Dingin.
Aku menyilangkan dan mengusap-usap bagian atas lengan dengan kedua tangan. Berharap cara itu akan mempan menghalau hawa dingin dan memberikan sedikit kehangatan pada tubuhku yang terasa nyaris membeku di pagi hari kota London.
Mataku melirik ke arah jendela kaca berukuran besar yang dipasang persis di sebelah meja makan, dan baru kusadari bahwa saat ini tengah turun hujan rintik-rintik. Tetesan air hujan yang pecah mengenai kaca seolah saling berlomba-lomba untuk mencapai garis finish, terjun ke bawah menyita perhatianku sejenak sebelum kemudian memilih untuk menyeduh segelas susu hangat ditemani roti lapis yang kubeli di salah satu minimarket terdekat kemarin malam.
Satu kata untuk menggambarkan suasana pagi ini, menenangkan. Aku sedang asyik menikmati sarapan pagiku yang sederhana saat sebuah notifikasi muncul menghiasi layar ponselku yang sudah terisi penuh setelah diisi semalaman. Senyuman kecil terbit di wajahku begitu melihat nominal uang yang baru saja ditransfer ke rekeningku pagi ini. Tertera di sana nama beserta nomor rekening sang pengirim.
"Johannes, ya." Gumamku ditengah suara rintik hujan yang semakin mengecil. "Dia terlalu mudah ditipu" Aku meletakkan ponsel di atas meja dan kembali menyesap tehku yang hanya tersisa sepertiganya. Kulirik jam digital pada dinding di belakangku yang ternyata menunjukkan pukul 06.15 pagi. Yah, Sepertinya aku harus mulai mengemas barang-barangku lagi setelah ini.
Baiklah, sebelum kalian mulai menebak-nebak, biarkan aku memperkenalkan diri. Namaku Abigail Lauren. Aku tidak punya nama keluarga. Alasan? Sederhana. Karena aku tidak punya orang tua. Kalian kasihan padaku? Oh, tolong. Aku tidak butuh itu. Aku sudah terlalu sering mendapatkannya sejak masih kecil.
Ada satu hal yang masih membekas di ingatanku sejak kecil. Kata-kata yang bahkan rasanya terlalu dini untuk dikatakan oleh anak-anak berusia lima tahun. Diajarkan oleh para orang tua mereka, oh tidak. Bukan. Mungkin mereka bilang mereka tidak pernah mengajarkan hal yang buruk kepada anaknya. Mereka tidak bermaksud begitu. Mereka hanya tidak ingin anak-anaknya bergaul dengan anak sepertiku. Anak buangan, anak yang tidak diharapkan, kata mereka.
Hari yang ceria di sebuah taman pusat kota, namun tidak dengan yang kurasakan. Mendung. Tak ada yang mau mengulurkan tangannya dan tertawa ataupun berlarian bersamaku. Aku selalu sendirian.
Aku besar di panti asuhan. Tidak punya ayah, tidak punya ibu. Tidak pernah mendapat kasih sayang dan karena itu, aku juga tidak pernah dididik secara benar. Karena kata mereka, aku tidak punya orang tua. Mereka bilang, Anak-anak sepertiku hanya akan jadi anak yang gagal tanpa bimbingan orang tua. Aku tidak akan pernah merasa bahagia. Tapi aku tidak setuju. Itu menurut mereka. Bagiku itu justru keberuntungan. Tidak ada orang tua, berarti tidak ada pengharapan. Tidak ada tekanan, tidak ada yang akan membanding-bandingkanmu, tidak akan ada yang memarahimu dan tidak ada yang mengekangmu saat kau melakukan hal yang kau sukai.
Kalian bertanya-tanya apa yang kusukai? Hmm, ini mungkin sedikit konyol bagi kalian. Tapi sebagai informasi, aku sangat suka dongeng. Dan aku paling suka kisah Pied Piper. Kau tahu? Si Peniup Seruling dari Hamelin dan para penduduk kota yang tidak tahu diri.
Bagiku, hidupku seperti Pied Piper. Kau tahu orang-orang dengan setumpuk uang haram mereka? Orang-orang yang makmur dengan memakan hak-hak orang lain dan bergaya pongah di depan media seolah-olah mereka adalah orang yang paling suci di dunia. Tugasku adalah memberikan sedikit pelajaran mungkin? Yah, setidaknya aku ingin mengasah otak mereka agar bisa sedikit lebih pintar. Mungkin saja otak mereka semakin tumpul setelah sekian lama terus berpura-pura dan mencari-cari solusi dan alasan. Bagaimana mungkin karma itu nyata bukan? Senyata para penduduk kota yang kehilangan anak-anak mereka karena terbuai dan mengikuti merdunya alunan seruling.
---
"Jam berapa kau berangkat?" Suara khas Rey menanyaiku dari seberang sana membuatku refleks melirik arloji di pergelangan tangan.
"Satu jam lagi aku sudah harus tiba di bandara" Aku segera menutup kembali koper silver milikku dan membawanya ke depan pintu kamar. Setelah beberapa saat, dahiku mengernyit saat tidak lagi mendengar sahutan Rey dari seberang sana.
"Kau menelfon hanya untuk menanyakan itu?" Tanyaku heran sambil sekali lagi berkeliling kamar hotel, mengamati setiap sudutnya dan memastikan tidak ada satupun barangku yang tertinggal. Aku tidak boleh meninggalkan satu jejak pun.
"Kenapa? Tidak boleh?" Sahut Rey setelah beberapa detik terlewati. Aku mendengus kasar.
"Mengganggu saja" Aku mencebik geram.
"Ck, dasar menyebalkan. Paman Roy memintaku menyampaikan padamu kalau dia sudah menyiapkan segala keperluanmu di Kanada." Ujar Rey yang sukses membuatku keheranan.
"Tumben sekali si tua itu mengurusi rencanaku" Ujarku terkekeh miring dan memutuskan sambungan telfon tanpa aba-aba. Bisa ketebak Rey saat ini pasti tengah mengumpatiku dari seberang sana. Bersamaan dengan itu, setelah yakin tidak ada satupun barangku yang tertinggal, aku segera menyeret koper serta tasku keluar dari kamar dan menguncinya. Aku refleks mencebik dan memutar bola mata malas saat tanpa sengaja harus melihat drama antara sepasang suami istri dan seorang wanita muda di depan sebuah pintu kamar nomor 504, tepat dua pintu di samping kamarku. Ck, perselingkuhan. Klasik sekali. Di Lobi hotel, Seorang resepsionis wanita muda yang ketebak berusia dua puluhan menyapa ramah saat aku memberikan kunci kamarku padanya.
Menunggu sekitar lima menit, taxi yang kupesan akhirnya datang. Sang supir taksi, pria tua usia lima puluhan menyapa dan dengan cekatan memindahkan barang-barangku ke dalam bagasi mobil dan mulai melajukan mobil, membaur bersama ribuan pengendara lain di jalanan besar kota London.
---
Aroma pizza yang bercampur dengan aroma latte terasa begitu memabukkan dalam penciumanku. Perjalanan yang sudah memakan waktu lebih dari empat jam sejauh ini membuat perutku mulai lapar. Apalagi jika mengingat menu sarapanku yang belum bisa dikatakan mengenyangkan tadi pagi.
Tidak. Sebenarnya, aroma makanan dari bocah yang duduk persis di seberangku sukses membuatku ikut lapar. Ditambah dengan tawa dan seruannya yang berisik membuatku harus terus tejaga dan berujung dengan gagal tidur meskipun ingin. Ck, dasar. Aku berdecih saat melihat bocah itu menirukan pose pahlawannya dan berseru-seru berisik.
Masih beberapa jam lagi menuju Kanada, dan tampaknya aku harus lebih banyak bersabar sepanjang perjalanan. Jangan sampai aku membuat bocah lelaki di sebelahku ini menangis dan menarik perhatian seluruh penumpang.
"Jika ingin, anda bisa pindah ke bangku lain, Nona"
Salah seorang pramugari yang tengah bertugas mengantarkan makanan kepada para penumpang tampaknya menyadari ketidaknyamananku dan menawarkan untuk pindah ke bangku lain.
Kuberikan senyum palsuku padanya kemudian memilih beranjak dari tempatku dan pindah ke kursi yang terletak pada bagian paling belakang kabin kelas bisnis, tepat di samping seorang wanita tua berusia kisaran enam puluhan yang tengah larut dengan buku tuanya.
Kutatap datar si bocah lelaki yang kini berdiri di atas bangkunya dan menatap penasaran ke arahku, dengan ekspresi polos yang bukannya lucu namun terlihat begitu menyebalkan di mataku. Aku menaikkan sudut bibir, puas saat bocah itu menatapku takut-takut.
Kejengkelanku sedikit mereda karena mendapat bangku yang berada di dekat jendela pesawat. Kupandangi pemandangan gugusan pulau di bawah sana dengan lagu Down in the Valley milik Otis Redding yang terasa begitu pas seolah menambah keindahan dari pemandangan di bawah sana.
"Hey, Young Lady"
Panggilan dari wanita tua di sebelahku sejenak membuyarkan lamunanku sebelum kemudian kepalaku beralih menghadap ke arah si wanita tua yang kini melemparkan senyum tulusnya padaku. Buku tua yang sedari tadi dibacanya kini sudah kembali tertutup, tergeletak rapi pada meja di depannya.
Aku tersenyum tipis sebelum meresponnya.
"Ya?"
"Sepertinya kau suka melihat pemandangan ya? Apa yang kau dengarkan?"
"Ah, bukan apa-apa. Hanya beberapa lagu acak" Jawabku sambil tetap berusaha menampilkan wajah ramah meskipun aku sendiri tidak yakin apakah wajahku sekarang benar-benar ramah atau malah tampak terpaksa. Sejujurnya Aku tidak terlalu suka mengobrol dengan orang asing. Dalam hati aku berharap agar wanita tua ini tidak terlalu memperpanjang percakapan ini.
"Kau tahu young lady, di kawasan Amerika bagian utara, ada sebuah desa tersembunyi." Ujar wanita tua itu tiba-tiba. Tanpa sadar sudut bibirku terangkat. Pikirku, apa yang masalah dengan hal itu? Itu juga bukan sesuatu yang penting. Namun seakan mampu membaca pikiranku, wanita itu segera melanjutkan.
"Mungkin kau berpikir ini hanyalah hal yang sepele. Namun selain tersembunyi, Desa ini bahkan tidak terdaftar di dalam peta."
Aku mengangkat bahu. "Tidak terlalu spesial. Ada begitu banyak daerah yang tidak terdaftar di dalam peta" Ujarku acuh. Seringkali para orangtua terlalu menganggap nyata sebuah legenda dan mitos kuno tidak masuk akal dan mewariskannya pada anak-anak mereka.
Bukannya tersinggung karena membantahnya, wanita tua disebelahku ini hanya tersenyum tipis.
"Kau ingin tahu sebuah legenda tentang desa itu?"
Aku baru saja ingin bilang tidak perlu dan membuat alasan saat wanita itu dengan tiba-tiba langsung melanjutkan ucapannya tanpa persetujuanku.
"Ada sebuah legenda terkenal dikalangan rakyat desa Solvdraes. Cerita yang diwariskan turun-temurun dari para leluhur mereka, cerita tentang sebuah hutan terkutuk di dalamnya"
Tanpa diduga, wanita tua itu tersenyum. Senyum yang tak dapat diartikan, senyum yang sangat misterius.
=Our Own World=
*Kisah Pied Piper
Peniup Seruling dari Hamelin adalah tokoh dalam sebuah legenda tentang menghilangnya anak-anak dari kota Hamelin, pada abad pertengahan. Kisah terawal mendeskripsikan tentang seorang peniup seruling, dengan pakaian berwarna-warni, memikat anak-anak untuk meninggalkan kota dan tidak pernah kembali lagi. Pada abad ke-16, penuturan tersebut dikembangkan menjadi suatu kisah utuh, tentang peniup seruling yang datang ke kota untuk memberantas hama tikus dengan cara meniup seruling ajaibnya. Setelah pemerintah kota menolak untuk memberikan imbalan, si peniup seruling memanfaatkan kekuatan sihirnya untuk memikat anak-anak, membuat mereka meninggalkan kota sebagaimana yang telah dilakukannya pada hama tikus. Kisah versi tersebut menyebar sebagai dongeng. Versi tersebut juga ditulis berulang kali, di antaranya oleh Johann Wolfgang von Goethe, Grim bersaudara, dan Robert Browning.
Sumber : Wikipedia