Chereads / NITYASA : THE SPECIAL GIFT / Chapter 7 - 6. Lorong

Chapter 7 - 6. Lorong

Di dunia ini ada banyak sekali bentuk rahasia yang memancing manusia untuk lebih bertanya-tanya. Beberapa hal bisa terjawab, namun ada juga yang bahkan tak menunjukan tanda-tanda jawaban itu muncul.

Tidak semua jawaban harus terkata, dan tidak semua pertanyaan punya jawaban. Saat itu terjadi, beberapa akan menganggapnya hal yang wajar, namun tidak sedikit pula yang mengejar jawaban dari pertanyaannya hingga harus menciptakan kegelisahan bagi dirinya sendiri.

Tentang bagaimana nasib Abdul yang masih bertanya-tanya tentang keberadaannya sendiri, masih menjadi misteri. Apakah jawaban dari pertanyaannya itu ada? Jika ada, darimana jawabannya akan datang?

Mari berharap bisa menemukan jawaban itu di tempat dan waktu yang lain. Mari kita menjauh dan mundur sedikit untuk bisa mendapatkan gambaran yang lebih luas dan kompleks. Sehingga pada akhirnya jawaban itu bermunculan satu demi satu.

Atau tidak sama sekali.

***

SURABAYA, 2014

Ini adalah tempat dan waktu yang berbeda. Bertempat di ibukota Provinsi Jawa Timur, dan pada waktu 5 tahun sebelum peristiwa Abdul meninggalkan rumah. Namun, kita tidak akan menemukan Abdul lagi di sini.

Layaknya di kota-kota besar lainnya, setiap paginya kota ini mengalami kondisi lalu lintas yang paling tidak disukai oleh semua orang. Ya, kemacetan lalu lintas adalah suatu peristiwa yang sangat menyebalkan bagi kita. Terutama bagi yang memiliki waktu terbatas untuk memulai aktivitas.

Begitu juga yang di alami oleh seorang gadis SMA yang sedang terburu-buru menuju ke sekolahnya. Setiap hari dia berangkat ke sekolah menggunakan jasa Tukang Ojek demi bisa lebih cepat sampai ke sekolah ketimbang harus naik angkutan umum.

Kali ini dia membonceng dengan cara menyampingkan badannya menghadap ke arah kiri. Memang sulit duduk membonceng dengan posisi normal, karena pakaian yang dia gunakan adalah setelan kebaya yang seringnya sangat merepotkan ketika harus membonceng sepeda motor.

Kebaya yang dia gunakan tergolong sederhana, namun tidak menghilangkan nilai keindahan yang dimilikinya. Ditambah paras yang cantik dengan riasan wajah yang tak berlebihan, semakin menambah keanggunan bagi perempuan berumur 17 tahun itu.

Tepat di depan gerbang sekolah, Sepeda motor pun berhenti dan menurunkannya. Bergegas gadis itu turun dan segera masuk gerbang dengan berlari kecil. Memang waktu menunjukan pukul 08.27, sedangkan acara sekolah hari ini dimulai pukul 08.30.

Kakinya kesulitan untuk melangkah dikarenakan ini adalah pertama kalinya dia mengenakan sepatu hak tinggi. Sesekali kakinya salah mengambil langkah. Alih-alih berjalan di permukaam yang rata, dia malah beberapa kali melangkahkan kakinya pada permukaan tanah bergelombang yang terdapat banyak bebatuan kecil. Namun, kemudian cara berjalannya normal kembali ketika langkah kakinya sudah menginjak bagian lantai lorong menuju ruang kelas. Ada banyak sekali siswa yang sedang berdiri di lorong, terutama kaum laki-laki yang biasa berkumpul.

Penampilannya yang sangat menarik ini berhasil membuat banyak pria menatapnya cukup lama. Bahkan ada juga yang berusaha menggodanya dengan siulan atau sekedar pertanyaan basa-basi. Dia sama sekali tidak merasa risih akan hal itu, sebab perlakuan seperti itu hampir setiap hari dia dapatkan. Dia sudah terbiasa.

Hari ini semua siswa kelas 12 wajib memakai setelan Jas Hitam lengkap dengan Sepatu Pantofel hitam , sedangkan siswinya memakai Kebaya bergaya tradisional maupun modern dilengkapi dengan sepatu hak tinggi. Bak sepasang pengantin, tetapi inilah tradisi ketika pesta kelulusan sekolah diselenggarakan.

Hari sudah mulai menjelang siang, Acara pun dimulai, beragam pentas seni dan acara inti Pesta Kelulusan pun dilaksanakan dengan lancar.

***

Menjelang sore, acara selesai. Seluruh siswa sudah mulai meninggalkan tempat untuk kemudian pulang ke rumah masing-masing. Namun beberapa ada yang masih bertahan entah karena masih malas untuk pulang, atau karena terlalu berat meninggalkan sekolah yang selama 3 tahun ini sudah menjadi rumah kedua bagi mereka.

Termasuk seorang siswa laki-laki yang memilih untuk memasuki Ruang Kantor Guru sebelum memutuskan untuk pulang demi bertemu dengan seluruh guru di sekolah ini dan mengucapkan salam.

"Selamat siang, pak!" siswa itu memberi salam di pintu yang sebenarnya sudah terbuka

"Siang juga, eh kamu ternyata, Fiz. Silakan masuk!" sapa guru itu yang kemudian berdiri menyambutnya.

Siswa itu langsung meraih tangan gurunya dan menciumnya. Biasa disebut dengan istilah 'Salim'.

"Maafkan saya, Pak, saya punya banyak sekali kesalahan sama Bapak. Saya dulu pernah melawan Bapak ketika sedang menghukum saya karena merokok. Saya juga ingin meminta doa restu Bapak untuk saya yang akan memulai menjalani kehidupan setelah kelulusan ini," ucapnya dengan nada tersedu-sedu karena tangisan lirihnya.

"Bapak sudah maafkan kamu, Hafiz. Sudah lupakan kesalahan yang itu, jadikan pelajaran saja. Sekarang kamu harus mandiri untuk menilai sesuatu yang benar dan salah. Bapak tahu kalau merokok itu tidak salah. terkadang hukuman bukan tentang benar salah, tetapi karena setiap tempat yang kita singgahi mempunyai aturan mainnya sendiri," kata gurunya menasehati lirih.

"Terima kasih, Pak, atas nasehatnya. Kalau begitu saya permisi," Hafiz pamit undur diri.

"tunggu dulu, Fiz!" gurunya menahan.

Kemudian beliau mengambil sesuatu di laci mejanya.

"Selama ini Bapak dinilai yang paling sering menghukum kamu. sebenarnya kamu anak yang baik, hanya saja kamu kurang bisa memahami antara benar dan salahnya suatu hal, maka dari itu Bapak memberikan perhatian lebih kepada kamu"

Gurunya menjelaskan sambil kemudian mendekat kepada Hafiz.

Hafiz terdiam dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Terima kasih untuk semuanya, Pak," ucapnya.

"Dengan keputusanmu untuk datang ke ruangan saya hari ini, adalah bukti bahwa saya tidak sia-sia memberi perhatian khusus dalam mendidikmu. Ambil lah ini sebagai kenang-kenangan," kata gurunya sambil memberikan sesuatu untuknya. satu barang kecil dan remeh yang bernama koin.

"Koin apa ini, Pak?" tanya hafiz penasaran.

"Itu koin peninggalan kerajaan dulu. Bapak selalu menyimpannya karena percaya bisa membawa keberuntungan. Simpan saja buat kenang-kenangan, jangan dijual!" celoteh Sang Guru.

Setelah hafiz keluar dari Ruang Kantor Guru, seorang gadis berkebaya yang pagi tadi datang ke sekolah dengan tergesa-gesa sedang berdiri di depan pintu kantor sambil menatapnya manis.

"Jangan pulang dulu, kita ke kantin, Yuk!" ajak wanita itu.

***

Mereka memutuskan untuk saling berbincang sambil menyantap mie instan racikan kantin sekolah dengan dilengkapi Es Teh Manis yang menyegarkan. Di tengah perbincangannya yang sebagian besar membahas rencana-rencana masa depan, kini mereka mulai membicarakan hal yang lain.

"Jadi, hari ini kita terakhir bertemu?" wanita itu bertanya.

"Sepertinya memang begitu, tapi kita masih bisa bertemu lagi beberapa hari kedepan ketika acara pengambilan Ijazah sekolah" Hafiz menjelaskan.

"Dan itu terakhir?" tanya wanita itu sedikit khawatir.

"Sebenarnya kita bisa lebih sering bertemu, tapi aku malas keluar rumah jika bukan karena hal penting," jawab hafiz menjelaskan

"Baiklah, aku tidak penting," jawab wanita itu menggerutu.

"Itu tergantung, Sari...! Aku akan anggap pertemuan itu penting jika memang orang itu penting, sekarang bagaimana aku bisa mementingkanmu sementara kamu hanya teman," ucap Hafiz.

"Jadi buatmu teman tidak penting?" protes Sari mulai kesal.

"Untuk ukuran wanita sepertimu, dijadikan teman bukanlah sesuatu yang penting," ujar Hafiz menjelaskan secara tajam tentang pandangannya.

"Lalu bagaimana supaya aku jadi orang yang penting bagimu?" Sari bertanya.

"Kita harus menjalin hubungan, supaya kepentingan kita sama dan nilainya sama, supaya bisa lebih sering bertemu." Hafiz merayu.

"Apa maksudmu?" tanya Sari.

Mereka yang semula saling tatap, kini semakin canggung dan menundukan pandangan.

"Seharusnya kamu tahu, tapi kenapa masih berpura-pura tidak mengerti?" protes Hafiz dengan lembut.

"Aku takut salah mengartikan, sebab selama tiga tahun kita berteman, baru kali ini kamu mengatakan hal seperti itu," ucap Sari.

"Maafkan aku, tapi aku harus mengatakan ini."

Suasana kini menjadi canggung, mereka yang semula mengobrol hangat tiba-tiba berubah saling diam.

***