Sore itu menjelang matahari tenggelam, Mahaguru Sutaredja, Lingga, dan Saksana telah tiba di goa tempat para peneror itu disekap. Mereka membawa dua kereta kuda. Yang satu khusus untuk memenjarakan para peneror itu, sedang yang satunya lagi adalah yang akan ditumpangi oleh mereka bertiga. Sesampainya di dalam goa, mereka melepaskan belenggu tawanan dan memasukannya ke dalam kereta berjeruji besi. Kemudian langsung membawanya ke Pengadilan Kotaraja.
Sebenarnya mereka datang berlima, dua orang lainnya meruoakan murid Sutaredja yang masih muda. Dia bertugas menjadi kusir kereta.
Di dalam perjalanan Saksana membuka pembicaraan.
"Kakang Jayendra di mana, Kakek Guru?" tanya Saksana.
"Aku juga tidak tahu, seharusnya dia ikut kita mengantar para bajingan ini ke Kotaraja, tapi biarlah, yang pasti dia sudah menyelesaikan tugasnya untuk membawa makanan untuk tawanan kita. Dia memang orang yang suka berkelana," terang sang guru.
"Berapa lama waktu yang ditempuh untuk sampai ke Kotaraja Guru?" tanya Lingga.
"Jika kita menunggang kuda sendirian, sehari pun bisa sampai. Tetapi karena kita menggunakan kereta kuda yang jalannya memang pelan, apalagi medan jalan yang banyaknya bebatuan, kemungkinan kita akan sampai ke kotaraja sekitar dua atau tiga hari," jelas Sang Guru."
***
Sementara itu, Jayendra sedang membenamkan setengah badannya di aliran sungai. Dia terus menerus menyelam ke dalam sambil matanya tetap terbuka di dalam air. Tujuannya untuk membersihkan matanya dari air cabai yang menyelimutinya.
Matanya terlihat memerah, kali ini dia sudah bisa sedikit membuka matanya. Sebab, semula dia tak dapat membuka matanya sedikitpun, ketika dia berjalan menuju sungai pun, tangannya sambil meraba-raba sekeliling.
Ketika dia sedang mandi, dia menemukan sebuah kain batik yang hanyut terbawa aliran sungai.
Dilihatnya kain tersebut yang ternyata masih baru, dia pun meraihnya. Berjaga-jaga jika sewaktu-waktu bisa dia gunakan untuk keperluannya.
Jayendra bangkit dari aktifitasnya itu dan segera menepi untuk berpakaian, setelah itu dia mengeringkan badannya yang masih agak basah. Ketika dia sedang mengeringkan badan di bebatuan pinggir sungai, seorang wanita tak dikenal tiba-tiba menghampirinya.
"Permisi Ki Sanak, apa kau melihat kain batik yang hanyut terbawa arus?" tanya wanita itu.
Jayendra hanya terkesima dengan wanita itu yang berpenampilan begitu manis. Bibirnya merah, Hidung mancung, mata lentik, serta rambutnya yang basah semakin menambah daya tarik. Dari pakaiannya, sepertinya dia juga seorang pendekar.
"Ki sanak... Ki sanak...." perempuan itu memanggil-manggil Jayendra yang terpaku melihatnya. Namun Jayendra tak menghiraukan itu. Dia bahkan tidak mendengar apa yang wanita itu tanyakan.
Waita itu pun seketika memukul keras wajah Jayendra hingga badannya terjungkal.
"Aduh... Kenapa kamu memukulku Nyai?" tanya Jayendra.
"Matamu nakal, ditanya malah diam saja, sibuk memandangi tubuhku dengan penuh nafsu? Ingin melumat tubuhku? Iya? ternyata respon lelaki yang baru melihatku semuanya sama seperti buaya," ujar wanita itu.
"Enak saja, siapa yang memandangi tubuhmu? Kenal saja tidak main pukul. Untung perempuan," ujar Jayendra
"Memangnya kenapa kalau perempuan? Kalau mau melawan ayo sini, akan aku ladeni seberapa tangguh jurusmu."
"Tidak penting!" Jayendra pun berlalu meninggalkan wanita itu
"Heh, Jawab dulu pertanyaanku!" ketus wanita itu.
"Pertanyaan apa?" tanya Jayendra.
"Sini, kembalikan kainku!"
"Kain apa? Aku tidak merasa memegang kainmu."
"Itu yang kamu pegang di tangan kirimu," ujar wanita itu.
"Oh, ini... Aku tidak tahu ini milik siapa. Jadi ini milikmu? Ini ambil. Kain jelek seperti itu di pasar loak banyak," umpat Jayendra sambil melempar kain milik wanita itu.
"Eh, tunggu. Kainku jatuh ke tanah. Jadi kotor lagi kan?" maki wanita itu. "ayo cepat ambil dan cuci kembali."
"Memangnya siapa kamu berani menyuruhku?"
"Ambil atau aku tabur mata merahmu itu dengan pasir," ancam wanita itu.
Jayendra pun menurutinya. Dia mengambil kain itu dan menuju aliran air sungai untuk kemudian menbersihkannya kembali.
"Kalau bukan karena aku ingat ibu ku yang seorang perempuan, aku tidak akan mau melakukan ini," keluh Jayendra.
Wanita itu hanya diam sambil tersenyum memandangi Jayendra. Dia merasa sangat senang bisa mengerjai seorang pendekar laki-laki. Kini giliran dia yang menatap wajah Jayendra dalam-dalam. Dia mulai mengagumi pribadi Jayendra yang sangat menghargai perempuan.
"Namaku Seruni, Siapa namamu pria aneh?" wanita itu mulai memperkenalkan diri.
"Apa pentingnya namaku kalau setelah ini pun kita akan saling berpisah. Sungguh, aku tidak mau bergaul dengan wanita sepertimu.
"Baiklah, jika suatu saat aku bertemu kamu lagi, aku akan memanggilmu Si Mata Merah," ujar Seruni.
"Namaku Jayendra."
"Dari mana asalmu?" tanya Seruni.
"Aku adalah murid Perguruan Wanawira," terang Jayendra.
Mereka pun larut dalam obrolan di pinggir sungai hingga tak terasa langit sudah gelap.
"Hari sudah gelap, kamu tidak pulang?" tanya Jayendra.
"Rumah bagi seorang pendekar adalah seluruh alam dan seisinya. Jadi, di pinggir sungai ini juga bisa jadi rumahku," ujar Seruni.
"Ya sudah kalau begitu, aku mau pergi kembali ke perguruanku," kata Jayendra.
"Boleh aku ikut?" pinta Seruni.
***