Tanah Jawa menjadi salah satu pasar paling menjanjikan bagi para pedagang baik dari wilayah Nusantara maupun Mancanegara. Beberapa diantaranya datang dari India, Jazirah Arab, Persia, Tiongkok, dan Mongolia. Yang menjadi ketertarikan mereka adalah karena populasi masyarakat Tanah Jawa yang padat dan cenderung konsumtif. Selain itu, di Tanah Jawa terdapat banyak rempah-rempah yang bisa mereka bawa kembali untuk diperjual belikan di wilayah lain. Begitulah cara pedagang di zaman itu menjalankan usahanya. Datang dengan menjual barang dari negeri lain, kemudian kembali membawa barang dari negeri tujuan dagang sebelumnya. Cara ini adalah bentuk dari kecerdasan strategi mereka dalam memanfaatkan setiap peluang. Tak jarang mereka mampu bermetamorfosa menjadi perusahaan besar dengan aset melimpah. Kepemilikan kapal yang tidak sedikit adalah bukti keberhasilan mereka dalam berniaga.
Para pelaku niaga ini biasanya sangat dianak emaskan oleh para Raja di negeri yang didatanginya. Sebab, kegiatan mereka memberikan sumbangsih yang besar bagi keberlangsungan perekonomian negara. Ditambah lagi penerapan pajak niaga yang cukup besar. Di wilayah Nusantara, Kesultanan Malaka menjadi yang paling diuntungkan oleh aktivitas tersebut, wilayah perairannya merupakan gerbang utama jalur kapal yang hendak menuju ke Nusantara serta wilayah lain di lingkungan pasifik. Sebab, semua pedagang yang berasal dari India, Arab, Afrika dan Persia pasti akan berlabuh sejenak di Selat Malaka setelah menempuh perjalanan panjang mengarungi Samudera Hindia. Tentu saja singgah tak sekadar singgah. Terkadang mereka memanfaatkan waktu singgahnya untuk berdagang jua.
Namun, tidak semua pihak akan menyambutnya dengan ramah. Beberapa wilayah perairan juga rentan akan ancaman bahaya selain ancaman bencana dan cuaca buruk. Mereka adalah para Perompak Kapal alias Bajak Laut. Untuk itu tak jarang kapal-kapal mereka dipersenjatai oleh beberapa meriam dan pasukan panah. Terkadang juga mereka menyewa Kapal Pengawal Khusus yang berlayar beriringan untuk melindunginya selama di perjalanan.
Lain di laut lain pula di darat. Lolos dari begal di perairan bukan jaminan untuk kemudian aman dari Begal Darat. Perampok di darat justru lebih ganas daripada di laut, sebab gerakannya lebih leluasa dalam menjalankan operasinya. Beberapa kelompok perampok bahkan mempunyai wilayah kekuasaannya sendiri dengan markas tersembunyi yang sulit diketahui oleh pihak keamanan kerajaan. Memang sebetulnya banyak kelompok begal kelas teri yang hanya berani merampok pedagang lokal atau permukiman penduduk desa, tetapi semuanya cenderung berumur pendek, selalu berhasil ditumpas oleh pihak keamanan. Tetapi kelompok besar dengan persenjataan lengkap dan pasukan yang berjumlah ratusan bahkan ribuan akan selalu menyulitkan bagi pihak kerajaan untuk mengetahui persembunyiannya, apalagi menangkapnya. Mereka masih saja menjadi momok yang menakutkan selama puluhan tahun.
Di wilayah Galuh terdapat dua kelompok rampok besar yang saling bersaing, yaitu, kelompok pimpinan Saga Winata dan kelompok pimpinan Ki Menyawak. Keduanya pernah berkonflik hingga menyebabkan kekalahan di pihak Ki Menyawak karena kalah jumlah dan kekuatan. Namun Saga Winata bukanlah tipe perampok yang serakah. Kemenangannya tak lantas membuat sikapnya menjadi jumawa. Dia tetap mau berbagi dengan pesaingnya dengan dalih saling menghargai atas dasar kesamaan profesi. Sehingga dia menggagas sebuah perjanjian pembagian wilayah dengan kelompok Ki Menyawak. Saga Winata menguasai wilayah jalur dagang antara Gunung Guntur sampai Gunung Cikuray, sedangkan Ki Menyawak diberikan wilayah sepanjang tepi aliran Sungai Citarum. Sebagai pihak yang kalah, terpaksa Ki Menyawak harus menerimanya.
Sebenarnya kedua wilayah itu mempunyai kelebihan dan kekurangannya sendiri. Wilayah Saga Winata mencakup jalur perdagangan utama yang tentu saja peluang untuk mendapatkan hasil rampokan dari pedagang besar lebih tinggi, disebabkan oleh seringnya jalur itu dilewati. Namun, kekurangannya adalah karena itu merupakan jalur utama, maka Pasukan Patroli Kerajaan pun tak jarang turut melewati jalur tersebut. Wilayah milik Ki Menyawak bukanlah jalur dagang utama, namun bagiannya lebih luas daripada wilayah Saga Winata. Aliran Sungai Citarum tersebut sangat panjang hingga mencakup dua kerajaan yaitu Galuh dan Pajajaran. Para pedagang yang sering melewati wilayah itu biasanya berasal dari pantai utara Sunda Kelapa yang memotong jalan supaya lebih cepat sampai ke Kotaraja Galuh. Sebab jalur utama jaraknya lebih jauh karena harus memutari Gunung Pangrango dan Gunung Gede. Keuntungan bertambah dengan jarangnya Pasukan Patroli Kerajaan melewati wilayah Citarum. Cukup adil untuk sebuah kegiatan jahat.
Kini selepas ditetapkannya Saga Winata sebagai buronan kerajaan, kelompok Ki Menyawak mencoba memanfaatkan peluang yang ada. Mereka yakin bahwa Saga Winata sudah mendengar berita itu dan memungkinkan kelompoknya untuk segera pindah. Kelompok Ki Menyawak akan menghadang arak-arakan pedagang besar dari mancanegara. Namun, Ki Menyawak sendiri tidak mau turut serta dalam kegiatan itu karena tidak ingin mengambil resiko. Kali ini yang memimpin operasi adalah Ruti, salah satu orang kepercayaan Ki Menyawak. Mereka akan menghadang rombongan pedagang yang membawa banyak barang dagangan , diantaranya ; keping dan batangan emas, bebatuan permata, kain sutra, persenjataan, bijih besi, kapur, rempah-rempah, dan barang kerajinan. Barang-barang itu diangkut menggunakan delapan belas ekor gajah dan enam puluh kereta kuda. Masing-masing kereta ditarik oleh dua ekor kuda. Ditambah lima ekor kuda yang ditunggangi oleh si pedagang, empat puluh orang pekerja, dan tujuh puluh lima orang pasukan pengawal bayaran. Pengawal itu dipersenjatai tombak, perisai, dan pedang.
Mereka semua akan melewati jalan utama yang berada di Lembah Gampit diantara Gunung Guntur dan Gunung Cikuray. Ruti mengumpulkan pasukan untuk mempersiapkan rencana perampokan. Dinamakan Lembah Gampit karena wilayah itu dihimpit oleh dua perbukitan besar. Bukit utara mewakili arah Gunung Guntur sedangkan Bukit Selatan mewakili Gunung Cikuray.
Dikumpulkannya pasukan sekarang. Mereka menunggu temannya yang akan datang untuk memberi kabar sudah sampai mana target mereka berjalan. Tak lama datanglah orang yang ditunggunya itu dengan menuruni kudanya yang semula dilajukan dengan cepat. Dia langsung memasuki kerumunan yang berkumpul.
"Bagaimana?" tanya Ruti kepada anak buahnya yang baru tiba itu.
"Mereka sudah sampai di kaki timur Gunung Papandayan. Kira-kira tepat matahari di atas kepala mereka akan sampai ke mari," jawab anak buahnya dengan nafas tersengal.
"Baiklah mumpung masih pagi, kita bagi tugas. Aku butuh dua puluh pasukan panah, sepuluh yang akan dipasang di bukit utara dan sepuluh lagi di bukit selatan. Pertama-tama kita akan membuat mereka berhenti berjalan."
"Dengan cara apa, Ketua?" tanya anak buahnya.
"Kita hancurkan jembatan di depan sana." Sambil menunjuk jembatan yang ada di sebelah timur. "Selagi mereka berhenti, pasukan panah akan memanah kuda dan gajah mereka dengan anak panah yang bagian ujungnya sudah dilumuri racun sehingga binatang mereka bisa langsung tergeletak dan mati. Sebagian dari mereka pasti perhatiannya akan teralihkan kepada peti barang yang berjatuhan dari kendaraan pengangkutnya masing-masing. Lalu pasukan tombak kita menyerang dari belakang. Barisan mereka sangat panjang, yang berjalan paling depan tidak akan tahu keributan yang terjadi di belakang. Selagi mereka diserang. Pasukan di barisan tengah pasti akan mundur. Dengan begitu pasukan panah di perbukitan kembali melakukan tugasnya dengan memanah pimpinannya yang ada di depan. Jika ada yang masih tersisa, baru aku dan yang lainnya menyerang dari depan. Kita akan bersembunyi di balik batu besar ini."
"Wow...! Rencana yang bagus. Sepertinya hari ini akan menjadi hari yang panjang. Butuh seseorang untuk mengintai? Aku siap!" ujar seorang anak buah mengajukan diri.
"Memang itulah gunamu di sini, Blengong! Paman mu, Ki Menyawak, pasti tidak akan membiarkan kulit keponakan kesayangannya tergores pedang." Ruti mengambil sebuah bendera hijau dan memberikannya kepada anak buahnya yang bernama Blengong itu. "Ini pegang...! Seperti biasa, cari pohon yang paling tinggi di perbukitan. Jika mereka sudah dekat, kibarkan benderanya sebagai tanda. Nasib kita semua bergantung pada bendera itu."
"Baik, Ketua...!" ucap Blengong langsung berlari menuju perbukitan.
"Cari pohon yang paling tinggi, hati-hati petir...!"
"Tidak akan ada hujan hari ini...!" ucap Blengong yang sudah berlari menjauh sambil membawa bendera.
***