Sudah tiga hari semenjak keputusan persidangan menetapkan hukuman mati bagi para pelaku pembantaian murid perguruan Wana Wira. Sutaredja, Lingga, dan Saksana masih tinggal di wisma tamu istana. Mereka masih harus berada di sana untuk menunggu pelaksanaan hukuman mati yang akan dilakukan dua hari lagi jika Saga Winata tidak ditemukan. Namun, jika Saga Winata berhasil ditemukan sebelum dua hari, hukumannya akan ditunda demi persidangan susulan yang melibatkan Saga Winata itu sendiri.
Sementara pasukan patroli kerajaan masih terus dikerahkan untuk mencari keberadaan kepala rampok itu. mereka melakukan berbagai strategi untuk bisa menangkap buronannya.
Di sisi lain, di tepian sungai Citarum. Menyawak, Si Raja Begal Citarum sedang gusar di pondoknya. Dia sedang duduk bersama salah satu anak buah paling dipercayainya yang bernama Ruti. Mereka menunggu Asmaraga yang tak kunjung datang. Padahal saat ini dirinya memiliki janji temu untuk membicarakan rencana pembebasan anak buahnya di penjara yang terancam hukuman mati dua hari lagi. Waktu semakin mepet sementara belum ada rencana apapun yang dipersiapkan.
"Jangan-jangan Raden Asmaraga membohongi kita, Kang," ujar Ruti curiga.
"Aku pun curiga demikian, dia adalah orang yang licik," kata Menyawak kesal.
"Jika dia membohongi kita, aku tak segan untuk memenggal kepalanya!" seru Ruti yang mulai murka.
"Kita bisa saja dengan mudah mengalahkannya dalam pertarungan, tetapi tidak akan berdaya melawan kelicikannya. Jangankan kita yang seorang rampok, ayahnya yang seorang kepala pertahanan negara saja dia kelabuhi."
Tiba-tiba mereka mendengar suara ketukan pintu yang seolah diketuk secara tergesa-gesa. Ruti mendekati pintu hendak membukanya. 'Itu pasti Asmaraga!' berkata dalam benaknya.
Ternyata bukan orang yang ditunggu yang datang, melainkan tiga orang anak buahnya.
"Ada Apa?" tanya Ruti.
"Oh, ternyata Ketua Ruti ada di sini. Ada berita bagus," ujar anak buahnya memberi tahu.
"Apa?"
"Mata-mata kita melihat konvoi rombongan kongsi dagang besar yang membawa banyak sekali barang-barang berharga. Kemungkinan barang-barang dagang yang mereka bawa berupa perhiasan, biji besi, kain mahal, dan juga persenjataan. Karena peti-peti kemas yang mereka bawa bukan hanya menggunakan kereta kuda, tetapi mereka juga menyertakan beberapa ekor gajah untuk mengangkut. Mereka juga memakai pakaian bagus. Sepertinya mereka pedagang dari mancanegara. Mata-mata kita melihatnya di jalur kaki Gunung Gede, pasti mereka sedang menuju kemari."
"Lalu, apa masalahnya?" tanya Ruti.
"Lho? Ketua? Kok apa masalahnya. Kita kan perampok. Tentu saja mereka adalah mangsa yang sangat empuk."
Mendengar itu, Menyawak langsung mendatangi si anak buah dan langsung mendorong kepalanya.
"Goblok kalian...! Sudah berapa kali aku bilang. Minggu-minggu ini jangan ada kegiatan perampokan!"
"Tapi ini kesempatan kita, Ki Menyawak. Kapan lagi kita bisa merampok rombongan pedagang sebesar itu?" bantah si anak buah.
"Kesempatan apa? Kesempatan untuk mati konyol?" murka Menyawak.
"Maaf, Kang. Sepertinya dia benar. Ini kesempatan kita. Mungkin bisa dicoba satu kali ini saja," bujuk Ruti.
"Kamu lagi, ketularan gobloknya dengan anak buahmu. Kita tidak pernah tahu kekuatan apa yang kita hadapi. Apalagi dia bilang tadi rombongan besar. Semakin besar konvoi maka semakin kuat pula pertahanannya. Mereka pasti menyewa banyak pendekar untuk mengawal. Bisa jadi malah menyewa prajurit kerajaan."
"Sejak kapan kita jadi setakut itu, Kang?" Ruti menanyakan.
"Tentu saja sejak saudara kalian ditangkap. Di mana empati kalian terhadap sesama saudara kalian? Selagi kalian bersenang-senang dengan hasil rampokan sementara dalam dua hari lagi saudara kalian akan mati dengan kepala terpisah."
"Maaf, Kang. Mereka ditangkap karena rencana licik Asmaraga. Bukan karena kegiatan perampokan kita sendiri," ujar Ruti mencoba mempengaruhi pikiran pemimpinnya itu.
"Untuk itulah Asmaraga juga yang memperingatkan supaya kita menghentikan sementara kegiatan perampokan."
"Lalu di mana dia sekarang?" tanya Ruti memojokkan.
Menyawak hanya terdiam tanpa bisa berkata lagi.
"Kang, sejak kita menghentikan perampokan. Anak buah kita banyak yang kelaparan. Mereka juga memiliki keluarga yang harus dihidupi. Asmaraga juga belum membayar uang yang dia janjikan sebagai pengganti pemasukan kita," bujuk Ruti lagi.
Menyawak mulai mempertimbangkan keputusannya itu, dia semakin terpojokan oleh beberapa pernyataan Ruti yang banyak benarnya. Asmaraga bahkan tidak datang memenuhi janji temu. Kemungkinan memang Asmaraga berniat membohonginya. Kini dia sudah tidak mau lagi terlalu banyak mengikuti permainan yang diciptakan oleh si putra bungsu Tumenggung Aria Laksam itu.
"Bawa pasukan yang banyak, pastikan kalian berhati-hati!" ucap Menyawak menandakan bahwa kegiatan perampokannya diizinkan. "Tetapi aku tidak mau bertanggung jawab jika terjadi sesuatu."
Ruti dan anak buahnya bergegas mempersiapkan persenjataan dan perlengkapan. Mereka pun segera berangkat menuju ke markas besarnya yang tak jauh dari pondok milik Menyawak. Di sanalah ratusan anak buahnya tinggal.
***
Sementara itu, waktu sudah menjelang pagi. Hari ini Seruni harus mengantarkan Nirmala pulang. Mereka pun meninggalkan goa sebelum matahari muncul di ufuk timur.
"Naiklah ke kuda ku. Biar aku yang menuntunnya," pinta Seruni.
"Lalu kamu tidak ikut naik?"
"Kuda ku ini kuda Bali bukan kuda Sumbawa. Punggungnya tidak terlalu kuat. Kalau ditunggangi berdua, kasihan dia nanti keberatan."
"Kalau begitu kamu saja yang naik. Biar aku yang jalan kaki, sudah biasa kok."
"Sudah tidak apa-apa. Tubuh mu kan masih lemas. Ayo cepat naik!"
Nirmala mengiyakan. Dia pun langsung menaiki kuda milik seruni. Kemudian selagi jalan, Seruni lah yang terus menuntun kudanya. Ketika dia hendak melewati gapura perbatasan kadipaten, seketika langkah mereka dihadang oleh seorang wanita yang tiba-tiba muncul entah dari mana.
"Hei, Siapa kamu?" bentak Seruni yang sudah bersiap hendak mencabut pedang.
"Nirmala?" panggil wanita itu.
"Margasari?" jawab Nirmala.
Nirmala pun turun dari kudanya dan langsung memeluk wanita yang menghadangnya yang ternyata adalah Margasari, sahabatnya sendiri.
"Dasar gadis nakal, kamu berdosa sekali sudah membohongi ibu mu sendiri. Ibu mu mencari mu kemana-mana," celoteh Margasari.
Seruni tersenyum melihat keakraban mereka.
Sementara Margasari mendekati Seruni.
"Maafkan aku jika kedatanganku dirasa kurang sopan, aku tidak bisa menahan diri ketika melihat Nirmala bersama Nyi Sanak. Terus terang, kami mencarinya semalaman," ucap Margasari.
"Iya Nyi Sanak. Aku pun minta maaf sudah membentak," ucap Seruni hangat.
Kemudian Jayendra, Utkarsa, dan Utpala tiba di tempat itu menyusul Margasari.
"Kang, lihat. Nirmala sudah ketemu," ujar Margasari menghampiri Jayendra.
"Oh jadi ini yang namanya Nirmala?" ujar Jayendra sebelum terkejut ketika pandangannya beralih ke Seruni.
Seruni yang melihat keberadaan Jayendra langsung menaiki kudanya dan pergi menjauh dari mereka.
"Seruni... Tunggu...!" sementara Jayendra turut mengejarnya dengan kudanya sendiri.
"Ada apa ini?" Tanya Margasari.
"Ternyata mereka sudah saling kenal ya?" ujar Nirmala.
"Dari cara mereka saling tatap, sepertinya mereka bukan hanya saling kenal. Tetapi saling mencintai," ujar Utkarsa tersenyum.
"Kalau saling mencintai, kenapa dia lari?" tanya Margasari.
"Dia pasti cemburu melihat kekasihnya bersama wanita lain," kata Utkarsa menimpali.
***