Chereads / NITYASA : THE SPECIAL GIFT / Chapter 10 - 9. Taktik

Chapter 10 - 9. Taktik

"Hanya luka luar,"  ujar sang Dokter menginfokan. "Untung saja luka dalamnya tidak terlalu parah, sehingga hanya perlu masa pemulihan saja."

"Terima kasih, Dokter...," ucap Hafiz yang sedang terbaring di ranjang Rumah Sakit dengan beberapa perban mengikat di kepala, lengan, dan pahanya.

"Baik kalau begitu saya permisi," pamit Dokter tersebut yang kemudian berlalu membuka pintu dan meninggalkan ruangan. Belum sempat pintu ruangan itu tertutup, masuk seorang Bapak Tua memasuki ruangan.

"Terima kasih ya, kamu sudah berniat membantu saya mengejar pencopet itu," ucap si Bapak Tua tersebut setelah mendekatkan sebuah kursi ke dekat ranjang. "Dan gara-gara saya kamu mengalami kejadian buruk ini." Bapak tua itu menduduki kursinya.

"Tidak apa-apa pak, bukan salah Bapak,"  kata Hafiz menenangkan. "Saya hanya sedang sial saja hari ini."

"Tidak boleh kamu berkata seperti itu," sanggah Bapak Tua. "Kesialan selalu datang bersama keberuntungan, hari ini kamu sial dipukuli orang, tetapi kamu beruntung tidak sampai mati. Ada banyak sekali orang yang tidak seberuntung kamu yang mati karena dipukuli." Si Bapak Tua memberikan nasehat. "Siapa nama kamu?"

"Hafiz, Pak."

"Nama saya Muhammad Rudi," terang si Bapak Tua. "Orang-orang memanggil saya Profesor Mat Rudi. Saya seorang dosen fisika."

"Apakah saya tidak merepotkan? barangkali Bapak punya kesibukan lain saat ini yang lebih penting?" tanya Hafiz.

"Sudah tidak apa-apa, memastikan kamu baik-baik saja untuk saat ini adalah tanggung jawab saya," Ujar Profesor.

"Lalu bagaimana dengan dompet Bapak?" tanya Hafiz.

"Uang bukan masalah besarnya, tetapi ada hal lain yang lebih penting di dalam dompet itu," jelas Profesor. "Jibril dan anak buahnya sedang memburu kawanan pelaku, lagipula itu sudah jadi tugasnya."

"Jibril siapa?" tanya Hafiz.

***

Di sebuah ruko tak terpakai. Dengan kondisi rolling door yang setengah rusak sehingga memperlihatkan celah yang cukup untuk dimasuki oleh satu orang berbadan ramping. Di dobraknya secara paksa oleh tiga orang berseragam polisi yang seorang pemimpinnya berjenggot tipis dan berbadan besar dan atletis.

Brrrraaaakk...!!!

Semua yang ada di dalam ruko tersebut terkejut melihatnya, termasuk seorang remaja yang menjadi pelaku pencopetan di stasiun.

"Lari! Ada polisi!" teriak remaja tersebut yang melihatnya dari dalam. Dia pun langsung lari terbirit-birit menuju ke pintu belakang. Di ikuti oleh temannya yang lain yang juga terkejut melihat kedatangan polisi.

Tetapi ketiga polisi itu tidak mengejarnya, mereka tetap berdiri di sekitaran rolling door dan perlahan masuk sambil memegangi pistol dengan kedua tangannya dalam kondisi siaga.

"Kalian, geledah tempat ini!" tegas pimpinan polisi tersebut kepada kedua anak buahnya.

"Siap komandan!" jawab keduanya tegas.

Sesampainya di pintu belakang, komplotan pencopet yang berlari tersebut langsung menghentikan langkahnya ketika melihat ada tiga orang polisi lagi yang berdiri menghadang di pintu belakang. Kali ini dilengkapi helm pelindung dan senjata laras panjang.

"Angkat tangan dan jangan bergerak!" ancam tegas salah satu dari ketiga polisi tersebut dengan menodongkan senjata.

Gerombolan pencopet itu mengangkat tangannya sambil berjalan pelan mundur. Sekarang jumlah mereka bukan hanya lima orang, tetapi sangat banyak dan terdiri dari beragam usia mulai dari anak-anak hingga orang tua.

"Semuanya... cepat menghadap ke tembok! tempelkan kepala kalian di tembok dan posisikan kedua tangan kalian ke belakang punggung!" perintah salah satu dari ketiga polisi itu sambil kemudian memborgol tangan mereka satu-persatu.

Ketiga polisi lain yang menyergap dari pintu depan kini turut bergabung, di antara ketiga itu adalah pemimpinnya.

"Cepat berbaris!" perintah pimpinan polisi yang berbadan besar dan atletis tersebut. "Masuk ke mobil dengan teratur!"

Mereka pun berbaris menuju mobil truk yang sudah dipersiapkan untuk meringkus kawanan pencopet. Tiga dari enam polisi termasuk pemimpinnya bertugas menggeledah dan mengumpulkan barang bukti. Sementara tiga pemimpinnya mengatur barisan para pencopet untuk menaiki mobil.

"Saya tidak menyangka, hampir setiap hari kita berpatroli di daerah sini tetapi tidak terfikirkan bahwa ini adalah markas mereka yang selama ini kita cari," Ujar pimpinan polisi tersebut kepada satu orang anak buah tertuanya. "Kerjamu cukup bagus Ali."

"Terimakasih komandan Jibril." ucap anak buahnya tersebut. "ini tak lepas dari informasi dan perintah penyelidikan yang komandan berikan usai kejadian di Stasiun Gambir kemarin."

"Bagaimana, Eko? Apakah barang bukti sudah dikumpulkan semua?" tanya komandan Jibril kepada seorang anak buahnya yang lain.

"Siap komandan, sudah saya kumpulkan semuanya." Jawab anak buahnya tersebut sambil membawa sebuah wadah yang berisi banyak sekali barang hasil curian.

Jibril mengambil satu dari barang bukti. "Ini adalah dompet milik orang tua yang kecopetan di stasiun kemarin, Saya akan mengembalikannya."

"Siap komandan," jawab anak buahnya yang bernama Eko tersebut.

Ketika mereka bertiga hendak keluar untuk menuju ke mobil, tiba-tiba datanglah salah seorang anak buahnya yang bertugas menggiring pelaku untuk masuk ke mobil.

"Lapor komandan, ternyata pimpinan dari pencopet itu tidak ada di antara mereka" tutur anak buah tersebut melaporkan.

Jibril terkejut mendengar itu, matanya seketika menyisir langit-langit bangunan tersebut untuk memastikan bahwa semuanya sudah benar-benar digeledah.

"Sepertinya dia sudah tahu kita akan datang," celetuk Ali yang sedari tadi diam menunduk untuk memikirkan hal tersebut.

***

"Ini diminum, Bapak sudah buatkan teh hangat ini untuk kamu." ujar profesor sambil membawa teh hangat mendekati Hafiz yang sedang berbaring di ranjang.

"Terima kasih, Prof," ucap hafiz yang sekarang mengambil posisi untuk duduk dan langsung meminum teh hangat itu.

"Begitulah orang indonesia," ungkap profesor sambil kemudian tersenyum. "Apapun sakitnya, teh hangat solusinya."

Hafiz pun menanggapi gurauannya itu dengan tertawa kecil.

Tok... Tok... Tok...

"Permisi...!"

"Silakan masuk!" perintah Prof Rudi.

Masuklah seorang pria berbadan besar dan berjenggot tipis tersebut. kemudian berdiri mendekat ke Profesor yang berada di samping ranjang tempat Hafiz berbaring.

"Ini dompetnya, Prof. tolong periksa dan beritahu jika ada isinya yang kurang," ujar pria tersebut sambil menyerahkan dompetnya kepada profesor.

"Terima kasih, Jibril," ucap profesor sambil memeriksa isi dompetnya dan tersenyum kecil. "Sepertinya uangnya sudah berkurang, tetapi itu bukan masalah karena yang terpenting adalah hal lain yang ada di dompet ini"

"Sama-sama, Pak. Karena peristiwa yang Bapak alami ini, saya dan anak buah saya akhirnya bisa menemukan markas mereka" tutur Jibril.

"Hafiz, bagaimana keadaanmu?" tanya Jibril berpindah pandangannya.

"Sudah membaik, terima kasih, Pak," ucap Hafiz.

"Saya minta maaf, gara-gara saya kamu... "

"Bukan salah anda, Pak," potong Hafiz. "Memang saya yang sedang tidak bernasib baik."

"Lalu bagaimana dengan anak-anak remaja pencopet itu?" celetuk Profesor berpindah topik. "Jangan terlalu kasar menyikapi anak-anak, barangkali mereka melakukan ini karena tuntutan ekonomi."

"Kami belum mengetahui motifnya," terang jibril. "Tetapi jumlah mereka ternyata sangat banyak, dan bukan hanya remaja, ada juga anak kecil usia SD sampai orang tua seumuran Bapak."

"Kalau begitu berarti mereka sudah terorganisir," lanjut Profesor. "Pasti ada orang besar yang memimpin mereka."

"Itulah masalahnya, Pimpinan mereka kabur," ujar Jibril. "Sepertinya dia sudah mengetahui kedatangan kami, dan menurut kecurigaan saya, ada salah satu oknum dari kepolisian yang membocorkan informasi tentang penyergapan ini."

"Memangnya ada ya polisi yang berkawan dengan penjahat?" Celetuk Hafiz.

"Wohoo banyak sekali," jawab Jibril. "Jadi begini, Musuh dari orang jahat belum tentu semuanya orang baik, bisa saja dia lebih buruk dari orang jahat. Karena biasanya mereka ada di antara orang baik untuk menutupi keburukannya."

"Orang-orang seperti itulah yang lebih berbahaya dari perampok dan pembunuh, mereka bisa melakukan kejahatan tanpa dikenal jahat, tanpa mengotori tangannya sendiri," Terang profesor.

***