Chereads / Aroma Surga / Chapter 34 - Teduhnya Aromamu

Chapter 34 - Teduhnya Aromamu

Pov Lara.

Senyuman dia begitu merekah bagaikan kuncup mawar mekar. Aroma itu bagaikan surga yang ku rindukan selama ini. Tatapan matanya bagaikan panah yang menusuk ke uluh hati. Aku terbakar api asmara yang begitu panas dan tidak pernah padam akan sang waktu.

Kamu yang selalu hadir dalam mimpiku. Semburat wajah sendumu sungguh ku rindukan. Wajahmu tanpa begitu teduh bila ku bayangkan. Apakah kau pemilik aroma surga itu?

Ribuan rapalan namamu selalu ku sebut dalam setiap sujudku. Kamu adalah candu dalam segelas espresso yang ingin ku nikmati. Mungkinkah kau memiliki perasaan yang sama untukku?

Kadang aku berharap, jika kamu adalah malaikat tak bersayap. Kamu adalah kekasih impianku. Namun, apa mungkin kau selalu menghadirkanmu dalam mimpi-mimpi indahku?

Aku selalu berharap Allah menyampaikan rindu-rinduku lewat doaku. Karena ku yakin kamu adalah sebuah jawaban yang ku tunggu. Aku hanya ingin menyempurnakan iman bersamamu. Cintaku akan selalu dalam lindungan Allah semata.

Semoga kamu adalah bagian dari tulang rusukku. Aku tidak sanggup mengungkapkan isi hatiku kali ini. Hanya Allah yang akan menunjukkan perasaanku untukmu.

Semoga kamu bisa mengerti aku benar-benar ingin menjadi calon makmum untukmu kelak.

TING!

"Lara!" teriak Nina kepadaku.

"Pasti kamu ngelamunin pak dokter?" Goda Nina, tapi pelanggan harus tetap nomer satu ya di kedai kopi ini.

Aku baru sadar kalau ada pelanggan yang ingin memesan secangkir espresso dengan campuran susu almond karamel.

"Maaf, tuan," aku mulai menyunggingkan senyuman. Aku merasa tidak enak hati karena tidak mendengar bel di depan meja baristaku.

"Iya, tidak apa-apa nona. Saya cukup mengerti. Mungkin anda lagi kasmaran," cetus laki-laki muda dengan kaos hitam celana jins dengan tersenyum.

Pipiku mendadak merah merona seperti terkena sebuah sengatan. Rasanya detak jantungku tidak beraturan sama sekali ketika aku mengingat tentang. "Apa aku benar-benar sedang kasmaran dengan dia?" Aku mulai menggumam dalam hati kecilku sambil membayangkan sosok dia yang selalu ada untukku di waktu yang tepat.

Terlintas senyuman dia yang terus menghantui kedua matanya. Dia benar-benar ada di dalam pikirannya bergentayangan.

Secangkir hot espresso karamel sudah tersaji dalam cangkir. Ia pun mengantarkan ke meja no 2 dekat jendela kafe.

"Tuan, ini minumannya," kataku sambil menyajikan piring kecil dengan cangkir berisi kopi sesuai dengan pesanan laki-laki tadi.

Laki-laki itu hanya menyungingkan senyuman di kedua sudut bibirnya.

*

Hari sudah menjelang sore lalu aku menyudahi pekerjaan hari ini walaupun sedikit lelah yang aku jalani. Hari ini adalah hari yang terbaik tidak seperti hari yang kemarin. Semoga saja hari kemarin tidak pernah terulang kembali dalam kehidupanku. Karena aku tidak ingin bertemu kembali dengan pria yang ada di masa laluku.

Sepulang kerja aku pun duduk terpaku di bangku taman. Lalu, aku memikirkan tentang Mita. "Apa yang terjadi dengan Mita? Kenapa terlihat ada suatu tekanan terhadap dia?"

Ehem!

Aku langsung menoleh. Sepintasku mendapati wajah dia yang begitu teduh. "Apa aku sedang berhalu tentang dia?" sebuah pertanyaan melintas dalam benakku.

"Ra, bagaimana kondisimu? Apa ada keluhan?" tanya dia yang ternyata bukan fatamorgana, tapi dia memang nyata dalam pandanganku.

"Mas Syahid?" ujarku seraya mendongakkan kepala ke dia. Dia terlihat begitu tampan, apalagi dengan jas snelli yang melekat pada tubuhnya. Dan, tatapannya begitu merobek hatiku.

Mendadak aku tidak sanggup menatapnya. Karena kedua pipiku terasa sangat panas sekali. "Apa aku mulai jatuh cinta kepadanya?"

EHEM!

Aku mulai tersentak dengan suara dehemannya. Hingga membuatku salah tingkah. Bibirku terasa kaku seketika. Lidahku terasa sangat keluh.

"Ra, kamu kenapa?" tanya Syahid kembali. "Kenapa muka kamu memerah seperti kepiting rebus? Apa kamu sakit?"

Aku hanya mengelengkan kepala saja.

"Apa aku bisa duduk di sebelahmu?" tanya dia kembali. Aku langsung berharap dia tidak mendengar tempo detak jantungku.

Dia mulai duduk tepat di sampingku hanya berjarak beberapa inci. Rasanya aku dibuat canggung olehnya. Sungguh debaranku makin kuat. Hingga rasa gugupku meningkat.

"Kamu sakit?" Syahid mulai menatapku dengan sangat cemas sekali. " Sudah aku bilang dari kemarin kalau sebaiknya kamu istirahat di rumah. Jika kamu terjadi sesuatu maka yang rugi kamu sendiri. "

Aku hanya mengelengkan kepala tanpa menjawab sepatah kata pun darinya. Hanya menunjukkan dengan bahasa tubuh. Sungguh bibir sangat bergetar tiap kali mau menjawab pertanyaannya.

"Ra, aku mau cerita sama kamu. Boleh?" Jahit mulai bertanya kembali sambil menatapku. Hingga membuatku makin dag dig dug jantungku seperti berlari seratus meter.

"Boleh," jawabku dengan gugup. Keringat dingin mulai bercucuran. Detak jantung makin berdebar-debar hingga membuatku hanya mampu menundukkan kepala saja.

Syahid mulai bercerita tentang ibunya yang selama ini hilang entah ke mana. Aku hanya mampu mendengarkan ceritanya hingga habis hingga tidak terasa waktu menjelang magrib.

"Ra, kita ke masjid dulu. Nanti aku akan antar kamu ke kontrakanmu."

"Nggak usah mas Syahid. Aku bisa pulang sendiri jalan kaki."

"Aku ingin mengantarmu. Ini sudah sore menjelang petang loh," ujarnya.

Aku  merasa tidak enak hati, akhirnya aku mengiyakan dan segera berjalan bersama menuju masjid Agung depan taman kota. Kami berjalan beriringan dan berjarak.

*

Suara indah nan merdu membuat aku makin jatuh hati dengan pesonanya. Jatuh hati karena lantunannya. Dia sangat sempurna bagaikan Adam yang diciptakan untuk Hawa.

Ya Allah apa mungkin dia bisa engkau takdirkan sebagai calon imam hamba yang mampu menjadi sebuah nakhoda dalam mengarungi keluarga kecil, meskipun ada ribuan ombak yang akan menerjang perahu kecil yang telah dia kendalikan? pikirku sambil menatap punggungnya dari jauh.

Dia adalah laki-laki yang sangat teduh sekali. Sikapnya membuat aku jatuh hati. Bagiku dia adalah malaikat yang sengaja Allah ciptakan berwujud manusia di bumi.

Aku mulai sadar kalau aku hanya seorang wanita yang masih tidak sempurna. Di bandingkan mereka yang sudah berbalut iman dan berhijrah sejak dulu. Apa aku pantas untuk menjadi calon makmum dalam kehidupannya? Atau ada wanita lain yang selalu memiliki pesona di balik hijabnya?

Aku pun menatap wanita cantik yang di ujung sana sedang berbincang dengan Syahid. Sedangkan, aku ini siapa? Hanya seorang barista di kedai kopi. Wanita itu juga memakai jas snelli yang sama. Sedangkan aku hanya memakai apron coklat. Itu sangat berbanding terbalik.

Aku mengembuskan napas sangat berat lalu keluar dari pintu masjid.

"Ra!" Syahid melambaikan tangan dengan memakai vespa antiknya. Lalu, aku pun menghampirinya. Tapi, aku merasa kecil sekali karena tidak sebanding wanita yang tadi berbincang dengannya.

Sepanjang perjalanan aku dan dia hanya diam. Aku hanya berpegangan ujung belakang vespanya. Aku tahu kalau kami bukan pasangan halal. Jadi, aku harus menjaga jarak agar tidak menimbulkan fitnah.

Tidak sengaja vespanya terkena batu hingga memaksaku untuk melingkarkan kedua tanganku di pinggangnya. Lalu aku hanya mengatakan. "Maaf, aku nggak sengaja." Sedangkan dia hanya tersenyum yang ku lihat dari kaca spionnya. Lalu dia berkata, "Nggak apa-apa kok."

Lima menit aku nyampai depan kontrakan, lalu aku pun turun dari vespanya. Tiba-tiba aku mendengar suara jeritan dari dalam kontrakan. Aku dan mas Syahid menerobos masuk kontrakan. Aku berusaha meraih gangang pintu rumah. Lalu, aku mencari sumber suara Mita bersama mas Syahid. Kedua bola mataku mencari di mana Mita. Lalu aku menemukan di kamarku.

"Astaga! Mita!" teriakku dengan lantang melihat kondisi Mita.

*