Chereads / NITYASA : THE SPECIAL GIFT / Chapter 25 - 23. Hari Keputusan Besar 1

Chapter 25 - 23. Hari Keputusan Besar 1

Keesokan harinya, keempat tersangka pelaku teror di Perguruan Wana Wira dikeluarkan dari ruang tahanannya oleh dua orang prajurit kerajaan. Dengan tangan terikat, mereka digiring menuju gedung tempat persidangan dimulai. Jalan yang mereka lalui untuk sampai ke gedung itu adalah sebuah terowongan bawah tanah yang tembusannya mengarah ke pintu belakang ruang pengadilan.

Di ruang pengadilan, sudah duduk 3 orang hakim. Sedangkan sebelah kanan dan kiri adalah tempat duduk para pembesar kerajaan. Mereka datang turut menyaksikan dan berpartisipasi dalam jalannya persidangan. Termasuk di situ dihadiri oleh Tumenggung Aria Laksam beserta puteranya Raden Asmaraga. Rombongan Mahaguru Sutaredja yang merupakan pihak korban duduk berseberangan menghadap meja hakim. Sementara keempat pelaku dibiarkan berdiri di tengah.

Prosedur sidang di zaman ini tidak sama dengan sidang pengadilan di zaman modern yang mana biasanya mendatangkan dua pihak korban dan tersangka beserta pengacara. Dalam sidang kerajaan hanya ada pihak korban dan tersangka langsung tanpa adanya perwakilan. Para pembesar kerajaan pun boleh mengemukakan pendapatnya. Hakim di sini mewakili hak raja. Karena, sang raja hanya akan menghadiri langsung persidangan jika kasusnya besar yang berhubungan dengan urusan negara. Misalnya ketika menyangkut ancaman pemberontakan. Jika kasusnya masih termasuk tingkatan kriminal biasa, raja tidak perlu untuk hadir.

Sidang dilakukan secara tertutup. Tidak boleh ada yang menghadiri persidangan selain pejabat besar istana dan pihak yang bersangkutan. Ada puluhan pejabat yang diundang. Bahkan para adipati dari daerah pun turut menyaksikan. Tentara berjaga, baik di luar maupun di dalam gedung untuk mengamankan jalannya acara.

Sidang dibuka, hakim langsung mempersilakan pihak korban untuk bicara. Kali ini Sang Guru Sutaredja sendiri yang menyampaikannya.

"Mohon ampun Gusti Yang Mulia Hakim Agung. Semoga kita semua selalu diberkati oleh Sang Hyang Widi. Hamba adalah seorang guru, seorang pengajar, seorang pendidik. Hamba selalu mendidik murid-murid hamba dengan sepenuh hati. Berharap mereka mampu menggapai cita-citanya untuk menjadi orang berguna bagi negara juga bagi masyarakat. Yang Mulia, Di samping kanan dan kiri hamba adalah murid-murid hamba. Ada beberapa prajurit dan pejabat di sini juga merupakan mantan murid hamba yang bahkan sekarang telah cukup mampu mendapati pangkat tinggi. Di Perguruan Wana Wira yang terletak di kaki Gunung Galunggung, sekarang ini dihuni oleh lima ribu lebih pelajar putra dan putri. Mereka semua memiliki harapan yang sama, yaitu bisa menggapai cita-citanya termasuk untuk bisa mengabdi kepada kerajaan. Tetapi, ada dua puluh empat murid hamba yang lain yang tidak cukup beruntung untuk mendapat kesempatan itu. Kesempatan untuk hidup supaya bisa mewujudkan cita - cita mereka, karena ada yang memupuskan impiannya, ada yang memotong hak untuk berumur panjang, ada yang menghentikan mimpi-mimpinya, yaitu empat orang yang berada di hadapan kita semua sekarang ini. Mereka berempat adalah seburuk-buruknya pengecut. Karena hanya pecundang yang beraninya menyerang orang dalam keadaan lemah. Yang mulia, ketika mereka membantai murid-murid hamba, sebagian banyaknya sudah tertidur lelap akibat kelelahan menjalani latihan seharian. Tak sampai disitu tindakan kepengecutannya, mereka bahkan menabur bubuk pemicu asap untuk mengelabui pandangan mata. Sehingga murid-murid hamba tidak mampu melihat siapa yang menyerangnya. Dengan membabi buta mereka menebas-nebaskan senjatanya secara acak. Sungguh siapapun yang memiliki hati nurani akan mengutuk perbuatan seperti itu!"

"Tuan Guru Sutaredja, Kami turut berduka atas meninggalnya murid-muridmu, semoga mereka mendapat tempat terbaik di sisi Hyang Widi," ucap hakim agung.

"Terima Kasih Yang Mulia Hakim."

"Sekarang, silakan kalian bicara!" kata Hakim kepada para pelaku yang tangannya masih dalam keadaan terikat.

"Ampun Yang Mulia," ujar salah satu pelaku. "Kami mengakui kesalahan kami, kami menyesal telah melakukan perbuatan keji itu. Sesungguhnya kami hanyalah orang suruhan, kami tidak melakukan ini atas dasar kehendak kami sendiri. Kami tidak memikirkan pertimbangan apapun kecuali hanya soal bayaran yang kami terima dari tuan kami. Untuk itu kamu melakukan cara apapun supaya kami berhasil menjalankan tugas dari yang menyuruh kami."

"Siapa yang menyuruh kalian?" tanya Sang Hakim.

"Dia adalah Saga Winata. Seorang Kepala Begal di hutan perbatasan."

"Apa tujuan dia menyuruh kalian melakukan ini?"

"Kami tidak tahu soal itu, Yang Mulia."

"Kalian tidak bertanya?"

"Kami tidak berani bertanya, Yang Mulia."

"Berapa uang yang kalian terima?"

"Kami dibayar satu peti emas, sepetak tanah dan juga rumah untuk kami memulai perniagaan. Kami juga ditawari jabatan penting di kerajaan. Sebab Saga Winata mengaku memiliki hubungan dekat dengan seorang pejabat istana," ujar pelaku.

Semua yang hadir turut tertegun mendengar pengakuan pelaku. Mereka saling tatap dan berbicara dengan rekan-rekan di sampingnya. Suasana persidangan tiba-tiba menjadi berisik. Mereka mulai merasakan kewaspadaan setelah mengetahui kenyataan yang masih ambigu ini.

"Cukup, Para hadirin dimohon tenang!" Sang Hakim memperingatkan sambil berdiri memukul gong yang ada di belakang kursinya. Kemudian keadaan kembali tenang. Sang hakim kembali duduk.

"Sekarang, kami membuka pendapat dari para pembesar istana. Silakan mengacungkan tangan!" ujar Hakim.

Ada dua orang yang mengacungkan tangan, yaitu Seorang Saptaraja bernama Hanung Cumangkir dan Rakryan Mahamantri Empu Handaya.

"Silakan siapa yang akan lebih dulu menyampaikan?" tanya Hakim Agung.

"Karena Hanung Cumangkir lebih tua dari saya, jadi, silakan beliau terlebih dahulu...," kata Mpu Handaya.

"Terima Kasih, Empu," ucap Hanung. "Melihat dari banyaknya korban yang mereka bunuh, apalagi korban ini adalah murid dari perguruan yang menjadi tonggak dilahirkannya bibit-bibit abdi negara. Maka berurusan dengan Perguruan Wana Wira sama saja berurusan dengan Kerajaan. Ini adalah satu kelancangan. Hukumannya harus berat supaya di luar sana tidak ada lagi yang berani bermacam-macam dengan kerajaan. Saya menyarankan hukuman gantung atau penggal," tutur Hanung Cumangkir.

Semua yang berada di ruangan kembali berisik saling tatap dan saling bicara kepada rekan-rekannya masing-masing.