Sore harinya.
"Setelah dipikir-pikir, lebih baik aku sendiri yang datang menghadap gusti prabu ke istana," ujar Tumenggung kepada seorang utusan kerajaan.
"Baiklah kalau itu menjadi keputusan Gusti, hamba akan pulang ke istana lebih dulu untuk mengabarkan kedatangan Gusti Tumenggung," jawab utusan itu.
"Asmaraga, tolong kamu temani utusan ini sampai depan pintu gerbang," perintah tumenggung kepada putranya.
"Baik Ayahanda."
Asmaraga keluar untuk mengantarkan utusan itu sampai pintu gerbang. Dengan menaiki kudanya, si utusan itu pergi meninggalkan Dalem Katumenggungan (Rumah Dinas Tumenggung).
Sementara itu, Sukmaraga sedang berada di dalam kamarnya. Dirinya tengah sibuk menghitung beberapa keping uang koin yang dikeluarkan dari dalam sebuah kain buntelan. Setelah itu, dimasukkannya koin itu ke dalam sebuah kotak kayu seukuran lengannya.
Tak berapa lama kemudian, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya. Dia sontak terkejut, bergegaslah disimpannya kotak itu di bawah tempat tidurnya. Dia kemudian menutupnya dengan kain hitam dan memastikan tak ada celah sedikitpun yang menyebabkan kotak itu terlihat. Sementara suara ketukan pintu masih saja berlangsung.
Setelah dirasa aman, Sukmaraga kemudian membukakan pintunya.
"Eh, kamu Dikmas Asmaraga."
"Apa yang Kangmas Sukma sembunyikan dariku?" tanya Asmaraga curiga
"Sembunyikan apa?" Sukmaraga bertanya balik.
"Entah, kenapa lama sekali Kangmas membuka pintu?" tanya Asma lagi.
"Aku sedang ganti pakaian, mau lihat juga?" celoteh Sukma.
"Boleh?" ledek Asma
"Baiklah sebentar." Sukmaraga membuka pengikat pinggang berbentuk kain di pinggulnya seperti hendak membuka celana.
"Eh..eh...eh.. Jangan... jangan... jangan...," Asma menahan tangan kakaknya itu yang hendak membuka ikat pinggangnya.
"Tadi katanya mau lihat?" ledek Sukma kepada adiknya.
"Sudah cukup, aku sudah pernah melihatnya kok," gurau Asma
"hah? Kapan? Wah, keterlaluan kamu Dikmas." Sukma menggerutu.
"Aku sudah melihatnya ketika Kangmas mandi," ujar Asma
"hah? Serius? Mengintip aku mandi? Ku kira kamu pria sejati Dikmas. Makanya cepat cari kekasih supaya tidak kamu salah gunakan alatmu itu." Sukma semakin menanggapi gurauan adiknya itu
"Aku benar-benar pernah melihatnya, bukankah kita pernah mandi bersama waktu kecil dulu?" Asma mengingatkan kakaknya.
"Hahaha sudah sudah, mau apa kamu ke sini?" tanya Sukma.
"Kangmas, kau tega sekali membiarkan adikmu bicara sambil berdiri sedari tadi. Kau tidak mempersilahkan aku untuk masuk?"
"Tidak, kamu dilarang, ini kamar khusus pria sejati." Sukma kembali meledek adiknya.
"Aduh Kangmas masih saja."
"Haha, baiklah ayo masuk." Sukma mempersilahkan adiknya.
Mereka saling paham bahwa apa yang mereka bicarakan hanya gurauan semata. Sudah sejak kecil mereka sangat dekat dan terbiasa saling mencairkan suasana. Hidup di lingkungan Dalem Katumenggungan membuat mereka seakan terkurung, tak bisa bergaul dengan dunia luar sehingga mereka tidak mempunyai teman, apalagi sahabat. Maka dari itu sebagai seorang anak dari pejabat negara yang sedari kecil harus hidup di lingkungan dinas Ayahnya yang seorang pejabat negara, mereka hanya mampu bersahabat dengan orang dekat saja, dalam hal ini saudara kandungnya sendiri.
Sukmaraga dan Asmaraga adalah putra dari Tumenggung Aria Laksam. Selisih umur mereka adalah dua tahun, Sukmaraga lebih tua. Sebenarnya mereka mempunyai satu orang saudari perempuan, tetapi dia sudah tidak tinggal bersama semenjak dinikahi oleh seorang Adipati dari Wanatirta yang wilayahnya berada di ujung timur kerajaan Galuh.
Meski mereka berdua kakak beradik yang lekat dan akrab, mereka memiliki kepribadian yang sangat berbeda. Sukmaraga lebih suka mempelajari ilmu beladiri dan kanuragan, sementara Asmaraga lebih suka belajar tentang ilmu tata negara dan strategi perang.
"Kangmas, itu apa yang menggantung di dinding?" tanya Asmaraga setelah melihat sebuah kalung yang menggantung di dinding. Kalung itu mempunyai mata batu mulia berwarna biru kehijauan yang sangat cantik. Asmaraga mulai mendekati batu itu dan memperhatikannya dengan seksama.
"Eeh... Entah, aku menemukan itu di pasar," Jawab Sukma agak gugup.
"Menemukan? Tidak mungkin. Aku tahu batu ini. Ini batu mulia yang paling langka. Kalau tidak salah asalnya dari negeri India," ujar Asma
"Tidak usah sok tahu kamu."
"Kangmas, aku kan sering menemani Ayah di ruang kerjanya. Aku pernah beberapa kali melihat tamu-tamu penting Ayah menggunakan cincin atau kalung yang bahan matanya dari batu ini. Darimana Kangmas dapatkan batu ini? Tidak mungkin batu semahal ini dijual di pasar sekitar sini, paling tidak ini hanya ada di pasar Kutaraja, di dekat istana." Asma menekan kakaknya yang mulai gugup itu.
"Memang aku temukan di pasar Kutaraja kok." Sukma berkilah.
"Menemukan begitu saja?"
"Tidak, aku membelinya."
"Kangmas, aku tahu betul sifatmu, kamu tidak akan membeli barang yang kamu sendiri tidak tahu barangnya." Asma semakin menekan kakaknya sambil sedikit meledek.
"Ah.. Sudah... Sudah...!" Sukma merasa sebal dengan tingkah adiknya itu.
"Haha, aku bergurau Kangmas. Aku sendiri tidak tahu itu benda apa," ujar Asmaraga sambil tertawa terbahak-bahak setelah dirinya berhasil membuat kakaknya merasa sebal.
"Sudah cepat katakan, sebenarnya mau apa kamu datang kemari,"
"Lho, kok cepat-cepat, memangnya mau kemana?"
"Aku mau istirahat!" ketus Sukma yang sudah mulai sebal.
"Oh...," ujar Asma sambil tersenyum.
"Kok oh? Ya sudah kalau datang hanya ingin membuatku sebal lebih baik keluar sana, aku ngantuk!" usir Sukma dengan kesal.
Asmaraga hanya tertawa kencang menyaksikan kakaknya yang mulai merasa kesal itu.
"haha iya iya, aku bergurau Kangmas, maafkan aku,"
"Ya sudah, cepat bilang, mau apa?" tanya Sukma.
"Apa yang Kangmas sembunyikan dariku?" tanya Asmaraga.
"Yah, mulai lagi, sudah... sudah..., keluar sana!" Sukma mendorong adiknya menuju pintu.
"Tidak Kangmas, kali ini aku serius."
"Apa maksudmu?" tanya Sukma.
Asmaraga melirik ke arah kolong ranjang, Sukmaraga pun menoleh ke arah itu.
"Bukan apa-apa, itu privasiku. Kamu tidak boleh mengetahuinya," ujar Sukma.
"Kangmas, sejak kapan kita saling mempunyai privasi? Kita pernah berjanji tidak ada rahasia diantara kita. Ingat kan?"
"Mulai sekarang ada!" tegas Sukma.
"Begitu?"
"Iya!"
"Ya sudah, aku pergi,"
"Ya memang lebih baik pergi dari kamarku, cepat sana!"
"Baiklah... baiklah..., kalau begitu, mulai sekarang tulis sendiri setiap kali mau mengirim surat untuk Nirmala," ancam Asmaraga.
"Ohhh, kamu mengancamku?"
"Jelas!"
"Aku bisa menyuruh orang lain," ujar Sukma.
"Tapi, orang akan tahu hubungan Kangmas dengan gadis desa itu. Aku tak bisa bayangkan jika ayah tahu soal ini. Ajuga akan mengatakan kepada semua orang kalau Kangmas adalah satu-satunya putra bangsawan di tanah jawa ini yang tidak bisa menulis," ancam Asmaraga.
"Baiklah, cukup! Ambil kudamu, ikut aku!" Sukma menarik tangan Asmaraga menuju ke luar.
"Lho, mau ke mana? Katanya mau istirahat?" protes Asmaraga.
Sukma tak pedulikan ocehan adiknya itu, dia terus menarik tangan Asmaraga keluar dari ruangan.
"Tunggu Kangmas, aku hanya ingin kamu bicara, bukan ingin kamu menunjukkan sesuatu."
"Pelankan suaramu nanti Ayahanda dengar, kalau mau tahu, tidak di sini!" bisik Sukma.
Mereka berdua bergegas mengambil kuda di kandang belakang rumah, kemudian menaikinya dan
"Hyaaat...!" ringkik kuda pun terdengar sampai ke telinga Tumenggung Aria Laksam. Seketika Sang Tumenggung keluar menuju serambi dan melihat kedua putranya melajukan kuda menuju pintu gerbang depan.
"Hei, mau kemana kalian!?"
"Mau keluar sebentar, Ayah. Kami mau berkeliling...!" teriak Asmaraga sambil melajukan kudanya kemudian berlalu melewati gerbang.
Tumenggung Aria Laksam hanya bisa terdiam. Dia terlihat sangat berwibawa kali ini karena memakai baju kebesarannya. Sebab, sore ini dia hendak pergi menuju ke Istana Kutaraja untuk menemui Gusti Prabu alias Sang Raja.
"Ki Renggo, tolong siapkan kereta, saya mau ke Kutaraja sore ini!" perintah Tumenggung kepada salah seorang abdi yang merupakan kusir kuda pribadinya itu.
***
Di sebuah warung. Jayendra sedang duduk menunggu makanan yang telah dipesan di warung tersebut. Kemudian salah seorang pelayan datang membawakan sebuah hidangan.
"Silakan Tuan, selamat menikmati hidangan di warung kami," ujar pelayan.
"Terima kasih nyai," ucap Jayendra.
"Sama-sama, Tuan."
Di depan warung tersebut, datang dua orang penunggang kuda. Mereka adalah Sukmaraga dan Asmaraga.
"Kangmas, kenapa malah mengajakku ke warung? Aku tidak bawa uang!" ujar Asma.
"Tenang, aku yang bayar. Ayo turun!"
Mereka berdua turun dari kudanya.
Sang pemilik warung melihatnya dari dalam. Kemudian menyuruh pelayan warungnya untuk menyambut.
"Itu ada pengunjung, sana layani!" perintah pemilik warung kepada pelayannya.
"Sepertinya mereka Raden Sukmaraga dan Raden Asmaraga, Ki," ujar si pelayan.
"Eh, kalau para Raden yang datang, biar saya saja yang sambut. Kamu cepat suguhkan minuman kesukaan Raden Sukmaraga, sana cepat!"
"Baik, Ki." Jawab pelayan.
"Eh.. Selamat datang di kedai kami Raden Sukmaraga beserta Raden Asmaraga. Sungguh suatu kehormatan warung kami yang sederhana ini dikunjungi oleh putra-putra seorang Tumenggung. Mari silakan duduk," ucap si pemilik warung mempersilahkan. "Gendis, tolong minumannya!" si pemilik warung memanggil pelayannya. Tak berapa lama pelayan tersebut membawakan dua kendi tuak beserta gelasnya.
Mereka berdua pun duduk di tempat yang sudah disediakan. Kemudian si pelayan menyuguhkan tuak itu ke meja.
"Silakan dinikmati ya Raden," ucap pemilik warung.
"Perasaan kami belum memesan, kok sudah disuguhkan minuman?" tanya Asmaraga.
"Aku sudah biasa makan di sini, jadi dia sudah tahu suguhannya. ini adalah tuak kesukaanku."
"Kangmas bercanda?"
"Kenapa?" tanya Sukma kebingungan. "Oh, iya lupa. Kamu kan tidak minum tuak."
"Oh, jadi Raden Mas Asmaraga ini tidak minum tuak tah? Kalau begitu, kita juga punya air nira terbaik yang berasal dari Bali,"
"Ya sudah, itu saja tolong, Ki," pinta Asmaraga.
"Baik Raden," ujar pemilik warung. "Gendis, tolong Nira Balinya satu untuk Raden Asmaraga."
Kemudian pelayan itu datang kembali membawa pesanan Raden Asmaraga.
"Makanannya mau apa, Raden?"
"Di sini ada apa saja, Ki?" tanya Asmaraga
"Wah..., kalau disebutkan satu-satu ya banyak. Tapi kalau yang terbaik, di sini ada Bebek bakar sambal terasi, Angsa goreng asam manis, Rujak Ciamis, dan...."
"Sudah, Ki. Bebek bakar saja dua porsi, nasi satu wakul," celetuk Sukmaraga.
"Baik, ditunggu ya Raden." Si pemilik warung dan Pelayannya pun menuju ke belakang untuk menyiapkan pesanan mereka.
"Yang benar saja? Kita cuma berdua, nasinya satu wakul? Berapa hari Kangmas belum makan?" tanya Asma.
"Hei, ini untuk kamu. Aku tahu badanmu kecil tapi makannya banyak," ujar Sukma.
Dari meja sebelah, Jayendra memperhatikan tingkah mereka berdua. "Begini ternyata bangsawan? Seperti tidak ada bedanya dengan pria kampung. Memalukan," ucap Jayendra dalam hatinya.
Tak berapa lama, pesanan mereka pun datang. Mereka segera menyantap makanannya.
"Jadi, apa yang ingin Kangmas bicarakan?" tanya Asmaraga membuka obrolan.
"Janji jangan katakan ini pada siapapun?" pinta Sukma
"Iya, mana pernah aku membuka aibmu," ujar Asma.
"Dikmas, kita adalah seorang putra tumenggung yang tidak bisa bebas bepergian kemanapun, maka dari itu aku memutuskan untuk berkelana. Aku menyamar di antara para penduduk desa dan bekerja sebagai petani ladang di bawah kaki gunung Galunggung. Benda yang kamu lihat di bawah ranjangku itu adalah kotak hasil tabunganku. Aku melakukan ini hanya demi kepuasan pribadi. Aku tak dipaksa oleh siapapun."
"Apa mereka tidak mengenali wajah Kangmas?"
"Di luar daerah, tidak ada yang mengenali wajahku, lagipula namaku kurang begitu terkenal, karena aku jarang mengikuti Ayah ketika bertugas. Tidak seperti kamu yang selalu ikut kemana-mana, orang pasti akan kenal siapa kamu," ujar Sukma sambil menikmati makanannya. "Aku harap Ayah tidak tahu perihal ini, dia pasti akan bertambah melarang keras putranya menjadi petani. Aku juga tidak ingin Ayah dipermalukan oleh rekan pejabatnya yang lain. Biarpun Ayah kita orang yang keras kepala, aku tetap menghargai nama baiknya."
"Ngomong-Ngomong, nasinya tidak enak," keluh Asmaraga.
"Tidak enak tapi habis sewakul," ledek Sukma.
"Aku lapar karena seharian menemani Ayah bekerja di ruangannya," ujar Asmaraga.
"Kerja cuma duduk-duduk saja kok sudah sampai menguras banyak tenaga?"
"Duduk duduk matamu! Aku mengerjakan banyak tugas surat menyurat."
"Ki, kata adikku nasinya tidak enak!"
"Kangmas, kenapa bicara keras-keras. kasihan dia nanti malu sama pelanggan lain," ujar Asma.
Lalu si pemilik warung datang. "Walah, maaf Raden Mas. Biasanya kita menyajikan nasi dari beras terbaik. Kiriman langsung dari palembang. Tapi kali ini persediaannya sedang kosong."
"Beras saja harus dikirim dari negeri seberang. Apa di negeri kita berasnya buruk? Beras dari Galuh kurang enak? Padahal sawah dimana-mana!" celetuk Jayendra dari meja sebelah.
Sukmaraga dan Asmaraga menoleh ke arah Jayendra yang dengan lancang memotong pembicaraan mereka.
"Tidak sopan memotong pembicaraan orang, Tuan!" Ucap Sukma.
"Sudah, Kangmas. Biarkan saja." Asma menenangkan Kakaknya.
"Kenapa? karena sikapku tidak sopan? Atau karena kalian seorang bangsawan sehingga menganggap rakyat biasa yang berbicara itu adalah kelancangan? Atau kalian tersinggung karena pejabat macam Ayah kalian tidak bisa meningkatkan kwalitas hasil pertanian di negeri Galuh ini?"
"Sudah Tuan, Raden, tidak usah dipermasalahkan. Memang beras dari Galuh juga enak. Sangat enak. Tetapi harganya terlalu mahal. Lebih mahal dari beras palembang," ujar pemilik warung.
"Ki, kalau beras di negeri sendiri lebih mahal dari beras di negeri lain padahal kwalitas sama. Artinya kebijakan di negeri kita bermasalah!" sindir Jayendra kepada para putra pejabat itu.
"Walah, saya mah orang kampung tidak paham soal pemerintahan. Kira-kira kenapa bisa begitu ya, Tuan?" tanya Pemilik warung dengan polosnya.
"Lah ya ndak tahu, kok tanya saya? Tanyakan pada mereka anak pejabat itu," sindir Jayendra kembali.
Raden Sukmaraga semakin marah menyaksikan kelancangan Jayendra. Namun Asmaraga selalu menenangkannya.
"Tetapi sekarang, beras dari palembang sedang tidak bisa dikirim, karena menurut kabar, Si Saudagar dari palembang yang membawa barang dagangannya itu dirampok di hutan perbatasan Galuh Barat, total barang dagangan seluruhnya berjumlah 20 peti kereta beserta kepingan logam emas dan batu mulia ludes disita oleh perampok" ujar pemilik warung.
"Apa? Dirampok?" Asmaraga terkejut.
Sementara Sukmaraga masih melototi Jayendra dengan sedikit marah.
"Kemarin Pembantaian di Perguruan Wanawira, sekarang perampokan," ujar Asma.
"Berarti tandanya negeri ini sudah tidak aman. Apa saja kerja seorang perwira negeri ini?" sindir Jayendra kembali
"Diam kamu, bangsat!" Meledaklah amarah Sukmaraga. Telapak tangannya memerah dan berasap. Asmaraga sudah tak mampu meredakan amarah kakaknya itu ketika dia langsung menyerang Jayendra dengan pukulan mematikannya. Tetapi dengan mudah Jayendra menangkis dengan bangku yang didudukinya. Jayendra melemparkan gelas ke arah Sukmaraga dan berhasil ditepis.
Si pemilik warung hanya bisa terdiam kebingungan menyaksikan pertarungan itu dari kejauhan, dirinya tak sedikitpun berani mendekat, apalagi melerai. Sementara para pelayan dan juru masak perempuan menyaksikannya sambil menjerit ketakutan.
Pertarungan adu silat antara kedua pendekar ini berlangsung awet, keduanya tak ada yang mampu mengalahkan sesamanya. Beberapa benda di tempat itu porak poranda akibat pertarungan ego antara dua pria sakti itu.
Jayendra menyerang beberapa pukulan, namun berhasil dimentahkan oleh Sukmaraga. Begitu juga sebaliknya. Serangan mereka tidak dapat mengenai lawannya sejengkalpun. Sementara itu, Asmaraga tak bisa membantu kakaknya yang sedang kewalahan menghadapi Jayendra. Sebab, dia memang tidak bisa bertarung. Namun, seketika dia mendapatkan ide tentang bagaimaba cara supaya pertarungan itu cepat diselesaikan.
"Ki, minta cabai dan air panas!" pinta Asmaraga.
Si pemilik warung pun menurutinya. Kemudian Asmaraga menghancurkan cabai itu dengan tangannya, ditaruhlah di dalam kendi beserta air panasnya. Kemudian dia kocok kendi itu dan disiramkan tepat ke mata Jayendra.
Jayendra mengerang kesakitan mengucek-ucek matanya sambil tubuhnya kelojotan.
"Kangmas, ayo pergi!"
"Hei, Dikmas. Aku tidak akan meninggalkan pertarungan begitu saja, aku belum kalah."
"Dia yang kalah, Kangmas tidak mungkin kan menyerang orang yang tidak berdaya? Ayo sebaiknya pergi, sekarang!" paksa Asmaraga.
Mereka berdua pun pergi.
"Ki, ini ambil semua untuk mengganti semua kerusakan." Sukma melemparkan buntelan berisi uang yang cukup banyak kepada pemilik warung.