi yang gue bentuk dari kalimat yang dia tulis, sedangkan Dewi hadir secara nyata dan bisa bikin gue jatuh cinta. Walaupun begitu, seandainya Widi bilang mau terima gue apa adanya saat ngelamar dia 5 tahun lagi, gue siap nunggu dan akan terima dia apa adanya. Sayangnya Widi enggak pernah nganggap lamaran gue serius. Jangan-jangan Andi betul. Apa iya gue harus nunggu 5 tahun?
Pikiran Uge sedang tergoda untuk mempertimbangkan saran Andi. Tiba-tiba tepukan halus mendarat di pundak Uge.
"Aku masih kepengen ngobrol lebih lama, tapi kali ini buat ngebahas hal-hal enteng aja. Kamu mau anterin aku pulang enggak?" tanya Dewi.
Uge tercengang, wajahnya terlihat senang. "Kamu bukannya dianter supir?"
"Bosen. lagi mau pulang jalan kaki sambil ngobrol. Kalo capek, kita sambung naik angkot, mau?"
"B-boleh."
*****