Bulan berukuran separuh lingkaran mulai terlihat meninggi, gugusan rasi bintang menyebar di sekelilingnya. Sementara dibawah langit terhampar rimbunnya hutan pinus. Kabut menyelimuti di antara celah pepohonan. Suasana malam yang sepi ditambah angin sepoi yang bertiup, semakin menambah hawa pekat kehidupan malam ditengah hutan. Sangat hening kecuali suara serangga malam dan lolongan anjing liar yang sesekali terdengar dari kejauhan.
Kontras diantara pekatnya hutan pinus, terdapat cahaya terang yang menyala. Cahaya dari lampu obor dan damar dari Padepokan Wana Wira itu menandakan masih ada kehidupan di tengah belantara. Di sini lah tempat kediaman para generasi dari Kerajaan Galuh yang menempuh pendidikan.
Di waktu begini biasanya mereka sudah terlelap, mengistirahatkan diri dari lelahnya latihan dan pembinaan sepanjang hari, dan bersiap untuk menyongsong hari esok yang lebih sibuk oleh kegiatan perguruan. Tetapi saat ini sepertinya hampir seluruh murid perguruan tak ada yang tertidur setelah peristiwa yang menggemparkan terjadi. Mereka sibuk mengurusi murid lain yang menjadi korban teror, sebagian lagi sibuk berjaga.
Ketika itu, salah satu dari murid yang berjaga di pelataran melihat gurunya pulang. "Itu Kakek Guru pulang," kata salah seorang murid memberitahu temannya.
Sang Guru pun memasuki gapura padepokan dengan tergesa wajah penuh amarah da kecemasan. Sebagian murid yang berada di pelataran menyambutnya dengan mencium tangan satu per satu.
"Maaf, Kakek Guru? Kenapa Kakek Guru jalan kaki sendirian? Apakah para peneror itu tidak berhasil dikejar?" tanya seorang murid.
"Mereka sudah aku lumpuhkan, sekarang mereka ku ikat kuat di goa cepot. Besok kita bawa mereka menghadap pengadilan di Kotaraja, kalian ikut kawal," Sang Guru menjelaskan.
"Baik guru,"
"Bagaimana keadaan adik-adik kalian?" tanya Sang Guru
Kemudian spontan saja murid yang ditanyai gurunya itu memeluknya erat sambil menangis sesenggukan.
"Sudah sudah, Lingga, ini mungkin pertama kalinya kalian kehilangan saudara," Sang Guru menenangkan sambil menepuk bahu muridnya seolah paham dengan maksud tangisannya itu.
"Peneror itu telah membantai dua lusin saudara kami guru, termasuk anak-anak. Bahkan Runce nyawanya tak bisa ditolong," tutur sang murid yang bernama Lingga itu.
"Benar guru, dua puluh empat saudara kami meninggal secara mengenaskan, dan beberapa ada yang luka-luka. Sebelumnya kami mohon maaf mungkin ada satu peraturan perguruan yang terpaksa kami langgar. Balai pengobatan asrama putra tidak mampu menampung mereka semua, makanya sebagian kami bawa ke balai pengobatan asrama putri." tutur salah seorang murid lainnya.
"Tidak apa, kalian melakukan hal yang benar, ayo kita ke sana!" Sang Guru mengajak para muridnya menuju Balai Pengobatan.
Sesampainya di balai pengobatan.
"Kakek Guru," sapa salah seorang murid lain yang sedang merawat korban. Murid yang satu ini adalah salah satu murid tertua yang ahli dalam bidang pengobatan.
"Bagaimana, Ruwah? Apakah cukup parah lukanya?" tanya Sang Guru kepada Ruwah, murid ahli obat tersebut.
"Sepertinya dia cukup beruntung di antara teman-temannya yang lain. Dia hampir tidak ada luka luar, hanya luka dalam di bagian kepala. Kemungkinan dia terbentur sesuatu ketika terjadi penyerangan," jawab Ruwah menjelaskan.
"Apakah peneror itu juga menggunakan benda tumpul untuk menyerang?" tanya Sang Guru.
"Tidak, Kakek Guru, tetapi kemungkinan kepalanya terbentur tiang bangunan pondok ketika dia berlari ke sembarang arah karena kepanikan."
"Kami menemukan ini, Kakek Guru," sambung salah satu muridnya yang lain sambil menyodorkan sebuah wadah bambu kecil.
Sang Guru Sutaredja meraih wadah tersebut kemudian menciuminya.
"Ini serbuk getah Pohon Badur dicampur Gondorukem, yang jika dinyalakan api akan mengeluarkan asap yang sangat pekat," terang Sang Guru.
"Itulah alasan kenapa para peneror itu sangat mudah menyerang mereka, Kakek Guru. Rata-rata dari saudara kami yang menjadi korban, memiliki luka luar yang berasal dari sabetan pedang. Polanya tidak beraturan, sehingga bisa disimpulkan bahwa mereka menyerangnya secara asal-asalan," ujar Lingga menyampaikan kesimpulan.
"Maaf, Apakah Kakek Guru sudah berhasil menangkap peneror itu?" tanya Ruwah.
"Mereka sudah ku lumpuhkan. Sekarang mereka dalam keadaan seluruh tangan dan kakinya terikat di dalam Goa Cepot. Besok kita bawa mereka menghadap pengadilan Kota Raja," Sang Guru menjelaskan.
"Besok, saya dan beberapa yang lain akan ikut bersama Kakek Guru untuk mengawal juga menjadi saksi, sementara kamu di sini saja merawat saudara-saudara kita," terang Lingga kepada Ruwah.
"Baiklah, Kakang Lingga"
"Kakek Guru, mereka datang lagi ...!" teriak salah seorang murid yang berjaga di luar memperingatkan.
Sang Guru dan beberapa murid yang sedari tadi bersamanya langsung bergegas keluar pondok.
"Di mana para bajingan itu, Saksana?" tanya lingga dengan penuh amarah.
"Aku juga tidak melihatnya, Lingga," jawab Saksana
"Lho? Tidak melihatnya bagaimana? Itu kenapa dengan telingamu?" tanya Lingga.
"Ini, ada anak panah yang menancap di tiang serambi, hampir saja melubangi kepalaku. Untung saja hanya menyerempet telingaku," terang Saksana, tangan kirinya menunjuk ke anak panah yang menancap sementara tangan kanannya memegangi telinga bagian kanan yang berlumuran darah.
"Dari arah hutan, hyaaat...!" lingga langsung saja melesat ke arah hutan menggunakan ajian peringan tubuhnya.
"Kakek Guru, bukankah sudah dilumpuhkan para peneror itu? apakah yang sekarang akan dihadapi oleh Kakang Lingga adalah kawannya yang lain?" tanya Saksana yang masih memegangi telinganya.
"Bukan mereka, aku kenal anak panah itu," jawab gurunya tenang.
Sementara itu Lingga berhasil menemukan peneror tersebut yang sedang bersembunyi di atas pohon. Dia melesat menyerang dengan pukulannya. Tetapi sangat mudah ditangkis dan dimentahkan oleh peneror yang berpakaian serba coklat dan memakai caping lebar itu. Peneror itu pun melesat terbang cepat ke arah padepokan berharap dikejar oleh Lingga. Para murid perguruan yang sedari tadi berjaga di serambi langsung bersiap memasang kuda-kuda dan menarik pedang dari sarungnya setelah melihat peneror tersebut yang datang semakin mendekat.
Lingga berhasil meraihnya lagi, tapi peneror itu sangat lincah. Beberapa kali serangannya berhasil dimentahkan. Meski begitu tidak sekalipun si peneror itu membalasnya dengan pukulan. Dia hanya melakukan tangkisan dan menghindar dari pukulan Lingga.
Dengan kesal, Lingga mengeluarkan pedang dari sarungnya.
"Cukup ... cukup ...," pinta peneror itu dengan menggesturkan tangannya.
"Kenapa? takut dengan pedangku?" ledek Lingga. "Ayo tunjukan wajahmu, jangan berlindung dibalik caping itu, pengecut."
Si peneror itu membuka capingnya, dan semua yang berada di teras terkejut. Kakek Guru hanya tersenyum karena sudah tahu siapa orang itu.
"Kakang Jayendra?" ucap Lingga terkejut.
"Baru kali ini kamu benar-benar serius mengeluarkan gerakan silatmu, Lingga." puji Jayendra. "Sepertinya kamu benar-benar bernafsu ingin membunuhku."
"Kamu yang bernafsu ingin membunuhku, Kakang Jayendra." sambung Saksana kesal.
"Hahaha... maafkan aku, Saksana, aku hanya bergurau," ledek Jayendra, "Apa kamu tidak apa-apa, Saksana?"
"Gurauanmu sangat tidak tepat, Jayendra," celetuk Sang Guru.
"Maha Guru," sapa Jayendra kepada Sang Guru sambil mencium tangannya. "Tidak tepat bagaimana, Maha Guru?"
"Kami baru saja mengalami musibah. Ada peneror yang menyelinap ke pondok Asrama Putra dan membantai beberapa murid padepokan," jelas Sang Guru. "Dua puluh empat calon taruna masa depan gugur sebelum berperang."
"Apa?" kaget Jayendra dengan wajahnya yang mulai memerah. "Siapa yang melakukannya, Guru?"
"Aku tidak mengenalnya. Tapi mereka sudah aku amankan di Goa Cepot. Besok aku akan bawa mereka ke Pengadilan Kotaraja bersama Lingga dan yang lainnya," kata Sang Guru.
"Aku menyesal meninggalkan padepokan terlalu lama," sesal Jayendra.
"Mereka bergerak secara licik, Kakang Jayendra, bahkan Kakek Guru saja tidak menyadari kedatangan mereka. Kami hanya mengetahui setelah saudara-saudara kita sudah terbujur lemah bersimbahan darah. Kita semua benar-benar kecolongan," terang Lingga.
"Kemana saja kamu beberapa bulan ini?" tanya Sang Guru.
"Seharusnya murid yang telah menyelesaikan pendidikannya di sini dianjurkan untuk mengabdi kepada Kerajaan. Tapi kenapa Kakang memilih menjadi pendekar pengelana daripada menjadi prajurit?" tanya Lingga menyusul.
"Aku hanya ingin membantu masyarakat yang tertindas oleh kemunafikan kaum petinggi. Dengan membantu secara langsung, aku merasa menjadi diri sendiri," jelas Jayendra.
"Tapi kamu harus ingat asal, Jayendra. Kamu harus ingat padepokan inilah yang telah membesarkan namamu," Sang Guru memberi petuah kepada murid tertuanya itu.
"Tentu saja aku akan selalu ingat tempat ini, Guru. Kalau tidak, aku tidak mungkin datang ke sini," jawab Jayendra.
"Mungkin ini hadiah dari Sang Maha Kuasa, mendatangkan Kakang Jayendra di saat kami semua tertimpa musibah yang memilukan ini," ujar Lingga.
"Dan kamu hampir menambah musibah itu, Kakang Jayendra. Anak panahmu hampir menembus kepalaku," celetuk Saksana yang sedari tadi masih memegangi telinga kanannya.
"Maafkan aku Saksana. Aku tidak mungkin menyakiti adik seperguruanku sendiri. Aku pun sengaja mengarahkan anak panah ke tiang hanya untuk mengejutkanmu," ujar Jayendra merasa bersalah.
"Tapi kamu membuat telingaku hampir terpotong," bantah Saksana.
"Ya sudah kalau begitu ayo kita ke balai pengobatan, biar aku obati lukamu itu," ajak Jayendra sambil merangkul adik seperguruannya itu.
Dan semua yang berada di luar pun turut masuk.
"Lingga, kamu tidak ikut masuk?" tanya Jayendra
"Aku harus berjaga di sini, Kakang Jayendra." jelas Lingga.
...