Di pagi hari, Benny mengunjungi rumah Dewa. Namun, rupanya rumah laki-laki itu masih terkunci. Benny pun mengetuk-ngetuk pintu itu.
"Wa!" panggilnya sembari mengetuk pintu. Namun, Dewa tak kunjung membuka pintu itu.
"Ke mana tuh orang? Nggak biasanya kayak gini," gumam Benny. Lantas, ia pun mengintip ke jendela kamar Dewa. Terlihat sangat jelas bahwa laki-laki itu sedang tidur.
"Ya elah, tumben banget dia masih tidur jam segini?" ucapnya. "Woy, Wa! Bangun!"
Dewa sangat terkejut mendengar seruan Benny yang sangat memekakkan telinga seperti mic berdengung. Ia lantas terpaksa bangun, dan membukakan pintu rumahnya.
"Apa'an sih lo? Ganggu orang lagi tidur aja," keluhnya dengan mata yang terlihat masih sangat mengantuk. Benny pun memasuki rumah Dewa, dan duduk di kursi tamu yang ada di sana.
"Bukannya kita mau pergi buat cari barang-barang bukti?" tanya Benny. Dewa menepuk dahinya, ia nyaris saja melupakan rencana itu.
"Gue baru ingat," sahut Dewa. Benny menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak habis pikir dengan tingkah sahabatnya ini.
"Kenapa sih lo? Pasti ada yang ganggu lo kan?" tanya Benny, Dewa pun menatap Benny dengan sedikit malas.
"Kalau gue cerita, lo pasti takut kan? Jadi, gue nggak bakal cerita," sahut Dewa. Benny pun menunjukkan seluruh deretan giginya, menandakan bahwa yang dikatakan oleh Dewa itu benar.
"Tapi, se'enggaknya lo bisa tumpahin masalah lo ke gue. Jadi, lo nggak sendirian nanggung beban itu," sahut Benny. Dewa pun menatap Benny. Tampaknya, ucapan laki-laki itu bisa dipercaya.
"Terkadang ... gue berkeinginan ada seseorang yang bisa membunuh gue biar gue nggak bisa bangun lagi dari dunia ini," gumam Dewa. Benny membelalakkan matanya, ia sangat terkejut mendengar ucapan Dewa.
"Maksud lo, lo pingin mati?" tanya Benny. Namun laki-laki di hadapannya itu tersenyum tipis dan melanjutkan kata-katanya.
"Gue merasa ... tersiksa, terpukul, dan merasa sangat berat," lanjut Dewa. "Kenapa semua beban itu harus ditanggung sama orang-orang kayak gue?"
"Lo tahu? Suara-suara hati manusia itu jauh lebih berisik daripada suara orang-orang cerewet. Melihat sesuatu yang nggak kasat mata, itu jauh lebih menakutkan dari yang dibayangkan oleh orang awam," Dewa melanjutkan lagi ceritanya. Benny pun mulai mengerti dengan maksud ucapan Dewa. Nampaknya, laki-laki yag ada di hadapannya itu tengah depresi akibat kemampuan istimewanya sendiri. Ditambah lagi banyak srkali orang-orang yang menghinanya akibat kemampuannya itu.
"Wa, Tuhan memberikan semua itu buat lo, karena Dia percaya sama lo. Dia percaya kalau lo bisa merubah dunia yang semakin hari semakin kacau ini," sahut Benny. Dewa pun menatap ke arah Benny dengan pandangan kosong.
"Tapi, orang-orang nggak mau ngerti, Ben. Mereka se'enaknya aja nge-judge gue," gumam Dewa. "Kata-kata itu jauh lebih menyakitkan daripada dipukul secara fisik. Bahkan untuk melupakan kata-kata buruk seperti itu membutuhkan waktu yang cukup lama,"
Dewa menutupi wajahnya dengan tangan sembari memejamkan mata untuk sejenak dan menghela napas panjang. Benny pun merangkul bahu Dewa.
"Hey, Boy. Lo nggak sendiri. Lo masih punya gue, dan juga Amor. Lo harus berbagi masalah lo sama gue dan Amor, jangan dipendam sendiri. Masih banyak orang-orang di sekotar lo yang sayang sama lo, terutama Amor," jawab Benny. "Lo nggak mau Amor sedih kan? Dia udah kehilangan adiknya. Jadi tolong, lo jangan berpikiran seperti itu lagi, ngerti?"
Dewa pun menganggukkan kepala. Ia merasa sedikit lebih tenang setelah bercerita kepada Benny. Ia merasa sungguh beruntung memiliki orang-orang seperti Benny dan Amor. Meskipun gadis itu sekarang tidak ada di hadapannya, ia sangat tahu bahwa gadis itu takkan pernah meninggalkannya ...
*****
Selama perjalanan, Dewa terlihat sedang menulis sesuatu di dalam mobil Benny. Ia sedang menulis sebuah lagu. Entah sejak kapan dirinya mulai menyukai hobi barunya ini. Yang jelas, ia menulis berdasarkan pengalaman pribadinya.
Semua orang, dengarlah aku
Aku di sini, apa kalian mendengarku?
Kau tidak akan tahu
Apa yang kurasakan saat ini
Akankah kau peduli?
Belum selesai menulis, Benny pun menghentikan mobilnya di depan sebuah rumah. Yaitu, rumah salah seorang sahabat Shinta yang bernama Bonita.
"Ben, lo aja ya yang masuk," ucap Dewa dengan senyuman mautnya, Benny pun mengerutkan alisnya.
"Ih, kok gue sih?" tanya Benny yang terlihat sangat kesal dengan permintaan Dewa.
"Karena, dia pasti nggak mau keluar kalau yang datang gue," sahut Dewa. Benny pun mengembuskan napas panjang, ia hanya bisa pasrah menjalankan permintaan Dewa dan terpaksa menyetujuinya. Benny pun turun dari mobil, sedangkan Dewa menunggu dari dalam mobil.
Selama beberapa menit Benny berada di dalam rumah itu, Dewa mulai merasa jenuh. Ia belum bisa melanjutkan tulisannya. Ia pun membuka jendela mobil dan menyalakan DVD player, dan mulai menyanyikan lagu yang terputar di sana dengan sedikit keras.
Beberapa saat kemudian, seorang pria berusia empat puluhan mengetuk pintu mobil itu. Dewa pun membuka pintu dan turun dari dalam mobil.
"Kamu yang barusan bernyanyi dalam mobil kan?" tanya pria itu, Dewa tak menyangka bahwa suaranya sekeras itu hingga bisa didengar orang lain. Ia pun hanya menjawab dengan menganggukkan kepala.
"Oh, kebetulan sekali. Saya adalah seorang produser musik, dan saya sedang mencari seorang penyanyi baru," ucap pria itu. Ia pun mengambil sesuatu dari dalam saku celananya.
"Kalau kau ada waktu, kau bisa datang ke studio kami," ucap orang itu sembari memberikan sebuah kartu nama kepada Dewa. Dewa pun membaca kartu nama dari pria bernama Yahya Adi Gunawan itu.
"Baiklah, saya pasti datang," sahut Dewa. Pria di hadapannya itu tampak begitu senang karena Dewa tak keberatan dengan ajakannya.
Beberapa saat kemudian, Yahya berpamitan kepada Dewa. Namun, ada sesuatu yang sangat mengganggu dirinya. Ia merasa bahwa dirinya pernah melihat pria itu sebelumnya. Hanya saja, ia tidak ingat kapan dan di mana dirinya pernah bertemu dengan pria itu ...
***** TBC *****