Malam itu bulan bulat sempurna telah bertengger di atas langit Galuh. Kondisi langit sangat berawan sehingga beberapa kali pancaran cahaya bulan harus terpejam karena ditutupi awan kelabu. Suara serangga malam serta lolongan srigala dari kejauhan menambah kesan hening pada malam purnama itu.
Beberapa pemuka adat mengadakan ritual kecil rutinan setiap purnama di belakang Kompleks Istana Kedaton. Biasanya hanya dilakukan seorang diri dengan membawa sesajen serta membakar dupa. Doa-doa dipanjatkan untuk memohon keselamatan dan kemakmuran Negeri Galuh.
Tumenggung Aria Laksam sedang berada di pendopo Wisma Katumenggungan di sisi timur Istana. Dia sedang berdiri memandangi bulan yang seolah membalas tatapannya. Keringatnya terlihat berkilauan di sela-sela bulu dadanya. Malam itu menjadi malam terpanas sepanjang tahun, sehingga Tumenggung memilih untuk berada di luar ruangan sambil bertelanjang dada. Konon menurut berita yang disampaikan oleh beberapa Telik Sandi (Mata-mata), udara panas akhir-akhir ini disebabkan oleh kebakaran hutan yang terjadi di tanah Majapahit, Negara tetangganya yang berada di bagian timur jawa.
Dengan berjalan santai, Senopati Citra Wayang menghampirinya.
"Ada apa, Senopati? Tidak biasanya kamu mengunjungi Wisma Katumenggungan," lontar Tumenggung tanpa menatapnya, dia sudah bisa menyadari kedatangan Senopati meski tanpa melihat.
"Tidak apa-apa, Gusti. Hamba tadi sedang mengawasi prajurit penjaga di menara, kebetulan melihat Gusti dari kejauhan. Tidak biasanya Gusti Tumenggung melamun di pendopo."
"Aku hanya merasa kegerahan...."
"Memang, sudah dua malam aku pun sulit tidur karena udara panas ini."
"Iya, sesuatu telah terbakar."
"Hutan di Majapahit, Gusti."
"Di sini, Senopati." Tumenggung menunjuk dada nya sendiri. "Di sini, di dalam sini yang terbakar. Rasanya bagian dalam tubuhku melepuh. Aku merasa tidak karuan, sumber mata air manapun tidak akan ada yang mampu memadamkannya."
"Gusti Tumenggung? Apa yang telah menimpamu?"
"Aku yakin kamu paham, Senopati. Di lingkungan Istana ini hanya kamu bawahanku yang paling dekat. Kamu Satu-satunya pejabat kerajaan yang pernah mengunjungi kediamanku di Mandi Wunga."
"Sungguh, Gusti...! Aku benar-benar tidak paham apa yang Gusti Tumenggung maksud."
"Kamu masih ingat dengan putraku?"
"Tentu saja masih teringat jelas, Gusti. Sukmaraga dan Asmaraga adalah putra-putra mu."
"Orang lain hanya mengira aku memiliki satu putra, yaitu Asmaraga. Karena pada dasarnya Asmaraga sering menemaniku bekerja, sementara Sukmaraga jarang menampakkan diri bersama Ayahnya. Dia lebih memilih keluyuran lontang-lantung entah kemana dan jarang pulang."
"Jadi, jika hanya aku yang pernah melihat Sukmaraga, lalu apa masalahnya, Gusti?" tanya Senopati bingung.
Tumenggung Aria membalikan badan mengentaskan pandangan matanya yang semula fokus ke arah bulan purnama, kini dia berhadapan langsung dengan Senopati Citra.
"Sudahkah kamu melihat lukisan di perempatan?" tanya Tumenggung.
"Sudah, Gusti...! Malah hamba yang menemani Murid Guru Sutaredja itu ketika memasangnya." Senopati diam sejenak, kemudian dia mulai paham dengan maksud Tumenggung. "Tidak mungkin, Gusti. Aku rasa itu hanya kebetulan wajahnya saja yang mirip dengan Sukmaraga."
"Aku baru menyadari sesuatu, Senopati. Mendiang istriku dulu sangat memanja Sukmaraga sewaktu kecil. Asmaraga belum dilahirkan waktu itu. Istriku sangat membenci pekerjaanku sebagai abdi kerajaan. Jabatanku masih sepertimu, yaitu Senopati. Sebagai seorang istri senopati, dia sangat merasa terkekang atas banyaknya aturan negara. Dia selalu memimpikan kebebasan. Tetapi aku tidak bisa melepaskan ikrar dan sumpah pengabdianku kepada Gusti Prabu. Maka dia berkeinginan supaya putranya ini menjadi pria yang bebas ketika dewasa nanti. Istriku biasa menyingkat nama Sukmaraga menjadi Saga. Itu juga merupakan panggilan sayang untuk putranya. Dan kini aku menyadari bahwa putraku ini menambahkan kata 'Winata' pada nama belakangnya. Winata artinya kebebasan."
"Gusti, kalau diizinkan, biar aku bawa Jayendra menghadapmu, dia harus bertanggung jawab atas lukisannya itu."
"Jangan..., Pemuda itu tidak salah. Justru berkat lukisan itu aku jadi bisa mengetahui kenyataannya sekarang."
"Bagaimana kedepannya, Gusti? Apakah Gusti akan benar-benar menangkap putra sendiri? Aku tahu hukumannya pasti akan sangat berat."
"Itulah yang membuat dadaku terbakar, Senopati." ucap Sang Tumenggung yang matanya mulai berkaca-kaca. "Ingat, Senopati. Hanya kita yang tahu masalah ini."
"Baik, Gusti...!"
"Besok adalah pekan perkumpulan punggawa. Mudah-mudahan aku masih kuat menghadap Gusti Prabu," ujar Tumenggung menguatkan diri.
***
Sementara itu, jauh di kaki Gunung Galunggung. Lingga mengendarai kuda melewati hutan pinus. Jalan yang menanjak dan berbatu membuat langkah kudanya sedikit berat. Dari kejauhan, dia seperri melihat sebuah titik cahaya berwarna merah semu jingga. Cahaya itu menghasilkan asap hitam di atasnya, dia yakin itu adalah api. sebuah api yang menyala-nyala dari kejauhan akan terlihat seperti cahaya kecil.
Saat semakin naik ke bagian tanah yang lebih tinggi, dia menyadari bahwa letak cahaya yang dia lihat itu adalah lokasi perguruannya. Jantungnya berdebar kencang dihinggapi rasa cemas dan takut jika sampai hal berbahaya terjadi menimpa saudara-saudara perguruannya. Dia pun melajukan kudanya semakin cepat. Dia memilih untuk memotong jalan menerobos jalan semak belukar. Mengikuti jalan setapak hanya akan membuatnya memutari bukit dan memakan waktu lama. Memotong jalan membuat tujuannya supaya lebih dekat.
Sesampainya di lokasi, benar saja dugaannya. Kini seluruh bangunan perguruan sudah terbakar habis. Api besar masih menyala-nyala. Lingkungan hutan pinus disekitarnya terlihat sangat terang bagaikan siang hari akibat dari ganasnya api yang membakar seluruh bangunan.
"Biadab...! Bangsat...! Bajingan...! Iblis bejad mana lagi yang telah melakukan ini...!?" murka Lingga sambil bergegas menuruni kuda dan berdiri di depan gapura perguruan. "Keluar kamu pengecut...! Sini hadapi aku...!"
Seluruh bangunan pondok maupun pendopo telah dilalap ganasnya api, hanya menyisakan bendera yang masih berkibar karena diposisikan lebih tinggi dari atap bangunan, itu pun bagian tiangnya sudah terbakar separuh sehingga sesaat lagi bendera itu akan roboh.
Tidak ada tanda-tanda para saudaranya masih hidup, tidak ada suara apapun selain gemeretak kayu-kayu bangunan yang meletup-letup dilalap api. Lingga berteriak sekuat tenaga karena kemarahannya sudah tak tertahankan lagi.
"Aaaaaaaaarrrrgggghhhh....!!!"
Teriakannya mengejutkan seluruh pengunjung warung. Peristiwa kebakaran perguruan Wana Wira itu hanya sebuah mimpi. Dia pun terbangun usai ditepuk si pemilik warung. Beberapa orang memandangnya sinis karena merasa sangat terganggu oleh teriakannya. Namun seorang pemilik warung bisa memahaminya.
"Ki sanak? Apa Ki Sanak tidak apa-apa?" tanya si pemilik warung.
"Tidak apa-apa Ki, hanya mimpi buruk. Maaf aku ketiduran. Dan maaf sudah mengganggu pengunjung lain."
Lingga pun memberikan sejumlah uang kepada si pemilik warung untuk membayar makanannya. Dia pun bergegas pergi meninggalkan warung tersebut. Kini perasaan cemasnya terbawa ke dunia nyata. Dia takut hal yang dia lihat di dalam mimpi bisa menimpanya di dunia nyata. Kuda yang dia tunggangi semakin dipercepat lajunya berharap supaya cepat sampai ke Kaki Gunung Galunggung dan menemui para saudaranya. Semoga mereka dalam keadaan baik-baik saja.
***